26

2369 Kata
Sehari sebelum Papa pulang Om Abid menyarankan Gentala untuk tidak mengunjungi Wyne dulu kecuali Gentala ingin Papa mengetahui semua yang sudah mereka lakukan. Gentala setuju. Lalu ia kembali pada rutinitasnya yang terasa tidak benar. Papa, tanpa alasan yang jelas selalu membawa mereka berdua ke rumah Tante Icin. Padahal biasanya kalau ada Papa, ia tidak terlalu sering dititipkan di sana. Dan yang membuat bocah itu kesal adalah ucapan Tante Icin yang mengatakan bahwa ia bersedia menjawab semua pertanyaan Gentala tentang mama. Kenapa Tante baru bicara seperti itu saat Gentala sudah mengetahui semuanya? “Halo, Pa,” ucap Gentala saat Papa menyapanya setelah telfon tersambung. Ia bicara setenang mungkin pada Papanya selama beberapa menit sampai keduanya sepakat untuk bertemu beberapa jam dari sekarang. Setelah itu Gentala membuka smart watch dari pergelangan tangan kemudian meninggalkan benda itu bersama ponselnya di dalam laci meja. >>>  “Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Wyne pada bocah yang duduk sendirian di teras. Bukan kah anak ini tau dimana ia dan June menaruh kunci? Kenapa tidak masuk saja dan menunggu di dalam dari pada duduk seperti ini? “Wyne kemana aja?” tanya Gentala setengah merengek. “Aku-“ Wyne menggelengkan kepalanya menyadari barusan ia terlena dengan rengekan manja Gentala. “Apa yang kamu lakukan disini, Gentala?” Tidak menyahut, bocah yang Wyne tanyai justru mencibirkan bibirnya. “Gentala, kamu ga boleh mengabaikan pertanyaanku. Kalau aku bertanya ya kamu harus jawab.” “Kamu juga ga jawab kalau aku bertanya, kamu sering membiarkan aku bicara sendiri.” Wyne memutar bola matanya bosan. Anak ini selalu punya cara untuk menyerangnya balik. “Oke, ayo masuk.” Wyne mengambil kunci rumah yang diletakkan di bawah pot kemudian membuka pintu. “Aku capek luar biasa hari ini.” Wyne sengaja berujar demikian sebelum Gentala melancarkan serangannya. Wyne berjalan menuju dapur, mengambilkan Gentala segelas air karena bocah ini duduk di teras di bawah terik. Sudah pasti dia haus. Padahal dia bisa duduk di kursi rotan depan saja sehingga tidak terlalu terpapar cahaya matahari. “Makasih Wyne.”  Wyne memajukan wajahnya kemudian mengendus Gentala Jayden Padmaja hanya untuk menyerngitkan hidungnya. “Kamu bau matahari, Gentala. Kenapa tidak duduk di dalam saja? Bagaimana kalau ada yang menculik kamu tadi?” Tanpa sadar Wyne lebih banyak bicara dari biasanya. Entah wanita itu sadar atau tidak bahwa diam-diam dirinya mengharapkan kedatangan bocah ini. “Aku malas di dalam. Ga ada orang juga, Wyn.” Wyne Amelia menyangga dagu dengan sebelah tangan kemudian menatap menyipit pada bocah bau matahari tetapi tetap tampan itu. Sedang yang ditatap menampilkan senyum lebarnya bahkan sedikit memajukan wajah untuk mengamati wajah paling cantik yang pernah ia lihat tersebut. Gentala Jayden Padmaja tau bahwa tidak salah sama sekali saat ia memutuskan untuk datang ke mari. “Wyn..” ucapnya lembut. “Aku belum tiup lilin, loh,” sambung Gentala setelah Wyne merespon kalimat sapaannya barusan dengan gerakan kedua alis. “Kamu belum tiup lilin?” tanya Wyne tak tahan untuk tersenyum. Apa keluarga Padmaja tidak sanggup membelikan bocah manja ini kue beserta lilinnya? Gentala jelas berbohong. Anak ini terlalu nakal kalau Wyne boleh berkomentar. Lihat saja bagaimana dia bisa ada di sini hampir setiap hari selama beberapa minggu tanpa ketahuan oleh satu orang pun. Ya bukan berarti Wyne berharap Gentala ketahuan juga sih. Maksud Gentala dengan belum tiup lilin adalah dirinya yang sama sekali belum meniup satu lilin pun meskipun Nenek, Papa, Kakek, Om Abid dan Tante Fira merayakan ulang tahunnya bersama-sama hari itu. “Kuenya ada, lilinnya ada,” ucap Gentala menegaskan. “Koreknya kali yang ga ada.” “Ada.” “Terus yang nyalain lilinnya ga ada?” “Wyne ga ada,” Ucap Gentala pahit. Andai Wyne tau susahnya Gentala menelan liurnya setelah mengatakan tiga kata itu. Keduanya kemudian terdiam di tempatnya masing-masing. Gentala tidak berani menatap Wyne atau ia akan menangis karena tidak mendapat respon apapun. Sedang Wyne justru menatap lekat bocah yang terlalu pandai bicara ini. … “Ya sudah, ayo beli kue dan lilinnya,” ucap Wyne karena bocah itu terus saja menunduk padahal beberapa hari ini Wyne mati-matian ingin melihat wajahnya. Tidak terkira bahagia yang Gentala Jayden Padmaja rasakan saat Wyne mengajaknya membeli kue. Namun beberapa menit kemudian ia sempat cemberut karena Wyne memintanya tinggal di dalam rumah saja. Alasannya adalah karena Wyne baru tau bahwa Gentala tidak pernah naik motor seumur hidupnya. Wanita itu beralasan bahwa ia khawatir jika nanti Gentala jatuh dan luka-luka. Tapi dengan satu kalimat yang terdengar seperti, “Aku bisa pegangan, aku bisa peluk kamu erat-erat,” Gentala mendapatkan apa yang ia mau. Well, lebih dari yang ia mau sebetulnya karena sekarang ia bisa memeluk tanpa harus mencari alasan. Keduanya sampai di outlet d’ JaQue terdekat. d’ JaQue adalah brand roti dan kue yang sedang sangat digemari karena selain rasa dan harga yang lumayan cocok di saku kalangan menengah ke bawah, brand ini juga hadir dengan gaya yang kekinian. “Hm.. iya, guling-guling aja kamu di sana, Amira!” Wyne dan Gentala memperhatikan seorang anak perempuan yang jelas tampak lebih tua dari Gentala sedang berguling-guling di depan teras tidak peduli seragamnya kotor. “Amira! Kamu menghalangi jalan pelanggann,” ucap sang Ayah mempringati putrinya karena Wyne hampir saja menginjak tangan anak itu yang bergerak seperti cacing gila kepanasan. Ada apa dengan anak ini? “Yah.. aku ga mau les. Aku, ‘kan, bisa belajar sama Nenek aja.” “Belajar sama Nenek kamu bilang? Jelas-jelas kalau sama Nenek, kamu yang mengatur semuanya. Amira menyingkir dari sana! Maaf, Mbak.. anak saya lagi habis obatnya. Rumah sakit jiwa juga lagi penuh-penuhnya jadi ga tau lagi mau di simpan dimana dia ini,” ucap pria yang sebenarnya bernama Yusuf Fairuz Amzari. “Ayah aku kaduin Bundaku, ya.” Ucup menggerak-gerakkan tangannya, “Kaduin sana yang penting sekarang jangan menghalangi pelanggan.” “Aku ga pernah guling-guling begitu loh, Wyn..” ucap Gentala yang syok melihat seorang yang bahkan lebih tua dari Tavi berlaku seperti anak kecil. “Kamu kalau guling-guling begitu, telingamu langsung aku jewer aja loh Gentala,” ucap Wyne menarik tangan bocah itu ke dalam. Keduanya kemudian melirik beberapa jenis kue yang ada dalam etalase. “Kamu suka yang mana?” tanya Wyne setelah keduanya melirik semua kue yang ada. “Yang ini aja.” Tunjuk Gentala pada satu kue bertoping coklat dari luar etalase. “Oke, sekalian kita beli lilinnya.” >>>  Sepasang ibu dan anak itu sudah kembali dengan kue yang agak rusak di salah satu sisinya karena Gentala memegangnya asal-asalan. Bocah itu lebih mementingkan dirinya yang memeluk Wyne dengan benar ketimbang memegang kuenya dengan benar. Kini di antara keduanya sudah ada kue dengan lilin yang menyala. Gentala yang paling bahagia dengan kue yang rusak serta sembilan buah lilin menyala karena dari balik sini, ia bisa melihat apa yang paling bocah itu inginkan. Mamanya. “Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you..” Gentala bertepuk tangan setelah dinyanyikan lagu ulang tahun kemudian making a wish dengan kedua mata terpejam. “Aku ingin selalu dekat dengan Mama,” begitu ucapnya membatin setelah meniup lilin yang susah sekali padamnya. “Sudah?” tanya Wyne dan dibalas dengan anggukan. “Pulang kalau begitu.” Sebelum Gentala protes, Wyne kembali berujar, “Sudah