BAB 8 – Patriarki dan Toxic Family

1927 Kata
Rumahku mulai ramai. Kerabat jauh Eyang maupun Bunda sudah berdatangan. Binar bahagia terpancar jelas di wajah mereka. Karena momen ini juga dijadikan ajang reuni keluarga, lepas kangen sebab tinggal berjauhan. Belum lagi tante, om, dan keponakan yang tinggal di pelosok desa. Jarang berkunjung kalau nggak dikunjungi. Lagipula ada yang kondisi keuangannya pas-pasan. Jadi daripada membuang banyak ongkos untuk sering bertemu, lebih baik disimpan untuk kebutuhan sehari-hari maupun yang mendesak. Kalau nggak meninggal, Eyang mungkin punya tiga anak. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tapi keduanya berpulang di usia belia. Hanya Ayah yang diberkahi umur panjang, sekaligus jadi penguat untuk Eyang yang sangat-sangat terpukul waktu itu. Karena kehilangan tersebut, Eyang jadi tegas mendidik Ayah. Beliau agak protektif tapi nggak terlalu mengekang. Gerak Ayah belum terlalu dibatasi, tapi Eyang selalu andil dalam setiap tindakan yang Ayah ambil. Bahkan nggak segan minta putus seandainya pacar Ayah nggak sesuai dengan kriteria Eyang. Hanya Bunda yang lolos seleksi ketat, juga berhasil mendapat label menantu dan melahirkan dua cucu–aku dan Azka. Eyang dua bersaudara, dan beliau anak pertama. Tapi adik beliau sudah pergi lebih dulu tujuh tahun yang lalu. Meninggalkan empat orang anak yang masing-masing sudah berumahtangga. Keluarga ini diberkahi banyak anak laki-laki, sementara yang perempuan hanya tiga orang termasuk aku. Tapi kalian tahu apa yang menyebalkan? Itu jadi kebanggan tersendiri buat mereka. Anak laki-laki diagung-agungkan karena menurut mereka lebih bisa diandalkan dan lebih bisa menyelesaikan masalah dalam hal apa pun. Kelak setelah menikah, anak laki-laki akan jadi kepala rumah tangga sementara perempuan mengatur kehidupan keluarga. Simpelnya keluarga ini masih menganut sistem patriarki yang kental, di mana laki-laki lebih diutamakan, diistimewakan, karena dinilai lebih banyak usaha dibandingkan perempuan. Laki-laki bahkan disimbolkan pemimpin dalam keluarga. Setiap kali ada acara perayaan, mau besar atau kecil, yang banyak kerja itu perempuan. Laki-laki setelah selesai dengan satu tugas berat, mereka akan disuguhi makanan dan minuman saat istirahat. Bahkan mengobrol santaipun mereka perlu minuman untuk membasahi tenggorokan yang kering karena terlalu banyak bicara. Lalu hal ini nggak berlaku buat perempuan. Kalau mereka berkerumun dan malas-malasan, akan ada orang tua yang menegur dan membubarkan. Aku membicarakan ini karena sering sekali menjumpai dan mengalami hal semacam tersebut. Seperti sekarang contohnya, di saat para laki-laki berkumpul untuk bertukar kabar, yang perempuan hanya segelintir bertahan. Sisanya sibuk di dapur, membuat ini dan itu, merapikan ini dan itu, mempersiapkan ini dan itu. Pandangan mereka mungkin biasa saja, tapi aku yang jengah kadang hanya menggerutu dalam hati. Apalagi saat ada momen pembandingan, yang mana anak perempuan dipandang lemah dan cenderung nggak bisa apa-apa. Mereka lebih membanggakan keponakan atau cucu laki-laki yang timnya baru saja juara satu futsal, dibanding IPK-ku yang mencapai 3,8 semester kemarin. Tapi keluarga memang tempatnya memaklumi, merangkul dan memaafkan, jadi kesalku berlaku sesaat saja. Sisanya kembali normal, apalagi kalau ada yang mengangkat dengan memujiku makin cantik, rambut lebat dan