Bab 4

1537 Kata
"Arghhhhhhhhhhhhh, siapa kamu! Apa yang kamu lakukan!" teriakku saat melihat laki-laki asing sedang tidur membelakangiku tanpa memakai baju. Aku mencoba mengerjapkan mata beberapa kali agar rasa sakit di kepalaku hilang dan berharap ini hanya mimpi buruk. Bukannya sadar dari mimpi, yang ada aku semakin yakin kalau saat ini aku sedang tidur seranjang dengan laki-laki asing. Laki-laki itu tidak merespon dan masih tidur dengan nyenyaknya. Aku mencoba berpikir jernih dan hal pertama yang aku lakukan adalah memeriksa kondisiku dan ternyata apa yang aku pikirkan benar adanya. Sekarang aku hanya memakai selimut hotel untuk menutupi tubuhku, perlahan-lahan aku mencoba membuka selimut itu untuk melihat apakah aku dalam kondisi memakai baju atau telanjang. Aku menutup mata dan perlahan-lahan mengintip menggunakan sebelah mata dan aku langsung shock saat melihat aku hanya memakai pakaian dalam tanpa baju yang semalam aku kenakan. Ya Tuhan Ya Tuhan Dosa apa yang aku lakukan tadi malam, aku kembali mencoba berpikir dan semua ingatanku menghilang tanpa bekas. Laki-laki itu masih tidur seakan tidak terjadi apa-apa. Entah siapa laki-laki asing ini dan kenapa aku bisa tidur seranjang dengannya? Jangan-jangan dia memaksaku atau aku yang memaksanya? Ribuan pertanyaan membuat dadaku berdetak cepat. Aku melihat kondisi kamar  cukup berantakan, bahkan aku melihat baju yang tadi malam aku pakai berserakan di lantai. "Arghhhhhh, apa yang kamu lakukan padaku!" teriakku lagi, kali ini aku menendangnya dengan sangat keras hingga dia terjatuh dari ranjang. Mulutku langsung terbuka lebar saat sadar siapa laki-laki asing yang tidur seranjang denganku. Di antara jutaan laki-laki di dunia ini, kenapa aku harus tidur dengan musuh abadiku? Tidak! Tidak! Ini hanya mimpi buruk, mana mungkin aku tidur dengan dia. Aku mengucek-ucek mata dan berharap wajah menyebalkannya berubah menjadi wajah artis korea atau orang lain, asal bukan dia tapi sampai mataku perih wajah itu tetap sama. "Ra ... Rabi ... an ... tunggu ..." aku berdiri dalam posisi selimut masih menyelimuti tubuh setengah bugilku. Aku mengambil napas lalu membuangnya, ini mungkin hanya salah paham dan kami tidak mungkin 'b******a' dalam kondisi saling membenci seperti sekarang. "Kenapa kamu di sini! Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan napas tersengal-sengal menahan emosi yang kian memuncak. Wajahnya tetap datar dan tanpa ekspresi, bahkan dia kembali berbaring di ranjang seolah aku ini nyamuk yang sedang berdengung di telinganya. 'Acuhkan saja dan kembalilah tidur.' Mungkin itu yang ada di pikirannya. "Rabian!" teriakku lagi dengan tangan mengepal. Andai membunuh dibolehkan, mungkin aku akan mencekiknya sampai mati dan setelah itu aku akan memutilasinya lalu membuang potongan tubuhnya di danau. "Malam yang menyenangkan," ujarnya singkat dalam posisi mata terpejam. Seakan meniduri gadis perawan itu adalah hobinya, atau jangan-jangan selama tujuh tahun ini sudah banyak gadis perawan dia tiduri? Dan kini giliranku? Astaga Astaga Ya Tuhan, mungkinkah kami benar-benar b******a? Tapi kenapa aku tidak ingat? Seharusnya aku merasakan sakit seperti artikel yang pernah aku baca, bahkan aku tidak merasakan apa-apa atau dia melakukannya dengan lembut hingga aku nggak merasakan apa-apa? Atau 'itu' nya nggak gede? Ya ampun apa yang barusan aku bayangkan! Ayunda gila! Kamu benar-benar sudah gila Ayunda! Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri setelah bermacam-macam pikiran bodoh menghantuiku. "Kamu memperkosaku! Kamu benar-benar b******n biadap! Dua kali ... dua kali kamu hancurkan aku dan kali ini kamu benar-benar berhasil membuatku merasakan kembali menjadi sampah," rutukku dengan tangis tertahan. Mungkin hanya aku satu-satunya manusia yang diperlakukan seperti ini oleh satu laki-laki yang sama. Kali ini dia membuka matanya dan menatapku sama seperti saat dia menatapku di tepian danau. Ada kepedihan dan amarah menyatu menjadi satu, tatapan itu sangat mengintimidasiku hingga seluruh bulu kudukku berdiri. Tatapan tadi perlahan menghilang dan dengan santainya dia memakai kembali kaos yang dilepaskannya tadi. "Kamu yang minta, lupa?" jawabnya lagi dengan nada masih santai, "tidak sda kucing menolak ikan asing kan? Sudahlah, kamu bukan anak kecil yang harus menangis saat balonnya diambil. Nikmati dan anggap ini sebuah permainan." Kata-katanya sungguh menyakitkan hati, aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku mencintai laki-laki tak tahu malu seperti dia. Amarah dan rasa kecewa membuatku kembali teringat kejadian tadi malam. Flash back on "Restu, kamu tau nggak kalau kakak sedih banget hari ini," aku semakin mengoceh dan meluapkan semua isi hatiku di depan laki-laki yang aku sangka Restu. "Dia ... dia yang jahatin kakak, dia yang berhasil membuat kakak galau bertahun-tahun datang kembali ke dalam hidup kakak. Restu, kakak nggak mau sakit hati lagi tapi ... tapi ..." Aku semakin membenamkan wajahku di dadanya, aroma tubuhnya benar-benar tidak asing di hidungku. Ini bukan bau tubuh Restu tapi orang yang selama ini membuat luka di hatiku. Aku mencoba berdiri untuk memastikan apakah laki-laki berwajah datar itu benar-benar Restu atau Rabian. Berkali-kali aku mengucek mata dan wajah datar tadi langsung berubah menjadi wajah Rabian yang menyebalkan. Ayunda bodoh! Bisa-bisanya aku mencurahkan isi hatiku di depan dia. Mau letak di mana wajahku kini! "Kamu!" tunjukku dengan tubuh oleng. "Kamu ... kamu ... kenapa muncul lagi hah!" tubuhku kian oleng ke kiri dan ke kanan. Aku mengeram dan mencoba membuat diriku tetap sadar, dia masih berdiri dan mengacuhkan aku. Aku semakin marah dan mencengkram kerah bajunya. "Kenapa kamu muncul lagi hah! Kenapa kamu harus menjadi atasanku! Kamu b******n! Membusuklah di neraka," teriakku dengan sangat keras. Perlahan-lahan tubuhku mulai oyong dan jatuh ke dalam pelukannya. "Kamu nggak tahu rasanya patah hati, bertahun-tahun aku sakit hati dan setelah sakit itu mulai menghilang ... kamu muncul lagi!" sambungku dan tanpa sadar airmataku jatuh. Dia tetap diam tapi tangannya mencoba membantuku agar tidak jatuh, aku semakin membenamkan wajahku di dadanya. Ya Tuhan, aku merindukan pelukannya. "Aku ... mau kamu," pelan dan setelah itu aku tidak sadarkan diri dipelukannya. Flashback end Astaga! Benarkah aku memintanya? Rasa malu dan kotor membuatku memungut baju yang berserakan dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Aku mengunci pintu dan setelah itu langsung memukul kepalaku dengan tangan. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Rasanya aku tidak ada muka lagi untuk bertemu dan bertatap muka dengannya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin memintanya bertanggung jawab untuk menikahiku, aku tidak mau menikah dengan dia. Aku juga nggak mungkin memaksanya menikahiku, ini hanya hubungan satu malam. Ya, hanya satu malam dan anggap saja ini kebodohan kedua setelah kebodohan pertama saat aku mencintainya dulu. "Sebaiknya aku pura-pura tidak mengenalnya, jadi masalah ini bisa kami lupakan," ujarku lagi. Aku kemudian membasuh wajah dan memakai kembali bajuku. Setelah semua rapi barulah aku keluar, aku melihat Rabian berdiri di jendela sambil meminum kopi. Tanpa banyak kata aku langsung menyambar tas dan sepatuku lalu berlari menuju pintu keluar. Tidak ada reaksi dan usahanya mencegahku, aku terdiam beberapa saat dan merasa ini bukan salahku. Kenapa aku harus lari? Aku memang mabuk dan memintanya tapi seharusnya dia bisa menahan diri dan tidak melecehkanku. Aku kembali memutar tubuhku dan menghampirinya. Aku berdiri di belakangnya dan tanganku sudah bersiap untuk menamparnya. "Kamu b******n biadab! Kamu mengambil kesempatan dari wanita yang sedang mabuk parah lalu melecehkannya, sampai mati pun aku tidak akan pernah memaafkan kamu!" teriakku. Rabian memutar tubuhnya dan aku mengambil kesempatan untuk melayangkan telapak tanganku di wajahnya. "b******n!" makiku kesal dan airmata mulai membasahi pelupuk mataku. Dia memegang wajahnya dan menatapku lalu tersenyum sinis. "Mau minta tanggung jawab?" Pertanyaannya seolah merendahkan diriku. Aku kembali menamparnya dan kali ini sangat keras. Bahkan aku melihat bekas telapak tanganku di pipinya. "Jangan harap!" teriakku sebelum meninggalkan dia dengan amarah dan rasa benci bercampur menjadi satu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah minta tanggung jawab. **** Dua hari ini aku sengaja mengambil cuti dan mengurung diri di apartemen, rasanya aku ingin berhenti dari kantor agar tidak berurusan lagi dengannya tapi aku sadar itu adalah tindakan pengecut. Aku harus tetap bertahan dan menunjukkan kalau aku bisa bertahan tanpa dia. Tok tok tok "Siapa?" tanyaku malas. Tok tok tok "Siapa!" tanyaku kesal saat tamu itu tidak menjawab dan kembali mengetuk pintu. Lagi-lagi tak ada sahutan, akhirnya aku berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang pintu. Aku tidak melihat siapa-siapa dan sepertinya aku sedang dikerjai anak-anak penghuni apartemen lainnya. Tok tok tok Aku ingin kembali ke kamar tapi aku mendengar ketukan sekali lagi. "Cukup sudah!" Aku bergegas membuka pintu dan ingin mengomeli anak-anak iseng itu. "SUPRISEEEEE." Aku melihat Wida dan beberapa karyawan kantor lainnya sedang berdiri sambil memegang kue ulang tahun bahkan mereka memakai atribut yang biasa dikenakan orang-orang untuk merayakan acara ulang tahun. "Happy birthday Mbak Ayu, semoga tahun ini nggak jomblo lagi. Segera nikah dan yang terpenting, semoga Mbak nggak berhenti memanjakan kami dengn traktiran-traktiran," ujarnya tanpa malu. Aku tertawa dan juga terharu melihat kejutan ini, aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari ulangtahunku. "Terima kasih, semoga doanya terkabul kecuali bagian menikah." Aku mempersilakan mereka masuk dan berniat akan memesan makanan untuk mentraktir mereka. "Oh iya, ada tamu spesial Mbak," bisik Wida saat dia membantuku menyiapkan minuman ringan untuk karyawan lainnya. "Siapa?" tanyaku antusias. Mungkinkah mereka menyewa artis ternama untuk bernyanyi? Wida berlari ke pintu masuk dan bersiap-siap membuka pintu. "Ini dia .... taraaaaaaa," dia membuka pintu dan aku melihat Rabian sedang berdiri dan aku melihat dia memegang sebuah plastik. Wajah bahagiaku mulai berubah, pasti ini ulah Wida. Kenapa harus mengajaknya ke sini! Dasar tamu tanpa undangan! Arghhh, aku mau mengusirnya tapi nggak enak dengan karyawan lain. "Ayo masuk, Pak." Ajak Wida tanpa seizinku. "Nggak perlu, saya ke sini untuk mengembalikan ini. Ini barang Ibu Ayunda yang tertinggal di hotel." Semua mata menatapku dan Rabian secara bergantian. Sialan! "Kok bisa barang Mbak Ayu tinggal di hotel? Dan kenapa Bapak yang membawanya? Emangnya Mbak Ayu nginap sehotel dengan Bapak?" tanya Wida dengan wajah keponya. "Tanya sendiri dengan Ibu Ayunda, permisi." Lidahku kelu saat semua mata kembali menatapku dan berharap aku menjawab pertanyaan Wida tadi. Sumpah, rasanya aku ingin terjun dari apartemen saat ini juga. Bundaaaaaasa Anakmu dibully! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN