"Tante mau coklat hangat, nggak? Biar sekalian Kia buatin," tawarku setelah mengetuk pintu. Mungkin beliau sedang mengerjakan sesuatu, terlihat dari ujung kacamata yang terselip di belakang telinga. Hanya detak jarum jam yang terdengar, karena Tante Lilis nggak menoleh maupun menyahut. Beliau sedih karena salah sangka, terlebih penjelasan Mas Danu membuat Tante Lilis patah hati–mungkin. Nggak ada lagi ocehan kelewat pede, malam ini lebih damai dibanding malam-malam sebelumnya. Perasaan Tante Lilis layu sebelum berkembang, padahal beliau yakin seyakin-yakinnya akan berjodoh dengan Mas Danu. Jujur saja aku nggak pernah menganggap semua ini serius. Sampai sekarang pun, kemarahan Tante Lilis bukan masalah besar dalam pandanganku. Karena mengartikan sebagai puber kedua, aku yakin beliau han