"Ingat, jangan terlalu dekat. Jaga sikap, meskipun dia calon suamimu. Jangan murahan. Oma tahu kamu tertarik dengan Gian, tapi sebaik-baiknya perempuan ialah dia yang pandai menjaga perasaan. Gaya bicara juga perlu diperhatikan. Harus sopan, dan tidak boleh memotong asal. Suaramu harus pelan. Gambarkan sikap perempuan ayu yang elegan, jangan kekanakan apalagi terdengar manja. Itu memalukan."
Itu wejangan Eyang, setelah melepaskanku untuk pergi ke ruang tengah. Yang bicara hanya aku dan Kak Gian, tapi nasihat beliau sepanjang jalan raya. Aku tahu itu demi kebaikan, tapi apa rasanya ... apa nggak berlebihan? Memintaku untuk nggak murahan, sementara aku nggak tahu sikap murahan itu seperti apa. Atau mungkin Eyang menangkap gelagatku terhadap Kak Gian selama ini, jadi beliau memberikan banyak pesan yang terang-terangan disampaikan. Atau sejenis sindiran, supaya aku nggak kayak gitu lagi?
Sempat aku mengetuk pintu sebelum masuk. Membuat perhatian Kak Gian dan Mas Danu teralihkan. Sedetik kemudian, Mas Danu bangkit setelah menepuk pundak Kak Gian. Dia akan pergi, tapi tentu harus melewatiku dulu. Dan sepanjang dia melangkah, dia menghujamiku dengan tatapan datar. Yang mana hal tersebut membuatku risih. Ingin sekali aku mengomeli Mas Danu, tapi harus tahan diri dan jaga sikap karena di sofa sana ada Kak Gian.
"Harusnya rambutmu tidak diikat, nanti Gian khilaf," katanya selintas, yang otomatis membuatku melotot. Tangan kanan mengepal di sisi tubuh, pertanda kesal mendengar ucapan Mas Danu. Dia kira Kak Gian itu sejenis dengannya? Nggak sama sekali. Berkali-kali lipat jauh lebih bagus Kak Gian dibanding Mas Danu. Mereka satu gen, tapi dengan isi otak yang berbeda. Mas Danu itu sesat, sementara Kak Gian benar. Dia definisi laki-laki baik, yang nggak akan mengeluarkan kalimat sembarangan kalau bicara. Dia bahkan paham apa itu permisi dan minta maaf. Sedangkan Mas Danu? Enggak!
Langsung aku menuju sofa yang posisinya tepat di seberang Kak Gian. Setelah punggung Mas Danu nggak kelihatan lagi, aku diam-diam menghela napas lega. Sesak sekali saat dia ada di ruangan ini tadi. Syukurnya dia nggak ikut tinggal, karena kalau iya, aku mungkin nggak akan bisa mencerna dan memahami apa saja yang Kak Gian sampaikan. Sedangkan tujuan dia ke sini, untuk menjelaskan secara langsung dan minta maaf padaku karena sempat abai.
"Jadi, Ki," kata Kak Gian membuka suara. Dia menegakkan punggung, menatapku tepat di mata, dengan posisi tangan di masing-masing paha. "Seperti yang sudah kubilang telepon tadi, aku dan teman berburu alat berat. Kebetulan yang kami incar baru ada sekarang. Selama beberapa hari itu, ponsel dipegang untuk keperluan kerja, tidak sempat memikirkan hal lain karena kalau berurusan dengan yang satu ini, aku bisa lupa waktu."
Suaranya tenang terkendali. Nggak ada perubahan ekspresi yang berarti. Malah aku yang salah tingkah, karena terus-terusan ditatap membuat semuanya goyah. Kak Gian nggak tahu kalau dia itu mempesona. Dia memikatku tanpa dia sadari. Membuatku kadang susah berpikir, agak kikuk kalau lagi kesemsem. Benar kata orang, jatuh cinta bisa membuat bodohh. Nggak salah Eyang menasihati soal menjaga sikap, karena nyatanya kalau berhadapan dengan Kak Gian, aku hampir selalu mempermalukan diri sendiri.
"Setelah menikah nanti, kalau Kak Gian nggak keberatan ... aku boleh tahu sedikit tentang pekerjaan Kakak? Bukan bermaksud untuk ikut campur, tapi lebih ke ... mengusahakan untuk menerima dan beradaptasi. Kak Gian di telepon tada bilang kalau itu nggak terikat waktu. Bisa tiba-tiba pergi kapan aja, di kondisi apa pun. Jadi, misalkan aku udah tahu, aku pasti nggak kaget lagi kalau Kak Gian tiba-tiba menghilang."
Dia diam beberapa saat, seakan mempertimbangkan atau ... mempertanyakan? Entahlah, aku nggak begitu mengerti. Bahkan dari manik mata, aku nggak dapat apa-apa. Kak Gian sulit ditebak, apalagi dipahami. Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan maupun rasakan. Karena semua gerak-gerik dan nada bicara, nyaris sama. Lembut, sopan, cenderung santai tapi tetap ada batasan.