jam berapa ini?” “Iya iya.. ini aku mau pulang.” Gentala dengan cemberut mengatakan ia tidak akan pulang sebelum mendapatkan hadiahnya. Yang tentu saja membuat Wyne sedikit kesal. Tadi katanya cuma mau tiup lilin eh sekarang hadiah. Bukannya Gentala pergi dengan Wyne tadi? Bocah itu tau bahwa Wyne tidak membeli hadiah apapun. “Aku mau Shafa yang punya Wyne.” “June kan juga ngasih kamu lengkap sama tanda tangannya.” “Tapi Shafa nya Wyne ada coret-coretan yang ga ada di Shafa yang lain. Aku mau itu.” Wyne menggeleng tegas. Coret-coretan yang anak ini maksud adalah kata-kata yang Wyne tuliskan di tempat kosong pada tiap halaman. Kalimat demi kalimat yang menunjukkan seberapa rindunya wanita itu pada putrinya. “Ayolah Wyn..” “Pulang Gentala.”  Jujur saja kita tau bahwa tidak ada satu pun dari keduanya yang akan mengalah begitu saja. Termasuk Gentala yang tidak menyadari bahwa matahari sudah hampir terbenam dan ia harus segera kembali ke sekolah untuk bertemu Papa. Atau ia akan ketahuan berbohong dan semuanya akan kacau. Ketukan di pintu depan membuat sepasang ibu dan anak itu berhenti dari adu keras kepala. Keduanya sama-sama berpikir siapa yang datang bertamu jam segini? Keduanya hanya mencurigai satu orang. “Biar aku yang buka, Wyn.” Gentala  bangkit dan berlari ke depan setelah memperingatkan Wyne untuk tidak muncul di depan pintu. Bocah itu mengambil napas dalam sebelum membuka pintu. Ia tidak siap jika harus menghadapi Papa di rumahnya Wyne tapi apa boleh buat jika memang Papa lah yang datang. Begitu membuka pintu alangkah leganya anak itu karena bukan Shakka Orlando Padmaja yang menantinya di sana. “Cari siapa ya, Nek?” tanya Gentala pada wanita yang terlihat seumuran dengan neneknya. Tidak terlalu nenek-nenek sih tapi Gentala tau wanita ini tidak cocok lagi di panggil tante olehnya. “Mana Mama kamu?” “Mama di dalam,” ucap Gentala dengan pipi merona sempurna. Kali pertama ia menyebut kata itu dengan lantang. “Suruh wanita itu keluar! Wani! Wani! Keluar kamu!” Dengan pintu dalam keadaan terbuka dan tidak ada suara lain di dalam rumah tentu saja Wyne bisa mendengar teriakan seseorang yang menyebut namanya saja salah. Wyne segera keluar hanya untuk mendapati wanita yang sama sekali tidak ia kenal. Gentala sering mendapati Tante Icin bertengkar dengan Om Rega, satu kompleks akan mendengar keduanya jika mereka bertengkar. Itu lah alasan kenapa ia tidak terlalu takut dengan teriakan bersahut-sahutan. Tapi saat mamanya ditampar tanpa alasan yang jelas, bocah itu tidak terima. Ia sudah akan menendang wanita kasar di depannya ketika Wyne menariknya dengan cepat sehingga sekarang Gentala berada di belakang tubuh mamanya. “Aku baik-baik saja, kamu ga boleh lihat kelakuan orang tua bodoh ini atau kamu akan tumbuh seperti dia yang menyerang orang tanpa alasan.” “Beraninya wanita tidak tau malu sepertimu ingin menikahi putraku.” “Oh,” ucap Wyne dengan senyum lebarnya seolah ia bertemu dengan teman lama. Jadi ini adalah orang tuanya Fuad Hasan Kripala? Wyne tidak bisa menahan mulutnya untuk berkomentar betapa pengecutnya pria yang katanya ingin menikahinya itu. Padahal sejak awal Wyne memperingatkan pria itu untuk mengatakan keadaannya yang memiliki anak tanpa pernikahan pada keluarga mereka. Wyne pikir alasan kenapa Fuad tidak lagi datang padanya karena pria itu tidak berhasil meyakinkan keluarganya. Jujur ia menghargai Fuad yang tidak muncul dengan penjelasan jika alasan pria itu adalah untuk menghindari keributan seperti sekarang. Tapi apa ini? “Aku harus apa kalau anak Tante cuma mau menikah dengan wanita tidak tau malu ini?” kekeh Wyne meski kini dagunya ditekan wanita itu dengan sepenuh hati. “Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dan menghabiskan sisa hidupnya untuk menghidupi anak jadahmu ini.” “Kalau begitu mungkin aku dan anak Tante akan membuat anak jadah lainnya.” Wanita ini terlalu menyenangkan untuk dilewatkan, begitu pikir Wyne. “Wanitaa murahann!! Dasar wanita hina.” Wanita itu yang menghina Wyne sudah melayangkan tangannya ketika seseorang menahan tangannya. Pria muda yang tampan dan sama sekali tidak terlihat murahan seperti wanita ular ini. “Jangan ikut campur dengan urusanku. Pria sepertimu mungkin muncul sebagai pahlawan pada setiap cerita untuk membela wanita lemah tapi asal kamu tau anak muda, dia ini wanitta murahhan yang menjual tubuhnya-” “Cukup!!” ucap Shakka Orlando Padmaja yang sudah terlalu syok dengan putranya yang menghilang. Gentala mengatakan bahwa ada pelajaran tambahan sampai pukul lima sore tapi ketika Shakka sampai di sekolah, tidak ada satupun siswa di sana. Ia bahkan sudah membuat kepala sekolah datang ke sekolah untuk menanyakan dimana putranya. Meminta pertanggung jawaban sekolah hanya untuk mengetahui bahwa ternyata putranya lah yang berbohong. Shakka marah juga ketakutan karena hanya ada ponsel dan barang-barang Gentala lainnya saja di dalam kelas sedang putranya tidak ada di mana-mana. Ia sama sekali tidak punya kesempatan untuk menyalurkan emosinya dan saat Abid mengatakan dimana harus mencari Gentala, Shakka malah menemukan wanitanya, oh tentu saja Wyne Amelia adalah wanitanya meski mereka tidak punya hubungan apapun selain orang tua dari Gentala, diperlakukan dengan kasar oleh orang tua satu ini. “Saya akan meminta pertanggung jawaban atas pukulan yang telah Anda berikan pada ibu dari anak saya.” Bukannya tertegun atau apapun jenis ekspresi yang menunjukkan seseorang terkejut, wanita itu malah tertawa kencang. “Kamu yakin masih ingin membela perempuan yang merayu putraku sehingga ia bisa dinikahi?” “Tidak ada yang akan menikah dengan wanita ini termasuk pria yang ibunya kurang ajar seperti Anda. Sekarang pergi dari sini sebelum saya membalas Anda dengan tangan saya sendiri.” Pada akhirnya wanita itu mundur begitu menyadari bahwa pria yang ia hadapi bukan pria sembarangan mengingat pria-pria berpakaian hitam dan berwajah sangar yang mengelilingi mereka. Namun ia tidak pergi begitu saja tapi dengan ujaran kebencian yang ia tujukan pada Wyne. Shakka diabaikan. Wanita itu bahkan tidak menoleh padanya sama sekali seolah tidak ada Shakka di sana. Namun begitu pria itu tetap mendekat dan meraih wajah Wyne untuk memeriksa keadaaannya. Beberapa menit yang lalu saat sampai di depan rumah ini, Shakka terpaku melihat paras wanita yang sudah sepuluh tahun tidak ia temui. Ia masih akan berdiri seperti pengecut dari balik pagar sekalipun wanita tadi menampar Wyne tanpa alasan. Pembelaan Shakka adalah karena janjinya pada Wyne yang harus ia tepati. Tapi saat wanita itu menghina Wyne dan putranya, Shakka tidak bisa menahan kakinya untuk mendekati mereka. Kulitnya masih lembut seperti dulu, pikir Shakka saat ia berhasil membuat Wyne menghadap padanya sehingga wajah itu benar-benar berada di depannya saat ini. Namun beberapa detik kemudian Shakka merasakan tangannya ditepis. Kini kedua mata bulat itu menatapnya tajam. Gentala menelan liurnya dengan susah payah melihat interaksi Papa dan Wyne. “Wyn..” panggil Shakka. “Ups, Wyne ga suka dipanggil seperti itu,” sela Gentala. Kedua manusia dewasa ini harus mengingat bahwa ada Gentala di antara mereka. Makanya bocah itu berceletuk. “Kenapa kita kedatangan banyak tamu, Gentala?” tanya June yang baru sampai beberapa saat lalu dan melihat Wyne memukul tangan Shakka yang menyentuh wajahnya. “Kita memang kedatangan banyak sekali tamu tidak di undang hari ini, Om,” jawab Gentala sementara Papa dan Mamanya sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN