Bab 5

1672 Kata
"Lebih baik kalian bubar dan berhentilah bergosip, dasar pengikut lambe turah!" teriakku kesal saat mereka mulai berspekulasi kenapa aku bisa sehotel dengan Rabian. Wida meletakkan jarinya di dagu dan sialnya plastik itu masih dipegangnya. Aku lupa benda apa yang tertinggal di hotel dan semuanya bisa kacau seandainya Wida membuka plastik itu dan melihat isinya. Mau letak di mana muka ini seandainya di dalam plastik itu berisi bukti kalau aku dan Rabian menghabiskan malam di hotel. "Yah masa kami diusir sih Mbak? Jawab dulu atau kami nggak akan pergi dari sini, ya nggak teman-teman?" ancam Wida dengan wajah pongahnya seakan ditangannya kini memegang senjata ampuh untuk membunuhku. Karyawan lain bersorak sorai seakan amarahku tidak berarti bagi mereka. "Kalian benar-benar ya!" Aku semakin geram dan hendak merampas plastik itu, sayangnya Wida lebih sigap mempertahankan benda itu dan baru kali ini aku mengejar Wida seperti kucing mengejar anak tikus. Kami berdua berlarian mengelilingi ruang tamu, dapur dan ruang keluarga. Karyawan lainnya memberi semangat ke Wida agar tetap bertahan sampai keinginan mereka terkabul. Aku berhenti saat napasku mulai habis dan sambil menunjuk ke arah Wida aku mencoba menormalkan napasku. "Gue ... gue janji traktir kalian semua makan siang selama satu bulan asal kalian berhenti ngerecoki hidup gue," bujukku. Kali ini umpan yang aku tebarkan sepertinya berhasil, Wida dan karyawan lainnya mulai berembuk. Sialan semuanya, dengar kata traktir langsung jinak. Oh Tuhan, kenapa Kau uji aku dengan semua ini, tidak kah Kau kasihan dengan hambamu ini. Sudah cukup disakiti Rabian dan sekarang dibully teman-teman. "Teman-teman nggak mau Mbak, mereka lebih memilih Mbak cerita kenapa Mbak dan Pak Rabian bisa sehotel," ujar Wida dengan senyum liciknya. "Sialan kalian! Balikin nggak!" aku mencoba merebut kembali plastik itu, tapi mereka bergabung membullyku. Apakah aku harus jujur? Mereka tidak akan berhenti sampai aku bercerita. "Oke ... oke ... makan siang plus malam, puas!" bujukku lagi. "No, kami nggak mempan dengan makanan," balas Wida. "Gaji gue sebulan untuk kalian!" tawarku lagi. "No!" Kali ini Wida hendak membuka plastik itu. "Oke ... oke ... kami tidur," bisikku pelan. Semoga mereka tidak dengar, ya ampun! Seumur hidup baru kali ini aku tersudut, semua ini gara-gara Rabian! Awas saja, nantikan pembalasanku! Aku pasti akan membalas dia lebih kejam dan lebih memalukan. "Mbak ngomong apa sih kami nggak dengar?" Sumpah ya, aku pengen banget siram Wida dengan minyak tanah! Dasar kompor meleduk, tukang gosip dan manusia super rese! "Kami tidur di hotel! Puas kalian!" teriakku dengan nada sepuluh oktaf. Semua orang langsung menganga mendengar teriakanku, Wida langsung menyerahkan plastik dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang. "Apa lagi yang mau kalian korek hah! Rabian itu mantan yang mencampakkan aku tujuh tahun yang lalu, kami tidur dan ..." Wida masih menunjuk ke arah belakang. Rasa penasaran membuatku memutar tubuh dan melihat Bunda serta Rena sedang berdiri di pintu masuk sambil membawa kue ulang tahun. "Ya ampun Bunda! Mampus gue!" aku melihat asap mulai keluar dari kepala Bunda. Ya Tuhan! Ya Tuhan! "Kami permisi dulu Mbak." Wida dan karyawan lain langsung meninggalkan aku dengan masalah baru, hidupku benar-benar sial. Keluar dari kandang macan eh sekarang malah masuk kandang buaya. "Eh Bunda ... kapan datang?" tanyaku sambil berusaha mencairkan ketegangan. Bunda menatapku dengan mata tajamnya dan sebentar lagi hidupku pasti akan berakhir. Hikssss, Bunda pasti menggunduli kepalaku atau menyuruhku menikah dengan Rabian. "Kamu ... tidur dengan laki-laki di hotel?" tanya Bunda to the point. Mata tajamnya berhasil mengintimidasiku, aku memutar-mutar ujung bajuku saking bingung mencari kata-kata untuk membela diri. "Ini semua salah paham kok, aku ... aku ..." Bunda langsung berdiri sambil memegang tanganku dengan sangat kencang. Bunda langsung menarikku agar ikut berdiri dengannya. "Oke, sekarang kamu antar Bunda menemui laki-laki itu. Bunda akan minta dia nikahi kamu secepatnya, enak saja udah niduri kamu terus nggak tanggung jawab?" oceh Bunda membabi buta. "Ya elah Bun, tidur di hotel belum tentu bercintakan?" ujar Rena setelah aku memberi kode agar dia menolongku dari lubang kematian. "Terus mereka main Ludo di hotel? Dengar ya, laki-laki dan perempuan berdua di hotel itu pasti melakukan hal itu. Bunda nggak mau tau ya, pokoknya kalian harus menikah atau Bunda coret kamu dari kartu keluarga!" Aku membuang napas, sepertinya aku harus rela namaku dicoret dari kartu keluarga daripada harus menikah dengan Rabian. Dalam mimpi pun tidak pernah terbersit keinginan untuk menjadi istrinya, terutama setelah dia mempermalukan aku di depan karyawan dan Wida. "Nggak! Terserah Bunda mau semarah apa dengan aku tapi untuk yang satu itu ... maaf, Ayu nggak bisa. Ayu nggak mau sakit hati lagi dan terserah Bunda mau mukul, botakin atau nggak akui Ayu sebagai anak tapi Ayu nggak mau menikah dengan dia," jawabku dengan mimik serius. "Kenapa? Kenapa kamu tidur dengan dia kalau kamu membencinya? Dia memperkosa kamu? Ayo ceritakan ke Bunda," Bunda memegang tanganku dengan suara mulai halus. Wajahnya berubah saat membahas tentang p*******n. Aku yakin Bunda teringat masa lalunya lagi, aku langsung menggeleng pelan agar Bunda lebih tenang. "Nggak, anggap saja itu kesalahan dan lupakan tentang kesalahan itu. Aku minta maaf karena sudah mengecewakan Bunda tapi ..." "Kalau begitu kamu nikah dengan Danish, titik!" "Bun, harus ya ada pernikahan? Nggak bisa aku seperti ini aja? Ayolah Bun, ini bukan zaman situ nurbaya lagi. Biarkan aku hidup tenang tanpa harus memikirkan laki-laki," pintaku penuh harap. Rena seperti tahu kalau aku serius menolak pernikahan. Dia tahu semua tentang kesedihan dan luka hatiku sejak putus dari Rabian. Selama ini dia tau sesulit apa aku melupakan sakit hati sejak dicampakkan Rabian. "Bun, ayolah jangan paksa kak Ayu lagi. Jodoh itu di tangan Tuhan. Seandainya Danish atau Rabian itu jodohnya Kak Ayu, tanpa dipaksa pun mereka pasti akan menikah." "Maksud kamu, dia akan menikah dengan Rabian dan Danish? Jadi kamu mau Ayu punya dua suami?" oceh Bunda lagi. Emosi membuat otak Bunda berpikir aneh-aneh saja, dua suami? Satu saja belum tentu aku mau. "Et dah, itu sih maruk namanya. Maksud aku antara Rabian atau Danish atau laki-laki lain, nggak ada yang tau kan siapa jodohnya kakak. Aku yakin kakak tau mana yang terbaik untuk hidupnya, percayakan semuanya ke tangan kakak. Kalau kakak siap, pasti kakak akan menikah tanpa Bunda paksa pun. Ya kan, kak?" Rena memberi kode dan mau tidak mau aku pun mengangguk. Bunda membuang napasnya lalu berdiri dengan wajah masih menahan rasa kesal dan marah. "Bunda harap kamu bisa berpikir dengan jernih, seandainya kamu hamil siapa yang tanggung jawab?" tanya Bunda. Hamil? Buset, Bunda terlalu tinggi ngayalnya. Masa sekali langsung jadi sih? Hahaha lagipula aku masih nggak yakin malam itu kami benar-benar b******a. "Ayo Rena antar Bunda pulang, bye kak!" Rena membawa Bunda keluar dari apartemen dengan mulut masih mengomeliku. Fiuhhhh, kenapa sehari ini bertubi-tubi kesialan menerpaku. Seharusnya hari ini aku bersuka cita merayakan ulang tahun, bukan menderita seperti ini. Ini semua gara-gara Rabian! Aku melihat plastik yang menjadi sumber masalah, aku mengambilnya lalu membukanya. Aku penasaran benda yang tertinggal di hotel. Perlahan-lahan aku membuka plastik itu dan rasa penasaran tadi langsung berubah menjadi sinis saat aku melihat sebuah klip rambut warna hitam. Ya, klip rambut hitam yang biasa aku pakai saat menyanggul rambutku. Benda tak berharga ini menjadi biang keladi dan berhasil membuatku malu. "Rabiannnnnnn, tunggu pembalasanku!" Aku membuang klip rambut tadi ke dalam tong sampah. Setelah itu aku langsung mengambil tas untuk pergi untuk membalas sakit hatiku, untungnya tadi Wida memberitahu kalau hari ini Rabian pasti akan menghabiskan waktu di kantor. **** Aku tersenyum licik sambil memegang kantong plastik. Aku mengintip isi dalamnya dan yakin Rabian akan malu setelah melihat isinya. "Darah dibayar darah!" Aku bergegas masuk ke dalam gedung dan menyapa karyawan yang aku temui. Beberapa karyawan mulai berbisik, aku sudah kebal dan yakin Wida sudah menyebarkan gosip ke seluruh kantor. "Mbak," teriak Wida. "Apa lagi? Nggak puas?" tanyaku kesal. "Aku minta maaf ya Mbak," ujarnya dengan wajah bersalah. Tangannya memegang cake vanila kesukaanku. Beuh, jangan harap aku bisa luluh semudah itu. "Males! Nggak mempan!" kali ini aku ingin memberinya pelajaran. Biar dikemudian hari, rasa keponya bisa dikurangi. "Yah, terus apa hukumannya? Jangan marah lagi ya Mbak. Aku benar-benar cuma pengen tau aja kok, nggak ada maksud sampai ibunya Mbak tau," ujarnya lagi. "Nggak mau tau!" balasku pura-pura marah. "Jadi Mbak maunya apa?" tanyanya dengan mimik sedih. Sip, ini yang aku tunggu. "Yakin mau? tanyaku. "Yakin, apa pun hukumannya," jawab Wida pelan. "Kalau begitu, laki-laki pertama yang melewati pintu itu. Harus kamu lamar dan ajak menikah, setelah itu aku akan memaafkan semua kesalahan kamu," ujarku dengan mimik wajah serius. "Yah Mbak, kalau suami orang gimana?" ujarnya dengan pasrah. "Laki-laki berikutnya," jawabku. "Baiklah," Wida lalu bergegas ke pintu masuk. Aku tak berhenti tertawa saat Wida menutup matanya dan berniat melakukan perintahku. "Satu ... dua ... tiga ..." hitungku saat pintu mulai terbuka. "Kita menikah yuk!" teriak Wida tanpa membuka matanya. Aku semakin tertawa saat melihat laki-laki pertama yang menjadi korban keisenganku. "Astaga!" teriak Wida saat melihat Pak Arya sedang berdiri di depannya. Wida sibuk meminta maaf sedangkan Pak Arya sibuk mengomeli Wida. Aku tertawa lepas dan membiarkan Wida menyelesaikan masalahnya dengan Pak Arya. Walau tidak muda lagi tapi Pak Arya masih bujangan, siapa tahu Pak Arya dan Wida jodoh. "Wait! Kalau mereka jodoh, berarti Wida itu ibunya Rabian? Mampus gue!" Aku menepuk jidat dan melihat Wida masih menundukkan kepalanya sedangkan Pak Arya tak berhenti mengomelinya. "Ah iya," aku teringat misi balas dendamku yang lain. Aku bergegas menuju ruang meeting dan melihat Rabian sibuk berbincang dengan tamunya. "Kali ini giliranku," aku membuka sekali lagi plastik itu dan melihat pakaian dalam pria yang sengaja aku ambil dari rumah Rena. Maafkan Mbak ya Reza, k****t kamu hilang beberapa biji. Ini semua demi membalas sakit hati Mbak. Aku menutup kembali plastik itu dan mulai mengetuk pintu. Tok tok tok "Masuk," jawabnya. Aku mulai membuka pintu dan tersenyum ke arah tamu itu. "Maaf mengganggu," aku lalu mendekati Rabian dan sengaja berdiri di sampingnya. "Terima kasih atas semuanya, kali ini giliranku..." bisikku pelan. "Sayang ... kamu lupa bawa pakaian dalam yang tertinggal di apartemen aku," ujarku dengan suara lumayan keras. Wajah Rabian masih datar tapi mulai memerah. Tamu tadi mulai berbisik sesama mereka, aku tertawa pelan. Toh, semua orang sudah tau. Lebih baik aku perjelas saja hubungan kami. "Astaga, aku lupa kalau kamu ada tamu. Hahahah, perkenalkan saya pacarnya Rabian ... ah, mantan pacar seharusnya. Hubungan kami seperti ini, walau sudah putus ... dia tetap tidur di apartemen ..." aku semakin memperjelas di depan tamu itu. Ya Tuhan, apa yang aku lakukan. Balas dendam ini membuatku melakukan hal gila. "Saya permisi dulu," ujar Rabian sambil menarikku keluar dari ruang meeting. Aku tertawa penuh kemenangan, bagaimana rasanya dipermalukan? Enak? Sakit? Mau lagi? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN