Penyakit jantung Opa Tara kambuh, itu yang menyebabkan beliau pingsan saat berada di ruang kerja. Untung saja segera mendapat penanganan pertama dari Tante Rima, baru setelahnya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Dan sejauh ini kondisi beliau mulai stabil. Sudah bisa tersenyum, mengedipkan mata, lalu bicara pelan meskipun hanya sepotong-sepotong. Beliau membuat semua orang panik, tapi kepanikan berangsur-angsur hilang setelah semuanya membaik.
Eyang nggak beranjak sedikitpun dari sisi brankar. Terlihat jelas kalau beliau paling kaget di antara yang lain. Mimik muka Eyang menunjukkan kekhawatiran yang besar. Aku menangkap semacam, beliau takut kehilangan kerabat dekat yang sudah dianggap lebih dari saudara sendiri. Untuk pertama kalinya aku melihat, wanita tua yang tangguh ini, terlihat lemah dan nggak ada daya untuk bicara.
"Umma lebih baik istirahat. Biar papa gantian dijaga Mas Danu sama Kia," ujar Tante Rima, memecah keheningan yang menyelimuti selama belasan menit. Aku sendiri dibuat tertegun, karena namaku disebut dengan jelas. Oke aku mengerti, Kak Gian nggak ada di sini, itu sebabnya kami berdua yang diminta. "Yang lain juga. Karena kabar mengejutkan tadi, kita bahkan melewatkan makan siang. Jadi sementara rehat, papa dititip dulu ke mereka."
Opa Tara setuju usul Tante Rima, terlihat dari kedipan mata yang beliau tunjukkan. Tapi Eyang yang keras kepala, menolak dengan tegas dibarengi gelengan cepat. Beliau lantas menambahkan, "Aku di sini saja. Tara tidak bisa ditinggal, kalau dia butuh sesuatu pasti kesulitan mengambil sendiri. Kia tidak bisa diandalkan, sementara Danu terlihat sibuk. Aku tidak percaya menitipkannya pada mereka."
Bunda dan Tante Rima saling pandang, sedangkan aku menghela napas pelan. Selalu saja ada yang kurang dalam pandangan beliau, padahal aku berusaha untuk jadi seseorang yang bertanggungjawab. Aku tahu Opa Tara itu pria yang bijaksana, dalam kondisi lemah sekalipun beliau pasti nggak akan cerewet. Pembawaan yang tenang, membuatku menyimpulkan kalau beliau orang yang mudah ditangani. Nggak ribet, apalagi sampai menyusahkan.
"Danu bisa dipercaya, Ma. Kia juga, dia punya perhatian dan tingkat keperdulian yang tinggi. Kita semua sudah jadi keluarga, jadi nggak mungkin mereka melalaikan penjagaan. Lagipula ini nggak akan lama. Mama bisa sesekali menjenguk, setelah beristirahat penuh. Kita bisa bergantian menemani Abba, sementara urusan menginap serahkan pada Mas Sajad, Mas Arman dan anak-anak."
Rupanya ucapan Bunda membawa pengaruh. Terlihat dari Eyang yang memejamkan mata seletah mengembuskan napas pelan. Pada akhirnya beliau mengangguk, lalu menoleh pada Opa Tara dengan tatapan penuh perhatian. "Kami akan pulang. Tolong jangan sungkan, kalau perlu minta ini dan itu supaya mereka punya kegiatan. Terlebih Kia. Omeli saja kalau dia kedapatan melamun, tidur, atau menonton tv."
Gelak tawa Bunda, Ayah, Tante Rima, dan Om Harun kontan membuatku malu. Ujung-ujungnya aku selalu jadi sasaran, padahal demi apa pun aku nggak seburuk itu. Eyang saja yang selalu menjelek-jelekkan. Tanyakan hal ini pada Bunda, aku gadis yang bisa dipercaya. Aku lebih dari bisa mengurusi Opa Tara. Aku orang yang bersungguh-sungguh kalau dimintai sesuatu.
Setelah melewati perdebatan yang alot, pada akhirnya mereka beranjak untuk berpamitan. Lebih dulu Tante Rima dan Om Sajad mendekati brankar, lalu keduanya bergantian mencium punggung tangan Opa Tara. Berikutnya Bunda, Ayah dan Azka yang akhirnya teralihkan dari game yang dia mainkan. Sementara aku turut mengantar mereka sampai depan pintu, sedangkan Mas Danu hanya melirik sekilas dan mengangguk singkat, karena dia terlihat sibuk memeriksa berkas yang berhamburan di atas meja.
Setelah melambaikan tangan, aku kembali masuk ke dalam. Mas Danu masih sama, nggak bergerak dari posisinya. Sedangkan Opa Tara terlihat akan beristirahat. Segera aku mendekati brankar, bantu memperbaiki selimut beliau, kemudian balas tersenyum saat beliau tersenyum. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan sebelum memejamkan mata adalah, "Terima kasih ... Kia ..."
Ruang rawat jadi hening setelahnya. Aku yang nggak punya kegiatan lain, memutuskan beranjak menuju sofa untuk mengambil tas yang sejak datang tadi sudah ditaruh di sana. Langkah kaki dibuat sepelan mungkin, berusaha untuk nggak menimbulkan suara supaya nggak mengganggu Opa Tara maupun Mas Danu. Meskipunsi tua mesuum itu menjengkelkan, aku tetap menghormatinya. Apalagi saat dia berkonsentrasi penuh seperti sekarang. Ternyata seseorang yang menyebalkan, bisa terlihat lebih manusiawi kalau berurusan dengan pekerjaan.
"Bisa geseran dikit, Mas?" pintaku pelan dan ketus, saat berusaha menarik tas yang talinya nggak sengaja diduduki Mas Danu. "Maaf ganggu, tapi saya butuh buat ambil ponsel. Lagipula Mas Danu harus lihat sekeliling dulu, baru memutuskan untuk menempati sofa. Di dalam tas itu ada binder penuh catatan, juga peralatan menulis yang mudah patah. Mas Danu bisa merusaknya kalau–"
"Mau ikut duduk?" Pertanyaan yang nggak nyambung itu sukses membuatku melongo. Tapi dasar Mas Danu, dia justru menyeringai setelah mengendikkan kepala ke arah samping. "Masih banyak tempat kosong. Kamu tidak perlu cerewet kalau ingin satu sofa dengan saya. Menggunakan tas sebagai alasan, sangat tidak masuk akal karena hanya tali saja yang terjepit di sana."
"Percaya diri sekali menuduh saya, padahal itu nggak benar!" seruku menggebu-gebu. Bahkan tanpa sadar mengepalkan tangan, saking kesal dan gregetnya pada tingkah dan ucapan Mas Danu. "Mending Mas ke psikolog, karena pemikiran kayak gini nggak baik buat psikis."
"Terima kasih sudah perhatian, tapi sayangnya saya tidak punya banyak waktu. Pengecualian kalau kamu yang menemani." Dia mengedipkan mata, membuat bulu di tengkukku merinding. Terbuat dari apa makhluk yang bernama Danu ini? Kenapa tingkahnya bisa berubah-ubah? Apa benar dia memiliki bipolar, tapi nggak pernah tahu karena nggak pernah memeriksakan kondisi kejiwaannya? "Kia, saya haus. Ambilkan minum di lemari pendingin."
"Maaf, kenapa tiba-tiba menyuruh-nyuruh saya? Kita nggak dekat. Kalau dekatpun sudah dipastikan nggak akur. Mas Danu itu manusia paling menyebalkan, orang paling nggak jelas yang pernah saya temui. Mengherankan sekali Tante Rima dan Om Sajad punya anak seperti Mas. Atau jangan-jangan, Mas Danu anak angkat tapi kebenaran ini sengaja disembunyikan?"
"Mau berciuman? Untuk memastikan, apakah saya punya darah Harun atau tidak."
"Apa hubungannya, hah?!"
"Saliva. Kamu bisa menggunakannya untuk tes DNA."
"Dasar sintingg!"
"Sssttt! Opa saya tidur, anak TK tidak boleh berisik."
Rasanya emosi sudah naik ke ubun-ubun. Lihat, interaksi kami nggak akan pernah bisa jadi normal, karena Mas Danu punya sejuta sikap yang bisa membuat lawan bicaranya darah tinggi. Otaknya mungkin terbuat dari campuran serbuk pasir, terlalu kotor dan menyimpang. Sering menghubungkan hal positif dengan yang negatif, sebagai bahan untuk menggodaku. Dia memang luar biasa, luar biasa aneh maksudnya.
"Kia, mana airnya?"
