“Coba pasang cincinnya, Nak.” Perhatianku pada Kak Gian mendadak teralihkan karena permintaan Eyang. Sontak hawa panas menerpa wajah, merasa malu karena mungkin saja aku tertangkap basah. Mau gimana lagi, penampilan Kak Gian bikin pangling. Rambut dipotong rapi membuatnya terlihat lebih segar. Aku yang menatap, jadi berdebar nggak menentu. Keberadaannya nggak pernah gagal mempengaruhiku. “Jangan melamun. Tidak baik.”
“Iya, Eyang,” jawabku pelan. Segera kuambil kotak cincin di atas meja, tapi gerakan tangan mendadak terhenti karena Tante Rima memotong, “Melamun itu manusiawi, Umma. Nggak apa.” Beliau kemudian mengedipkan sebelam mata, membuatku mengulum senyum. Sejauh ini, Tante Rima orang pertama yang mematahkan teguran Eyang. Sementara Bunda nggak pernah berani, karena beliau tahu gimana sifat kerasnya Eyang.
“Tidak baik kalau di tengah orang banyak. Jatuhnya tidak sopan, karena terkesan tidak mendengarkan pembicaraan.” Tatapan Eyang menyapu pada wajah-wajah yang ada di ruang tamu, setelah itu beliau menggeleng pelan dengan tangan terlipat rapi di atas paha. “Nanti pandangan Gian sedikit berbeda. Dia pasti berpikir, Kia gadis yang minim perhatian. Etika di hadapan tamu kurang, ke depannya nanti jadi bahan pertimbangan untuk dikenalkan ke khalayak.”
Nada yang Eyang gunakan begitu lembut, berbeda dengan maksud dari ucapan beliau sendiri. Sangat menusuk, membuatku mendunduk setelah menelan ludah lamat-lamat. Andai Tante Rima nggak membela, masalahnya nggak akan sepanjang ini. Tapi ... aku nggak menyalahkan beliau karena di satu sisi, aku menghangat mendapat pembelaan. Beliau wanita yang menyenangkan, orang ketiga yang kuhormati setelah Bunda dan Eyang.
“Mungkin Kia tadi teringat tugas kuliah,” timpal Kak Gian penuh pengertian. Dia tersenyum tipis, menunjukkan rasa hormat tanpa terkesan menentang. Karena mungkin saja dia berpikir, apa yang Eyang katakan itu berlebihan. “Aku yakin Kia tahu situasi. Sebuah kebetulan saja dia kehilangan sedikit fokus, jadi tidak mendengarkan pembicaraan. Eyang tidak perlu khawatir. Kami saling menghormati satu sama lain nanti.”
Aku tersenyum tipis, Bunda juga. Setelah diam beberapa saat hanya untuk mendengarkan, akhirnya Bunda angkat bicara, “Katanya tadi mau pasang cincin? Sekarang saja, Ma. Biar kita lihat sendiri apakah yang dipesan ini sudah pas atau belum di jari manis Kia. Misal kebesaran maupun kekecilan, mumpung ada waktu cincinnya masih bisa dikembalikan untuk disesuaikan lagi.”
Secepat itu topik berubah. Terlebih Eyang sudah tenang, karena apa yang Kak Gian katakan diterima beliau dengan gampang. Respect-ku jadi naik berkali-kali lipat. Kak Gian selalu pandai mengambil alih suasana. Orang lain mudah mendengarkan apa yang dia katakan, karena kalimat tersebut dibalut dengan nada tenang menghanyutkan. Semacam mengajak orang untuk percaya, lalu menerima tanpa mendebat lagi.
Oke aku berlebihan karena lagi kasmaran-kasmarannya dengan Kak Gian. Tapi percayalah, apa yang kubilang ini nggak sepenuhnya bohong. Kak Gian itu punya kharisma tersendiri. Tanpa dia sadari, dia menarik orang-orang lebih dari yang dia kira. Nggak perlu bersusah-payah, dia dapat perhatian tanpa mengeluarkan banyak usaha.
Laki-laki di keluarga Harun nggak ada yang gagal. Semua punya kelebihan masing-masing, termasuk Mas Danu. Aku benci mengakui, tapi si tua mesuum itu memiliki visual bukan main. Anak-anak, remaja, wanita, bahkan nenek-nenek mudah dibuat terpesona. Karena daya tarik yang dia miliki nggak pandang usia. Andai sifatnya sedikit lebih bagus, aku pasti nggak bakal berpikir dua kali untuk mengakrabkan diri. Karena ... senang saja rasanya mengetahui sebentar lagi punya kakak laki-laki. Walaupun hanya sebatas ipar.
Kali ini Kak Gian yang mengambil kotak cincin. Tante Rima yang minta untuk membantuku. Dimulai dari membuka, sampai memasangkan. Jujur saja aku gugup. Karena sudah pasti kami bersentuhan. Aku nggak mau bertindak murah, hanya saja selalu ada efek yang ditimbulkan saat tangan Kak Gian mengenai tanganku. Semacam dialiri listrik tegangan rendah, membuat jantung nggak tenang. Debarannya jadi naik dua kali lipat, memukul rongga dadaa begitu kuat. Kadang aku didengar orang lain. Karena akan jadi memalukan kalau sampai mereka tahu.
“Permisi,” ucapnya lirih saat, memasukkan benda mungil berkilauan tersebut ke jariku. Setiap sisi dari cincin yang bergesekan dengan kulit, sukses membuatku menahan napas beberapa detik. Sensasi yang ditimbulkan nggak dapat dijelaskan, intinya menyenangkan karena Kak Gian yang melakukannya. Kupikir jatuh cinta diam-diam ini sudah sampai titik tinggi, di mana hanya dengan menatapnya saja membuatku senang.
Demi apa pun, ini baru tahap mengepaskan cincin. Tapi aku seakan menghadapi situasi di mana Kak Gian sudah resmi melamar. Vibes perjodohannya jadi beda, karena dalam hal ini aku jatuh cinta dengan laki-laki yang dipilihkan Eyang untukku. Padahal satu bulan belakangan yang mengisi kepala hanya sebatas perasaan nggak kesampaian. Karena nggak mudah jadi pengagum rahasia, Kak Gian nggak akan tahu aku menyukainya kalau nggak diutarakan terang-terangan.
Decakan kagum terdengar dari Bunda. Beliau bahkan menepuk pelan punggung tangan Tante Rima, sebagai isyarat tanda suka dan ucapan terima kasih. Karena yang merekomendasikan tempat pembelian cincin ini beliau. Sedangkan Eyang berperan penuh dalam desain, lalu Bunda turut menentukan warna emas yang diinginkan. Hanya aku yang nggak terlibat, karena jadi pihak penurut untuk keinginan semua orang.
Eyang juga sama terlihat puasnya. Beliau mengangguk padaku dan Kak Gian, setelah itu mempersilakan kami untuk memperhatikan dengan saksama. Andai sependapat dengan mereka, maka benda mungil ini nggak perlu ada revisi lagi. Pihak Kak Gian hanya perlu menyelesaikan pembayaran akhir, lalu urusan cincin nikah selesai.
Sontak aku mendongak, niatnya ingin tahu seperti apa pandangan Kak Gian tentang hal ini. Tapi setelah dia mencoba ukurannya sendiri di jari manis, Kak Gian langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Bahkan nggak butuh waktu lama memperhatikan, cincin langsung dikembalikan ke tempat asalnya. Mendadak aku diam, mencerna apa yang baru saja kulihat. Tapi ujung-ujungnya aku menyimpulkan, Kak Gian mungkin percaya dan menyerahkan pilihan sepenuhnya pada para orang tua.
Berusaha untuk nggak memikirkan lagi, aku beralih fokus pada pembahasan tentang beberapa list vendor pernikahan yang belum ada kata sepakat. Eyang, Bunda dan Tante Rima terlihat serius, masing-masing dari mereka memegang katalog WO yang satu minggu sebelumnya sudah mutlak untuk dipakai jasanya. Tujuan pertemuan hari ini untuk mendiskusikan hal-hal yang belum mendapat kata final, karena perbedaan pendapat mereka sendiri memperumit semuanya.
Setelah minum sirup dingin yang Mbak Yati sediakan, aku sempat melamun karena masih kepikiran sikap Kak Gian. Menebak-nebak bagaimana perasaannya soal pernikahan yang kian hari kian dekat. Segala tindakannya nggak bisa k****a. Apakah itu antusias, biasa saja, atau justru hambar, aku nggak tahu. Dia abu-abu. Aku selalu berusaha positif, membuat alasan untuk menyemangati diri sendiri supaya nggak terlihat menyedihkan. Aku yakin semua akan terjawab setelah pernikahan terjadi. Dan apa pun alasannya, kuharap itu hal yang baik untuk kami berdua.
***
Karena dosen berhalangan hadir, hari ini kuliah berakhir lebih awal dari biasanya. Jadi di sela memasukkan binder dan peralatan menulis ke dalam tas, aku mendengarkan Haura yang membahas masalah magang. Dia bilang sudah diterima di kantor incaran, tapi sayang hanya ada peluang untuk satu orang. Haura menyesalkan hal itu. Dia merasa nggak setia kawan, tapi dia juga nggak bisa mengabaikan mimpinya untuk magang di kantor tersebut.
Seleksinya termasuk ketat. Haura beruntung dipilih, setelah mengalahkan lima belas orang pemagang lain. Dibanding marah karena Haura gerak cepat, aku justru mengucapkan selamat. Merasa bangga punya teman pintar yang beruntung. Aku bahkan memeluk Haura, menepuk-nepuk punggungnya karena turut bahagia.
“Nggak usah sedih, aku nggak apa. Masih banyak kantor lain di kota ini, jadi aku nggak akan kekurangan tempat.” Itu yang kukatakan saat kami sudah di luar kelas, menuju tempat parkir tapi harus melewati koridor dulu. “Magangnya masih lama, jadi aku punya waktu banyak buat urus ini dan itu.”
“Tapi jangan disepelekan, Ki. Waktu bakal cepat berlalu, ujung-ujungnya lo terdesak karena terlalu lamban.” Dia merangkulku saat menyeberangi lapangan. Rencananya setelah ini kami ke toko buku, Haura dan aku mau membeli novel. Uang yang kami kumpulkan sudah cukup, jadi kami antusias sekali. “Nanti gue bantu, deh. Kalo udah dapat kantor yang dituju, kasih tau gue aja biar gue bantu isi link buat surat izinnya.”
“Siap! Haura baik banget!” seruku sembari mencubit pipinya. Membuat Haura cemberut, lalu dia menggeliti pinggangku, kemudian kami tertawa terbahak-bahak. Untungnya nggak banyak orang di area menuju parkiran, jadi kami nggak dicap cari perhatian maupun sok-sokan.
Karena tadi diantar Kak Gian, otomatis sekarang aku ikut Haura. Tapi baru saja muncul di area khusus motor, kami dikagetkan bunyi klakson yang nyaring. Saat menoleh ke sumber suara, aku dibuat ternganga lebar karena mendapati Mas Danu di sana. Dia persis di depan pos satpam, menggunakan motor besar dengan helm di atas tangki.
“Siapa?” bisik Haura, tapi nggak kuhiraukan karena masih dalam mode melongo. Untuk apa Mas Danu di sini? Jangankan membuat rencana untuk bertemu, berkirim pesan secara pribadi saja kami nggak pernah. Jadi, apa tujuannya sekarang? Tadi aku memang memberitahu Kak Gian kalau pulang lebih awal, tapi mustahil ‘kan dia membagi kabar ini dengan Mas Danu? “Ki, gue kayak pernah lihat tuh orang. Tapi lupa di mana. Intinya nggak asing banget.”
Tanpa menjawab keheranan Haura, aku berjalan cepat menghampiri. Ingin bertanya penuh emosi, tapi alih-alih semua kalimat berhasil dimuntahkan, aku justru refleks menyambut helm. Dia melempar dengan tampang nggak berdosa. Meskipun lemparannya nggak kencang, tapi aku tetap saja jengkel. Mau orang ini apa, sih?!
“Naik.”
“Nggak mau! Ngapain ke sini? Tahu dari mana kalau saya udah pulang?!”
“Gian. Tapi itu tidak penting. Suka atau tidak suka, kamu tetap harus ikut saya.” Lalu Mas Danu mengendikkan kepala, wajahnya datar penuh perintah. Membuat napasku memburu, makin nggak suka dengan kelakuannya. “Saya hitung satu sampai tiga, kalau tidak naik, jangan teriak kalau saya angkat.”
“Nggak, terima kasih!”
Mas Danu berdecak pelan. Dia bergerak penuh ancaman, membuatku memasang kuda-kuda untuk melindungi diri. Kupikir hanya sebatas gertakan, tapi nyatanya sedetik kemudian aku dibuat memekik karena Mas Danu merebut helm–memasang tanpa aba-aba. Dia bahkan menutup kacanya, menepuk tepat di puncak kepala, membuatku mengaduh. “Opa saya masuk rumah sakit. Keluargamu berkumpul di sana, saya diminta untuk menjemput karena kebetulan dari kantor. Sekarang jangan banyak protes, naik sendiri atau saya gendong?”
Di belakang sana Haura melontarkan pertanyaan untuk kesekian kali, tapi lagi-lagi nggak kujawab karena mau nggak mau harus manut pada Mas Danu. Dengan bibir mencebik, aku langsung duduk di jok belakang. Sempat kesusahan naik, karena motor ini terlalu tinggi. Ingin minta bantuan, tapi gengsi setengah mati. Jadi setelah susah-payah, akhirnya aku bisa duduk dengan nyaman.
Baru setelah itu aku bicara dengan Haura–berpamitan lebih tepatnya, karena nggak akan sempat kalau menjelaskan. Dia kebingungan, tapi mengangguk lamat dengan kening berkerut. Setelah itu Haura melambaikan tangan sambil menunjuk-nunjuk ponsel, meminta diberitahu via chat nanti. Dan aku mengangguki tanpa pikir panjang.
Aku berpegangan pada jaket Mas Danu begitu motor melewati gerbang kampus. Namun pegangan berubah jadi pelukaan saat dia menambah kecepatan. Rentetan omelan langsung ke luar dari mulut, merutuki tindakannya yang tanpa pemberitahuan maupun aba-aba. Tapi alih-alih merasa bersalah, Mas Danu justru menyundul kepalaku dengan bahunya. Kemudian dia bicara dengan lantang, “Tutup mulut dan peluk saya erat-erat. Kalau tidak, anak TK pasti terbang.”
***