"Kupikir kita tidak akan saling menanyai urusan masing-masing. Maksudnya, kukira kamu tidak tertarik pada hal semacam itu, karena pekerjaan ini dinilai membosankan oleh beberapa perempuan."
"Oh?" gumamku, lebih ke terkejut mendengar jawabannya. Kenapa bisa menyimpulkan lebih dulu sebelum bertanya? "Kakak mungkin salah paham, aku cuma ... ingin tahu. Bukan ikut campur. Tapi walaupun ikut campur, itu harusnya nggak ... jadi masalah, kan? Karena kita nanti ... sudah jadi ... suami istri." Aku menggigit bibir bawah setelahnya, harap-harap cemas sekaligus berdebar setelah mengatakan kalimat tadi. Apa aku terdengar terlalu percaya diri?
"Nanti aku tanya temanku. Karena di sini kami kerja sama, bukan milikku pribadi. Aku mengerti, Ki, tadi hanya ... sedikit tidak fokus. Maaf membuatmu tidak nyaman." Dia berkedip sekali, lalu menyugar rambut setelah mengembuskan napas besar. Sekarang Kak Gian bersandar, agak merosot seolah sedang mengistirahatkan diri. "Kembali ke topik awal, intinya itu yang aku sampaikan. Usahakan hal ini tidak sampai ke telinga opa. Kamu tahu sendiri gimana kesehatan opa? Aku tidak mau membuatnya kepikiran."
"Enggak, Kak, aku janji."
"Terima kasih banyak, Kia. Sekali lagi maaf."
"Aku ngerti. Nggak mudah memang membiasakan sesuatu karena kehadiran orang baru. Ini hanya masalah waktu. Aku juga gitu. Tapi aku yakin, selalu ada cara buat menerima satu sama lain."
Dia terlihat nggak fokus, tapi akhirnya mengangguk. Aku turut mengangguk, setelahnya selesai. Bahan pembicaraan kami habis dan ruang tengah kembali dilingkupi hening. Sepertinya ... niat Kak Gian ke sini murni hanya itu. Karena nggak ada basa-basi dulu, langsung ke inti permasalahan. Betapa malunya aku, sempat besar kepala karena terbesit pikiran kalau dia merindukanku, jadi menemui dan bicara banyak hal padaku.
"Karena tidak yang dibicarakan lagi, sebaiknya kita ... menyusul yang lain."
"Kak Gian ... mau minum dulu?"
"Tidak usah, terima kasih."
Dia tersenyum tipis kemudian bangkit lebih dulu. Aku menyusul saat dia beranjak dari posisi. Kak Gian yang tinggi, terlihat begitu menjulang di depanku. Tubuhnya cenderung kurus, tapi menurutku pas. Tanpa sadar sudut bibirku melengkung ke atas saat memikirkan sebentar lagi kami memiliki hubungan yang sakral dan dia sudah halal saat kusentuh. Rasanya seperti mimpi yang terwujud. Aku teramat bersyukur, karena Allah punya cara yang indah untuk menyatukan kami.
***
Kehebohan di teras rumah membuatku memutar bola mata malas. Yang paling mendominasi adalah suara Ayah, sisanya Mas Danu dan om-omku, sementara Kak Gian sudah pulang karena dia ada kelas siang ini. Mas Danu diminta tinggal oleh Ayah, karena diajak main catur. Anehnya lagi, Mas Danu setuju, dia bahkan dengan percaya diri bilang bahwa dirinya selalu juara satu catur saat ada lomba di SMA.
Tante-tanteku mendadak jadi kegenitan, apalagi Tante Lilis. Dia mondar-mandir ke depan, untuk mengantarkan apa pun sebagai alasan demi bisa melihat Mas Danu. Tingkahnya membuat Eyang menggeleng-gelengkan kepala, tapi nggak menghentikan karena tahu perangai Tante Lilis seperti apa. Dia akan galak kalau sedang nggak menerima pendapat orang lain.
"Neng, duduk di depan, yuk! Capek Tante kayak gini, mending lihat si aa-nya langsung," ajak Tante Lilis setelah mengetuk pintu kamar, membukanya kemudian, lalu melongokkan kepala. "Udah, lulurannya di sana aja. Biar Tante bantu gosok yang di tangan sama kaki. Jangan nolak, please. Karena siapa tahu, Tante dapat suami pengacara kondang kali ini."
Aku terkikik geli mendengarnya, tapi menggeleng sebagai respon. Eyang pasti marah kalau aku melakukan hal semacam ini di depan mereka–apalagi itu laki-laki. Nanti aku dituduh murahan, ingin merayu dan sebagainya. "Kenapa Tante nggak ajak yang lain? Kia lagi buang kulit mati, masa dilihat orang-orang. Malu, dong," kataku dengan bibir mengerucut, seolah membayangkannya saja sanggup membuatku kehilangan muka. "Udah nggak pa-pa, Tante membaur aja di sana. Jangan sungkan. Kia dukung, kok. Siapa tahu nanti beneran jadi keponakan pengacara kondang."
"Ih si Neng bikin Tante salah tingkah!"
Kikikan geli langsung lepas dari mulut, apalagi melihar wajah Tante Lilis yang lucu. Astaga! Dia benar-benar tertarik pada Mas Danu. Berarti pesona pria itu benar-benar memikat para wanita dari segala kalangan, termasuk yang berstatus janda. Keren sekali! Saking kerennya, mendadak aku punya ide cemerlang untuk mencomblangkan mereka berdua. Karena bisa jadi akan ada pernikahan lagi, tentunya setelah Kak Gian, Mas Danu yang jadi mempelai prianya.
"Tante Lis mau Kia kasih sesuatu?" tawarku di sela menggosok area siku, berharap kulit mati yang berkumpul di sana segera terangkat biar nggak terlihat gelap. Aku mau semaksimal mungkin merawat diri, buat diperlihatkan pada Kak Gian nanti. "Kia bisa bantu dekat, karena Mas Danu itu calon kakak ipar Kia."
"Tapi apa nggak pa-pa sama janda? Tante juga lebih tua lho, Neng."
"Nggak ada salahnya mencoba, kan?"
Tante Lilis seperti mempertimbangkan, kemudian senyum merekah satu detik setelahnya. Lekas Tante Lilis masuk, ikut duduk lesehan di sampingku seolah benar-benar ingin mendengarkan penawaran apa yang kuberikan untuk membantunya dekat dengan Mas Danu. Sangat bersemangat sekali. Apa jangan-jangan Tante Lilis lagi puber kedua?
"Jadi, Kia bantu kasih nomor telepon Mas Danu. Sisanya Tante Lilis yang ambil alih. Mau langsung dihubungi atau enggak, terserah karena keputusan ada di tangan Tante."
"Mau, Neng! Mana nomornya, biar Tante catat dulu."
Tante Lilis tergesa mengeluarkan ponsel dari kantong dasternya, lalu menungguku dengan antusias. Melihat hal tersebut, aku kembali dibuat tertawa geli, lalu bangkit untuk mengambil ponsel di atas nakas. Lihat saja Mas Danu, dia akan kewalahan karena dikejar-kejar Tante Lilis. Ini balasan untuk sikapnya yang menyebalkan terhadapku.
"Kosong delapan ..."
Gerak jari Tante Lilis terlihat cepat, membuatku semangat menyebutkan sederet angka. Lalu setelah selesai, aku mengulanginya sekali lagi untuk memastikan nggak ada kesalahan. Syukurnya memang nggak ada, jadi Tante Lilis langsung bergerak, fokus dengan apa yang menjadi minat besarnya sekarang. Diam-diam aku jadi mendoakan, semoga lancar PDKT-nya tante ...
Ah, hari ini rasanya banyak sekali aku tertawa. Menebak reaksi apa yang ditunjukkam Mas Danu, aku benar-benar terhibur sekaligus bahagia. Rasakan! Itu pembalasan karena dia suka menggangguku.
***
Malamnya setelah membereskan sisa-sisa makan malam, aku menyempatkan diri ke kamar untuk mengecek ponsel. Siapa tahu Kak Gian ada mengirimi pesan. Tentang apa pun itu, aku nggak keberatan asal kami ada komunikasi. Mengingat intensitas pertemuan kami akan berkurang, apalagi satu minggu ke depan pasti lagi sibuk-sibuknya.
Senyum tipis langsung terulas karena benar-benar ada. Isinya tentang dia yang mempertanyakan berapa undangan yang kubutuhkan untuk dibagikan pada teman-temanku. Dia ingin mendiskusikan ini, karena nanti dia khawatir kelupaan. Manis sekali. Aku bahkan nggak kepikiran soal ini, mengingat semuanya diserahkan pada para orang tua.
Azkia: [Untuk jaga-jaga aku mintanya lebih aja, Kak. Buat teman kampus, sama yang di SMA, SMP dan SD]
Setelah mengirim, aku ke luar dari ruang obrolan dengan Kak Gian. Lalu tatapan beralih fokus pada nomor baru yang masuk di bawah kontak Kak Gian yang diberi pin. Di sana ada lima pesan, yang mana membuat keningku mengernyit karena nomor ini terlihat nggak asing. Setelah jempolku bergerak untuk membaca isinya, tanda tanya di kepala langsung terjawab detik itu juga.
+62822xxxxxxxx: [Ini Danuaji.]
+62822xxxxxxxx: [Saya tidak senang kontak pribadi saya dibagi. Itu privasi dan kamu mengusiknya.]
+62822xxxxxxxx: [Bilang tantemu untuk tidak menelpon lagi. Saya pusing dan kewalahan.]
+62822xxxxxxxx: [Kamu anak kecil yang nakal. Saya punya ide untuk memberi hukuman, tapi itu akan saya lakukan kalau ada kesempatan.]
+62822xxxxxxxx: [So, don't mess with me, Little Girl ...]
Astaga! Selain merasa senang karena dia di teror Tante Lilis, mendadak aku merinding membaca pesan terakhirnya. Bergegas aku ke luar, lalu menghapus nomor Mas Danu detik itu juga, sambil berdoa semoga kelak baik-baik saja. Aku ... nggak mau terlalu berurusan sama dia. Bahaya!
***