Bab 6

1743 Kata
"Apa  yang  kamu  lakukan  tadi itu sangat memalukan, kamu tahu siapa mereka? Mereka pemasok kain untuk acara kita!" ujarnya dengan emosi tertahan. Dia mencoba menahan nada suaranya supaya orang lain tidak mendengar pertengkaran kami meski kami kini berada di gang sempit di dekat gudang.   Tawa sinis keluar dari mulutku lalu aku sengaja menyandarkan punggungku di dinding yang ada di belakangku, kedua tanganku sengaja disilangkan di d**a lalu aku menatapnya penuh tantangan.   Genderang perang antara aku dan Rabian mulai ditabuh, apapun tindakan jahatnya akan aku balas tak kalah jahatnya. Ini baru permulaan dan seandainya dia masih bersikap seperti itu, mungkin aku akan membalasnya lebih kejam dibandingkan pembalasan tadi. Selama ini aku diam saat dia menjahati dan menyakitiku, tapi tidak kali ini.   "Oh ya? Lebih memalukan saat kamu sengaja membuka aib kita di depan teman-teman kantor. Sekarang semua orang di kantor ini menatapku aneh, membicarakan aku yang terlibat affair dengan atasan sendiri dan tadi itu hanya sebuah balasan kecil atas perbuatan kamu ke aku. Jadi, posisi kita satu sama. Kamu berhasil membuatku malu dan aku pun berhasil membuat kamu malu," jawabku sesantai mungkin.   Wajahnya memerah tapi Rabian masih bersikap sok dingin dan tenang. Terlihat jelas dia mencoba menahan diri untuk tidak melampiaskan marahnya.   "Baiklah, kalau itu mau kamu." Rabian mendekatiku, aku berusaha menghindar tapi dia menahanku dengan menempelkan tangannya di dinding. Tubuh kami hampir menyatu bahkan aku bisa merasakan deru napasnya. Aku membuang wajah agar tidak terlena dan akhirnya jatuh lagi ke dalam perangkapnya.   "Baiklah, aku ikuti permainan kamu. Kali ini kamu menang tapi tidak lain kali. Ah iya, malam itu ... aku ... lupa ... memakai ... k****m, jangan-jangan di rahim kamu sebentar lagi akan tumbuh bayiku?" ujarnya sengaja memperlambat ritme suaranya, jelas sekali Rabian berusaha membuatku hancur dengan mengungkit kejadian malam itu.   Sialan! Harus ya mengungkit lagi kejadian yang sudah hampir aku lupakan itu?   Tunggu dulu, sepertinya Rabian keceplosan, dia bilang sengaja membuatku menang kali ini. Itu berarti selama ini dia sengaja membuatku marah, tapi untuk apa? Permainan apa yang sedang Rabian rancang? Rencana apa lagi yang disusunya untuk menyakitiku.   Oke, lupakan masalah itu dan kita kembali ke masalah pembahasan tadi, aku memutar kepalaku dan kini kami kembali berhadapan satu sama lain.   "Jangan harap," balasku kesal. Aku melihatnya tertawa penuh kemenangan, sepertinya dia punya senjata baru untuk menekanku.   Kejadian malam itu, sepertinya dia akan terus mengungkit hal itu untuk menekanku. Kenapa aku tidak bisa mengingat sedikitpun tentang kejadian malam itu? Kenapa aku tidak sadar apakah kami benar-benar melakukannya?   Danish, mungkin Danish ingat apa yang terjadi malam itu. Sudah beberapa hari ini aku mengabaikan Danish, telepon dan SMS sekali pun tidak pernah aku jawab. Mungkin Danish merasa bersalah membiarkanku mabuk dan berakhir dengan tidur seranjangnya aku dengan Rabian.   "b******k, jangan mengalihkan pembicaraan dengan mengungkit kejadian malam itu? Itu hanya kesalahan dan aku yakin Tuhan tidak akan sejahat itu dengan membiarkan aku mengandung anak dari musuh besarku," balasku dengan geram.   Rabian melepaskan tangannya dan kembali tersenyum jahat. Dia pun menyandarkan punggungnya ke dinding lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana, matanya menatapku dari atas sampai ke bawah. Tatapannya seolah  sedang menelanjangiku, aku membuat gerakan menutup daerah dadaku dengan tangan supaya dia berhenti menatapku. "Yakin? Buktinya Tuhan kembali mempertemukan kita, bahkan kita sempat b******a untuk mengenang kisah masa lalu. Bahkan aku ..."   "Stop!" Aku menutup telinga dan lari meninggalkannya. Aku tidak sanggup mendengar kelanjutan kisah kelam malam itu. Rasanya hari itu menjadi hari tersial di dalam hidupku, aku mendengar kekehan dari mulutnya tapi aku tidak peduli.   Aku harus mengingat kejadian malam itu.   Harus!   ****   Rena menatapku curiga saat aku muncul di depan apartemennya. Maksud hati ingin mengembalikan k****t Reza yang sempat aku curi untuk mempermalukan Rabian, tapi semua gagal saat Rabian menyembunyikan plastik itu dan enggan mengembalikannya. Aku yakin dia punya rencana jahat dengan menyimpan benda itu, tapi rencana apa? Aku harus terus waspada agar tidak jatuh ke dalam perangkapnya lagi. "Sepertinya kakak lagi stress berat ya? Jangan-jangan bunda masih memaksa kakak untuk menikah ya?" tebak Rena sambil meletakkan segelas teh hangat.   "Kakak ..." aku bingung memberitahunya kalau k****t Reza disita Rabian, bisa-bisa Rena marah besar dan mengutukku jadi batu.   "By the way, apartemen ini mulai nggak aman kak. Masa kancutnya Reza hilang di jemuran? Gila nggak tuh? Pasti pelakunya itu punya penyakit jiwa atau maniak? Hiiiii ... pokoknya kakak harus hati-hati. Jemur k****t di kamar aja, jangan di balkon," ocehnya menyelaku tiba-tiba.   Et dah, kalau kayak gini lebih baik aku diam dan tidak memberitahunya kalau aku lah si maniak itu. Bisa-bisa Rena ikut membullyku atau lebih jeleknya dia memintaku mengambil kembali k****t Reza dari tangan Rabian. Kan nggak lucu aku dan Rabian saling rebutan k****t di kantor, sudahlah imejku rusak setelah gosip terlibat affair dengan Rabian memyebar seantero gedung dan aku tidak mau gosip baru kembali tersebar soal k****t sialan itu. "Ah, mungkin kamu lupa letaknya. Mana mungkin sih di sini ada maniak," elakku. Rena seperti memutar otaknya untuk mengingat di mana dia menyimpan k****t milik Reza.   "Mungkin kakak benar, ah iya kakak kenapa lagi? Bunda masih sibuk nyuruh nikah?" tanyanya penasaran.   "Nggak, untuk saat ini kakak aman dari rengekan bunda," jawabku penuh syukur. Rena memegang tanganku lalu menepuknya pelan.   "Kakak masih cinta ya sama kak Rabian?" tanya Rena to the point.   "Nggak, ih jangan bahas dia dong," omelku kesal.   "Belum move on? Iya sih, siapa juga yang bisa move on dari cowok sekece kak Rabian. Dulu aku pikir kalian akan menikah dan hidup bahagia untuk selama-lamanya tapi saat kakak pulang dalam kondisi mengenaskan dengan wajah penuh air mata, daster lusuh dan bibir bengkak, entah kenapa aku nggak ikhlas kalau akhirnya kakak berjodoh dengan dia. Aku nggak rela laki-laki yang sudah membuat kakak hancur berkeping-keping akhirnya mendapatkan cinta kakak lagi." Rena membuang napasnya.   "Jadi menurutku sebaiknya kakak mulai membuka hati untuk laki-laki lain. Danish sepertinya baik dan bertanggung jawab, lupakan kisah masa lalu dan kejadian itu. Toh kalian melakukannya tanpa cinta," sambungnya lagi.   "Kakak malas jatuh cinta lagi, cinta itu memang indah tapi ada kalanya cinta itu bagaikan monster yang menakutkan. Jadi kakak memilih untuk tetap seperti ini, hidup sendiri tanpa cinta. Nggak bikin sakit hati, toh kakak baik-baik saja tanpa adanya pasangan," balasku.   Rena mengangguk dan memelukku dengan erat, lalu dia menepuk-nepuk punggungku dengan tangannya.   "I love you so much, kak. Apapun keputusan kakak, Rena akan selalu dukung. By the way, berapa ronde malam itu?"   Sialan! Katanya lupakan kejadian malam itu, eh sekarang dia ungkit-ungkit lagi. Ya mana aku tau! Aku saja pengen banget ingat semua kejadian itu, tapi sampai detik ini otakku langsung blank kalau mengingatnya.   "Au ah!" Aku mendorong badannya dan berencana meninggalkan apartemennya. Rena tertawa renyah dan nggak berhenti bertanya tentang kejadian malam itu.   ****   Seminggu setelah kejadian memalukan itu kondisi kantor mulai kondusif. Bukannya Rabian berhenti menggangguku tapi sudah seminggu ini dia cuti, kata sekretarisnya Rabian ada perjalanan bisnis ke Eropa. Hidup tenangku akhirnya kembali, para karyawan mulai melupakan gosip tentang aku dan Rabian.   Drttt drtt   Aku melihat nama Danish di layar ponselku, selama seminggu ini Danish selalu menjemput dan mengantarku pulang. Entahlah, sepertinya bunda yang menyuruhnya. Aku tidak menolak niat baiknya, mumpung ada yang berbaik hati mengantar dan menjemputku.  Danish juga tidak pernah membahas masalah malam itu. Danish pun sudah minta maaf membiarkanku mabuk parah dan aku pun memintanya melupakan kejadian itu.   "Halo Danish."   "Aku masih di rumah sakit, kamu bisa tunggu sebentar? Ada pasien kritis dan butuh penanganan dariku."   "Santai saja, kamu lanjutkan dulu pekerjaan kamu. Aku bisa pulang sendiri kok."   Aku merasa nggak enak kalau pekerjaan Danish sebagai dokter jadi terganggu karena aku. Setelah cukup mengenalnya, bisa aku pastikan Danish itu laki-laki sempurna. Pantasan bunda selalu memujinya dan berharap aku mau menikah dengannya.   "Baiklah, hati-hati di jalan."   "Iya."   Aku menyimpan ponselku dan kembali berjalan menuju lobby untuk mencari taksi. Mumpung masih sore rencananya aku mau mengunjungi Restu di apartemennya, entah kenapa aku sangat merindukan anak itu.   "Mbak ... tunggu!" panggilan Wida membuatku berhenti. Aku lalu memutar badan dan melihat Wida sedang berlari ke tempatku. Wajahnya terlihat aneh dari kejauhan, dan ternyata benar. Wida sedang menangis dan matanya sembab.   "Ada apa?" tanyaku penasaran.   "Bisa bicara empat mata?" tanyanya dengan raut muka serius. Aku mengangguk pelan, ada apa ini? Rasanya aku tidak pernah melihat Wida seserius ini sejak dia bergabung dengan perusahaan ini.   Aku dan Wida sengaja memilih restoran yang ada di lantai bawah agar pembicaraan kami tidak didengar karyawan lain. Aku memesan dua gelas minuman dingin dan menunggu Wida memulai ceritanya. Sepertinya ini mengenai urusan pribadinya.   "Aduh, kok aku jadi malu ya." Wida menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal, sepertinya dia sulit membuka mulut. Antara malu dan juga bingung bercampur menjadi satu.   "Ada apa?" tanyaku.   "Gimana rasanya punya affair dengan atasan?" tanyanya malu-malu.   "Et dah! Aku pikir tentang apa!" Aku hendak berdiri dan ingin meninggalkannya tapi dia menahanku.   "Maaf, ini bukan tentang mbak kok. Aku sepertinya kena karma karena selama ini mengolok-olok mbak," ujarnya dengan malu dan tanpa malu Wida menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal.   "Kamu terlibat affair juga?" tanyaku penasaran.   "Sepertinya iya tapi aku lebih parah mbak. Aku ... aku ... jatuh cinta mbak."   Aku tertawa mendengar jawabannya,"Ya elah, itu manusiawi neng, manusia itu punya hati dan kita nggak permah tau ke siapa hati itu akhirnya berlabuh. Asal bukan ke suami orang sih wajar-wajar aja, tapi kenapa kamu sedih dan nangis kayak gini?" tanyaku penasaran. "Kisah cintaku tragis mbak, saking tragisnya mungkin aku hanya bisa mencintainya secara diam-diam," jawabnya.   "Lebay! Memangnya kamu suka sama siapa sih?"   "Cinta kami mungkin banyak halangan dan rintangan,"   "Jangan drama deh,  jawab dulu!" perintahku.   "Aku nggak percaya kalau kejadian siang itu membuat mataku terbuka. Kalau ternyata Pak Arya itu guantengggggg banget! Walau sudah tua tapi Pak Arya itu hot papah. Papah papah kece yang perlu dilindungi wanita seperti aku."   What!   "Jadi kamu nangis dan buang-buang waktu aku untuk kegilaan kamu? Kalo mau gila jangan ajak-ajak!" omelku kesal.   "Mbak, misalnya aku jadi istri Pak Arya, kira-kira Pak Arya masih kuat nggak ya?" "Pak Arya pasti ogah punya istri kayak kamu," jawabku singkat.   "Yeeee, gini-gini aku masih perawan ya mbak. Seharusnya Pak Arya bangga bisa mencicipi keranuman perawan lugu seperti aku." Entah kenapa aku tersindir saat dia mengungkit kata perawan.   "Kamu nyindir aku hah?" ocehku lagi.   "Upssss maaf mbak, aku lupa kalau mbak udah bobok cantik di hotel dengan calon anak tiriku."   Sialan! Aku salah membawanya ke sini. Aku mengambil tas dan hendak menghajarnya.   "Eitsss sabar, ini calon mertua mbak loh. Hati-hati aku nggak kasih restu baru nyaho!" elaknya.   Ini satu lagi alasanku enggan menikah dengan Rabian. Malas banget punya mertua kayak si Wida, bisa-bisa hidupku bagaikan di neraka.   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN