“Udahan kali,” ucap Shakka pada Bella yang masih membuka buku saat sarapan. Padahal tiga puluh menit lagi ujian akan dimulai. Tidak kah Bella merasa muak? Saat sampai di salah satu Universitas negeri tempat seleksi pertama untuk olimpiade sains, anak-anak Bina Bangsa memang terlebih dahulu di giring oleh Guru pendamping mereka untuk sarapan. Jadi jangan salah paham dan berpikir Shakka sarapan berdua dengan Bella.
“Lo yakin bisa lolos babak penyisihan?” tanya Shakka pada Bella yang lebih memilih untuk mengabaikannya.
“Kalo gue lolos, lo mau apa?” namun buru-buru siswi itu meralat ucapannya. “Ga jadi. Berapa taruhan memangnya yang harus gue buat?”
“Kenapa gue harus dapat sesuatu kalau lo lolos?” cibir Shakka.
Bella menjentikkan tangan di depan wajah Shakka. “Bener banget. Kenapa menang atau kalahnya gue harus ada hubungannya dengan orang lain, ya, ‘kan?” ucap siswi tersebut geram.
Pagi itu Shakka tidak mengerti dengan yang Bella katakan tapi siangnya saat mereka semua selesai ujian dan menunggu pengumuman, cowok itu mengerti. Ada anak laki-laki dari SMA Garuda yang mengikuti Bella bahkan ikutan berkumpul dengan anak-anak Bina Bangsa. Owen Alankar Tanaka namanya.
Keberadaan Owen adalah yang paling menyebalkan. Segala gerak gerik Kak Ihsan saja kalah karena cowok itu benar-benar menunjukkann apa yang ia inginkan. Belladiva Wicaksono tentu saja.
…
Gentala menyatukan kedua alisnya. Owen? Kenapa tiba-tiba ada cowok lain di cerita ini? Bocah itu membalik buku tersebut dengan cepat tidak peduli Om Abid kembali masuk ke dalam mobil. Telunjuk kecilnya menelurusi tiap paragraf pada halaman yang ia buka acak.
Bukan. Ucap Gentala membatin kemudian membalik halaman lagi.
Masih bukan.
Kali ini Gentala tidak peduli apakah buku tersebut akan sobek gara-gara gerakan kasarnya. Pada bagian ujung buku ini ia bisa sedikit tenang karena lebih banyak interaksi Bella dan Shakka.
“Gentala, Om ingin memastikan sesuatu,” ucap Abid sebelum membawa ia dan ponakannya menjauh. Hari ini ia akan menitipkan Gentala di rumah Fira saja agar calon istrinya itu bisa bantu memberi pengertian pada bocah ini.
“Ayo ke Animedia, Om.”
“Nak.. kamu sudah janji untuk tidak membaca buku yang lain.”
“Aku anak kecil. Anak kecil boleh ingkar janji.”
“Kata siapa?”
“Kata aku, ‘kan,” ucapnya ketus. Jika Om Abid tidak bisa membuatnya mendapatkan buku kedua atau yang Om Abid sebut dengan buku pertama, maka Gentala akan mendapatkannya sendiri. Gentala tidak bercanda saat mengatakan ia akan mendapatkannya sendiri meski ia pun belum mengetahui bagaimana cara mendapatkannya.
Abid tidak pernah berdebat dengan Gentala selama ini sebelumnya. Dengan Gentala yang begitu keras kepala. Saat keduanya saling bicara bersahut-sahutan, ponsel bocah itu berdering. Nama Papa tertulis disana namun, “Aku ga mau bicara sama Papa,” ucapnya merajuk.
“Loh?? Angkat dulu kali telfonnya dan bilang sama Papamu kalo kamu ga mau bicara sama dia.”
Pada akhirnya Om Abid yang mengalah dan menjawab telfon Papa untuknya. Sambil menunggu Om Abid selesai bicara, Gentala membuang muka dengan kedua tangan dilipat di d**a. Apa yang salah di sini? Begitu pikirnya. Tante Bella yang ia temui barusan adalah orang yang cantik dan baik. Gentala suka bicara dengannya. Kenapa Tante Bella tidak mau mengaku sebagai mamanya? Apa yang Papa lakukan pada Mama? Gentala tidak bisa menahan dirinya untuk berpikir demikian karena sama sekali tidak ada masalah pada Mama.
“Apa tujuan kamu untuk ketemu Bella hari ini? Membawa dia pulang ke rumah kita?” tanya Abid setelah meyakinkan Abangnya bahwa Gentala baik-baik saja.
“Om ga suka Mamaku? Atau Kakek, Nenek dan Mama Key yang ga suka mamaku?” Dan Gentala mendapat satu lagi kemungkinan. Yang satu ini terdengar lebih meyakinkan. Gentala tidak akan berpikir seperti ini kalau ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Papa dan Kakek yang tidak menyukai Om Arif.
Huh. Abid mendapatkan jawabannya dengan jelas. “Baru pertama bertemu dan kamu sudah menyebut Bella sebagai Mama?”
“Dia Mama. Om ga lihat? Shakka suka sama Bella.” Gentala menunjukkan halaman yang memperkuat kalimatnya. “Aku ga bisa terima ini.” Bagai seekor belut yang licin, Gentala berhasil lolos dari mobil dan berlari ke arah gedung tadi. Beberapa jam yang lalu ia berlari dari Bella dan sekarang ia kembali berlari tapi kali ini berlari pada Bella. Hanya saja saat ia baru memasuki gedung tersebut, Gentala kembali merasakan tubuhnya melayang. Tidak menyerah, bocah itu berteriak meminta tolong pada siapapun. Mengatakan bahwa yang membawanya adalah penculik.
“Bella bukan Mama!” ucap Abid geram. Kali ini ia memastikan mobil mereka meninggalkan gedung tersebut.
“Dia Mama!”
“Bukan. Kenapa kamu jadi keras kepala sekali? Apa kita telfon aja Papamu dan tanya langsung?” Berkat pertanyaannya barusan Abid mendapatkan Gentala diam. Dalam diamnya Gentala berjanji akan menemui Tante Bella lagi tanpa Om Abid.
“Malam ini kamu menginap sama Tante Fira mau? Mata kamu bengkak banget dan Om ga bisa bohong sama Nenek.”
Abid menghela napas karena Gentala benar-benar merajuk. “Kamu ingat apa yang Om bilang hari itu? Kalau kamu mau memulainya dari Bella, Om hanya bisa bilang not bad. Om bilang not bad bukan berarti benar Bella adalah Mama. Maksud Om adalah pendekatan kamu cukup baik.”
Lagi, Abid hanya bicara sendiri karena Gentala sekarang bahkan sudah membuang muka. Satu jam berkendara, keduanya sampai di depan rumah Fira, calon istri Abid. “Ayo, kita menumpang tidur di rumah Tante Fira dulu.” Abid bicara bukan untuk mendapat sahutan dari Gentala. Ia hanya ingin mengatakan pada ponakannya itu bahwa mereka sudah sampai.
“Aku ga mau disini,” Pintu mobil sudah dibuka dan Om Abid sudah memintanya untuk turun tapi Gentala menolak. “Rumahku ga disini.”
“Oke. Tapi nanti kamu pura-pura tidur. Om akan gendong kamu sampai ke dalam kamar supaya ga ada yang nanya kenapa mata cucu kesayangan mereka seperti mau meledak.” Dengan satu syarat mutlak tersebut, keduanya kembali ke rumah.
>>>
“Sayang, Gentala mau makan siangnya nanti apa?” tanya Naya pada cucunya yang dua hari belakangan nafsu makannya turun. Cucunya itu tidak sakit sama sekali namun selalu lesu.
“Apa aja yang Mama masak pasti anak ini habiskan kok, nanti. Aku janji,” ucap Abid sebelum mengkode ponakannya agar mereka berangkat namun bocah itu masih mengabaikannya. Setahu Abid, semalaman Gentala bicara dengan papanya melalui telfon. Tapi kenapa bocah ini masih merajuk padanya? Bukankah Gentala Jayden Padmaja sangat tidak adail? Bukan kah seharusnya dia marah pada Papanya sendiri?
“Aku berangkat sekolah, ya, Nek, Kek..” ucap Gentala lima menit setelah Om nya pergi.
“Om jahilin kamu lagi?” tanya Rama pada cucunya dan dibalas dengan anggukan cepat.
“Nanti Kakek urus Om Abidmu itu.”
Mau tidak mau seberkas senyum terbentuk di bibir Gentala. Rasain Om Abid. Salah siapa yang selama dua hari terakhir selalu mengucapkan kata bukan. Gentala sedang belajar di ruang tengah kemudian Om lewat dan berkata. “Bukan, Gen, bukan dia.” Atau saat gentala baru keluar dari toilet, Om tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya. “Bukan Bella, percaya Om deh.” Pokoknya apapun yang sedang Gentala lakukan dan dimana pun di rumah ini mereka berpapasan maka Om akan mengatakan satu kata, bukan.
“Dia sama saya aja, Pak,” ucap Abid pada supir yang akan mengantarkan Gentala. Kini bocah itu menatapnya dengan mata yang pengen sekali Abid colok.
Gentala tidak pernah mengancam siapapun namun kali ini ia mengancam supirnya untuk dipecat jika mengalah begitu saja pada Om Abid. Ia tidak tahan dengan seringai Om Abid yang mengatakan ‘bukan’ namun kalimat ancamannya tergantung di udara karena Om Abida menunjukkan sesuatu yang ia inginkan. Shakka yang lain.
“A- aku sama Om Abid aja,” ucapnya pada supir kemudian meminta maaf atas ancamannya barusan.