Dengan mata melotot garang, aku berbalik dibarengi langkah tertahan. Inginnya menghentak keras, tapi Opa Tara pasti terganggu dan Eyang akan memarahiku karena nggak bisa dipercaya dan diandalkan untuk menjaga beliau. Jadi, meskipun setengah mati dongkol, aku harus tahan-tahan diri untuk nggak kelepasan.
Air mineral dingin kemasan kecil sudah berada dalam genggaman. Aku membawanya pada Mas Danu, menyerahkan dengan gelagat nggak ikhlas. Sedangkan dia begitu santai saat menerima, nggak ada ucapan terima kasih sama sekali, cenderung masa bodohh saat membuka tutupnya. Saat Mas Danu meneguk air tersebut, dalam hati aku berdoa, semoga dia terdesak karena sudah semena-mena padaku. Tapi sayang, doa tersebut nggak terkabul. Dia terlihat segar setelah memuaskan dahaga, terlihat menjengkelkan setelah melontarkan seringaian.
***
Sungguh hari yang panjang dan melelahkan. Setelah rentetan kejadian, akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang. Syukurnya nggak ada tugas, jadi malam ini aku bisa langsung tidur tanpa beban. Tapi mustahil rasanya tanpa beban, karena sisi kecil di kepalaku mendadak memikirkan seseorang.
Ke mana Kak Gian? Batang hidungnya nggak terlihat setelah bantu mengantarkan Opa Tara ke rumah sakit. Tante Rima bilang dia ada urusan mendadak, jadi terpaksa meninggalkan Opa Tara yang sedang terbaring nggak berdaya. Tante Rima sendiri memaklumi hal tersebut. Beliau bilang padaku, Kak Gian punya kerjaan yang kadang nggak tahu tempat dan waktu. Jadi di sela mengenyam strata dua, Kak Gian memiliki kerjaan yang cukup menjanjikan. Hobinya pada otomotif, menjadi alasan berdirinya sebuah bengkel. Dia juga berbisnis jual-beli alat berat, jadi singkatnya Kak Gian bisa dikatakan cemerlang karena memiliki penghasilan sendiri di usia muda.
Itu informasi yang mengagumkan. Tapi untuk sejenak, kekaguman nggak berlaku karena aku dibuat meragu. Pesan-pesan yang kukirim berakhir nggak dibaca, padahal nggak hanya satu atau dua. Totalnya ada lima. Aku bahkan sempat melihat dia online, sayangnya dia nggak membuka.
Helaan napas berat ke luar dari mulut. Aku nggak bersemangat melihat ponsel, karena selalu dibuat berpikir keras atas hilangnya Kak Gian. Oke, mungkin berlebihan menyebutnya hilang, karena baru seharian dia nggak memberi kabar dan menampakkan diri. Tapi, rasanya nggak bisa mencegah overthinking, mengingat dia misterius sekali. Misterius dalam artian, nggak tertebak sorot mata maupun gerak-geriknya.
Merasa capek sendiri karena terlalu berpikir keras, aku memutuskan mengirim pesan sekali lagi sebelum tidur. Siapa tahu yang sebelumnya tertimpa pesan lain, mengakibatkan nggak Kak Gian lihat. Ya, itu bisa saja, kan? Nggak ada salahnya berpikir positif, toh aku percaya Kak Gian. Dia baik dan bisa diandalkan.
Azkia: [Kakak boleh sibuk, tapi nggak boleh lupain makan. Selamat beristirahat.]
Setelah mengirim, aku meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian berbaring dengan nyaman. Selimut ditarik penuh sampai dadaa, tatapan beberapa detik nyalang pada langit-langit kamar, lalu perlahan memejam karena kantuk kian menyerang.
Sayup-sayup aku mendengar getaran di nakas, membuat kesadaran terkumpul jadi satu, hingga kelopak mata membuka dengan cepat. Nggak mau membuang waktu, tangan kiriku langsung terulur meraih benda tipis tersebut. Menyalakan layarnya dalam hitungan detik, lalu terdiam beberapa saat karena notif itu berasal dari grup, hanya saja pengirimnya Kak Gian.
Rasanya ... kecewa, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Yang kuharapkan pesanku dibalas, tapi Kak Gian sepertinya nggak ngerti. Jadi dengan perasaan hampa, aku mengetuk pop-up untuk masuk ke ruang obrolan. Dengan lamat dan pelan aku membaca ...
Kak Gian: [Smngt sht Opa. Maaf gk bs jenguk lg. Mlm ini aku gk pulang. Love you, Ma ...]
***