berkilau, atau kulit terlihat lebih cerah. Namun ada satu hal yang nggak pernah ketinggalan, yaitu menjatuhkanku dengan body shamming. Selalu ada para tante yang melontarkan pertanyaan, "Kia kok kurus?", "Kia nggak tinggi-tinggi, deh.", "Harusnya minum jamu-jamuan biar dadanya lebih berisi. Kasihan lho suaminya nanti, agak kesusahan pas megang. Bokongnya juga harus kencang, jadi sering-sering olahraga." Aku nggak pernah berani membela diri saat dikata-katai seperti itu, karena jatuhnya jadi nggak sopan. Eyang nggak akan suka sifat ini. Beliau selalu menekankan untuk didengar kemudian dipakai kalau memang itu bagus. Beliau bilang yang mereka ucapkan nggak bermaksud menjatuhkan, tapi bantu menilai karena lebih tahu mana yang baik dan mana yang buruk dalam pandangan mereka. Intinya berat jadi cucu Eyang, apalagi kalau kamu perempuan. Buat yang berjiwa bebas, pasti akan merasa terkekang karena harus taat pada aturan. Menentang sedikit maka siap-siap dicap pembangkang, nggak punya sopan-santun, nggak menghormati orang yang lebih tua. Di sini hanya Bunda yang lebih mengerti. Beliau memahami keresahanku, kadang turut membela kalau lagi jadi bulan-bulanan mereka. Dua anak perempuan lain aman karena mereka masih anak-anak. Aku yang dianggap remaja–menuju dewasa–sangat cocok dijadikan bahan pembicaraan. Ironis, tapi nggak bisa mengubah fakta karena ini jadi kebiasaan sejak dulu. Sudah mendarah daging, nggak akan hilang kalau pelaku-pelakunya sendiri masih hidup. "Kia antar kue kering ini ke depan!" Kalimat perintah itu membangkitkanku dari lamunan. Yang bersuara tadi namanya Tante Uli–menantu dari almarhumah adik Eyang. Beliau punya suara yang besar, kalau ngomong sering dibilang mengomel, padahal enggak. Tante Uli pandai menyindir, namun sisi baiknya beliau sering membelikanku dan Azka pakaian juga sepatu. Paling ber-uang dibanding yang lain, rumah beliau terbesar kedua setelah rumah kami. "Neng, nanti bantu Tante bikin kue. Kamu kena bagian yang mixer dan nuangin ke cetakan." Yang ini Tante Lilis. Beliau janda tanpa anak, guru SD yang gaul. Penyayang pada semua keponakan tanpa membanding-bandingkan. Mungkin pengaruh profesi, itu yang membuat beliau lebih netral. Tapi jangan salah, Tante Lilis punya sikap yang galak. Kadang aku merasa akrab, kadang sungkan mendekat kalau beliau dalam mode killer-nya. Intinya semua keluarga dari Ayah, vibes-nya kaku dan terkesan menakutkan. Sementara keluarga dari pihak Bunda, berhati malaikat semua. Bersuara lembut, tempat curhat paling enak, selalu membela, bahkan sering memberi uang jajan. Intinya kalau aku liburan ke rumah salah satu dari adik Bunda, aku pasti betah–cenderung nggak mau pulang karena asik bermain dan dimanjakan. Tapi Eyang nggak suka aku sering ke sana, kata beliau pulangnya kulitku jadi lebih cokelat dan sifat malasku makin besar. "Baik, Tante Uli!" sahutku dibarengi langkah cepat untuk mendekat, sementara pada Tante Lilis aku hanya menoleh sekilas. "Iya, Tante Lis, nanti Kia bantu. Tapi habis dari antar ini ke depan dulu." Setelah nampan sudah di kedua tangan, aku beranjak ke luar dari dapur. Melewati kehebohan karena para anak kecil main game di ponsel, termasuk Azka yang terlihat fokus pada layar, keningnya menekuk karena terlalu serius. Sebenarnya adekku nggak semaniak itu terhadap game, jam bermainnya saja yang terbatas jadi dinikmati sebanyak mungkin. Bunda ketat kalau soal ponsel. Azka masih muda, belum saatnya punya sendiri. Setelah meletakkan di atas meja, aku langsung undur diri usai menjawab pertanyaan soal kabar dari om-omku. Ada juga yang mengucapkan selamat, karena mendapatkan laki-laki baik dari keluarga terpandang. Mereka juga memuji Eyang yang nggak salah mengenai keputusan mengadakan perjodohkan, bahkan mempunyai maksud terselubung–memasarkan anak laki-laki masing-masing andai ada kandidat yang potensial. Nggak ada satupun yang menanyai bagaimana kuliahku, karena menurut mereka setinggi-tingginya pendidikan perempuan, pada akhirnya akan jadi ibu rumah tangga juga. Aku tersenyum dalam hati karena hal itu. Merasa geli sebab mereka hanya memuji dari satu sisi. Kenapa mereka nggak memikirkan kalau ... keluarga Kak Gian juga beruntung memilihku sebagai calon menantu? Karena aku nggak seburuk itu. Kata Bunda aku terlihat cantik karena punya mata sipit dan bulu mata yang lentik. Tulang hidungku tinggi dan ramping, bibir tipis dan merah muda alami. Aku juga gigih dalam belajar, selalu berusaha jadi kakak, anak dan cucu yang baik. Bisa memasak walaupun menunya nggak banyak, bisa membersihkan rumah sampai kinclong. Dalam hal akademik, nilaiku menjanjikan walaupun nggak berpartisipasi di kegiatan organisasi. Aku percaya diri, karena semua itu benar adanya. Bukan mengada-ada saja. Tapi di mata Eyang dan dan yang lain, aku hanya standar seperti perempuan kebanyakan. Itu memang benar, tapi apa mereka nggak ada sedikitpun rasa ingin melambungkanku? Padahal aku ini keluarga mereka sendiri. Intinya lelah sekali kalau memikirkan semua sikap mereka. Berujung membuatku termenung, bahkan sedih tanpa sebab. Benar kata sebuah kalimat yang pernah k****a, 'yang paling sering menjatuhkan mentalmu adalah keluarga'. *** Kak Gian: [Selamat pagi, Kia.] Jantungku langsung berdebar setelah membaca pesa dari Kak Gian. Demi Tuhan, aku baru selesai shalat subuh, tapi dibuat sebahagia ini karena dia menghubungiku. Secepat inikah doa dikabulkan? Saat aku meminta untuk diberikan alur hidup versi terbaik yang sudah ditentukan, notif dari Kak Gian masuk tepat setelah aku menggantung mukena ke dalam lemari. Jari sampai gemetaran saar aku berusaha membalas, karena begitu antusias dan senang. Aku bahkan duduk di sisi ranjang, menatap serius pada layar ponsel. Dalam sekejap semuanya terlupa. Soal Kak Gian yang berhari-hari tanpa kabar, tapi persiapan pernikahan terus berjalan bahkan hampir 75%. Tante Rima selalu meyakinkan kalau semuanya baik-baik saja. Beliau tahu gimana Kak Gian dan memang dia sering seperti itu saat menemukan alat yang dia incar. Akan lupa sesaat pada orang-orang, karena berburu ladang uang. Azkia: [Selamat pagi, Kak.] Aku ingin menanyakan banyak hal. Kedua jempolku sudah gatal ingin menulis di atas keyboard, tapi terpaksa ditahan karena harus terkesan santai. Kak Gian nggak boleh tahu kalau aku menginginkannya, dengan begitu aku nggak terlihat menyedihkan saat dia lupa mengabari atau terlalu cuek dalam bersikap. Percayalah aku nggak gengsi, tapi hanya ingin melindungi diri dari segala konsekuensi. Nanti setelah menikah, baru aku membebaskan semua perasaanku. Kak Gian: [Maaf baru menghubungi. Mama pasti sudah memberitamu. Tapi, apa mau mendengar versiku?] Ah, kenapa harus menanyakan hal semacam ini? Membuatku makin nggak keruan. Aku mengartikan kalau Kak Gian ini tipe orang yang bertanggungjawab. Walaupun dia sempat mengabaikanku, tapi dia punya alasan kuat. Dan sekarang dia ingin membuat pengakuan–aku menyebutnya demikian karena semacam kejujuran sebab dia sudah berbuat salah. Ngomong-ngomong, gaya pesannya memang berbeda dari yang di grup keluarga. Kak Gian pernah bilang, mereka semua sudah maklum dan cenderung paham. Terlebih dia tipe yang nggak mau ribet. Sementara padaku, harus memulai dengan benar dulu sebelum merasakan nyaman, akrab dan lebih dekat. Azkia: [Kalau Kakak nggak keberatan, Kia mau dengar ...] Kak Gian: [Izin telepon sebentar, bisa?] Langsung aku berdiri setelah menelan ludah. Panik sesaat karena ini terlalu mendadak, tapi nyaris memekik senang karena demi apa pun aku makin berdebar. Kak Gian benar-benar kejutan. Sekali bertindak, dia membuatku gelagapan. Rasanya ... aku makin suka kalau dia kayak gini. Bahkan berharap dia terus-terusan seperti ini, supaya semuanya terlihat benar. Azkia: [Boleh ...] Nggak lama setelah itu ponselku menyala menampilkan nama Kak Gian di layar. Aku mencoba menenangkan diri namun gagal, lalu memilih berdehem beberapa kali untuk memastikan suara nggak serak. Daripada terus mengulur waktu, langsung aku mengangkat panggilan di dering ke lima. Setelahnya berusaha mengontrol napas, agar terdengar santai meskipun sebenarnya aku ngos-ngosan. "Maaf mengganggu pagi-pagi, Ki." "Iya, Kak, nggak apa. Kebetulan baru selesai shalat, belum mulai beraktivitas." Ada jeda yang panjang, sampai aku memastikan apakah panggilan masih tersambung atau enggak. Tapi syukurnya masih tersambung. "Aku punya pekerjaan yang tidak terikat waktu. Beberapa hari terakhir memang sibuk, bahkan tidak bisa menemani opa lebih lama di rumah sakit karena temanku bilang di kota sebelah ada barang incaran kami dari berbulan-bulan yang lalu. Dikuasai antusias, aku melupakan semuanya dan pergi begitu saja. Aku nyaris tidak memegang ponsel, hanya sempat mengabari di grup keluarga karena semua berkumpul di sana. Maaf telat menjelaskan. Mohon untuk mempertimbangkan berbaikan setelah marahmu reda." Ini ... bagaimana caraku menjawabnya? Karena di kalimat pertama Kak Gian menyapa, aku sudah berdamai dengan segala keresahan dan overthinking hari-hari sebelumnya. Sekarang yang tersisa hanya ada keinginan menerima permintaan maafnya, yang sudah mendesak dan merong-rong ingin dikeluarkan dari mulut. Tapi harusnya nggak segampang itu, kan? "Atau untuk lebih mudahnya kita tatap muka saja? Aku akan datang ke rumah, bersama Mas Danu karena kebetulan dia tidak ada kesibukan. Akhir pekan dia selalu di rumah, sementara mama sibuk persiapan ini dan itu jadi tidak bisa diganggu." Saat aku ingin menyuarakan kenapa harus mengajak Mas Danu, padahal kalau sendiri lebih baik. Tapi Kak Gian memotongnya dengan menambahkan, "Canggung rasanya datang seorang diri, sementara yang kutemui kamu dan keluargamu. Jadi, harus ada yang mendampingiku." "Iya, Kak, datang saja ..." "Syukurlah. Terima kasih banyak, Kia. Aku tidak mau mengecewakan opa, jadi sebisa mungkin melakukannya dengan benar. Sampai bertemu nanti siang." Telepon dimatikan setelahnya. Saat menjauhkan ponsel dari kuping, aku senyum-senyum sendiri kala melihat layar ponsel. Tapi senyum tersebut mendadak sirna, karena teringat Mas Danu ikut serta. Si tua mesuum itu nggak ada bosan-bosannya gentayangan di sekelilingku! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN