“Papa akan kangen banget sama kamu, Sayang.” Shakka menciumi seluruh wajah putranya pagi itu sebelum pergi. Sejak Abid serius dengan wanita selain Fay untuk pertama kalinya, ia harus berjauhan dari putra semata wayang karena sementara Abid mengejar cintanya, Shakka justru harus tetap menjalankan perusahaan keluarga di luar negeri.
“Aku juga.”
“Kalau terjadi sesuatu, telfon Papa.”
“Kaya anak lo yang bakal dianiaya sama Kak-” Abid segera mengunci rapat mulutnya begitu melihat pelototan sang Abang.
Masih dalam posisi berjongkoknya, Shakka meraih putranya dalam pelukan sebelum bangkit dan meninggalkan keduanya. Shakka tau bahwa ketenangan sudah bukan miliknya lagi karena Abid tetap akan membawa putranya pada wanita itu.
Begitu Papanya sudah tidak terlihat, Gentala langsung mengajak Om Abidnya untuk segera menemui Bella. Anak itu terlihat terlalu bersemangat tapi Abid menolak permintaan keponakannya. Abid sudah menyelidiki wanita yang ingin ponakannya temui dan jujur saja, wanita itu adalah wanita paling sibuk yang ia kenal. Abid baru mendapatkan celah untuk menemui Bella lima hari dari sekarang. “Kecuali semua kegiatan Bella selama lima hari kedepan berada di Indonesia, Om akan bawa kamu padanya saat ini juga. Orang yang ingin kamu temui itu sedang ada pemotretan di Hongkong, Gentala. Jangan lihat Om dengan mata menyipit seperti itu,” ucap Abid pada ponakannya yang menatap curiga.
>>>
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Gentala akan bertemu wanita yang akhir-akhir ini wajahnya selalu ia lihat di tivi. Selama lima hari terakhir, dia selalu menonton tivi tapi bukan program yang stasiun tivi itu suguhkan yang ia lihat melainkan komersial break nya. Saat tidak ada Papa dan Mama di rumah, Gentala bisa merasakan Nenek selalu bersamanya setiap saat. Itu lah alasan kenapa ia tidak akan mendapatkan kesempatan untuk membaca Shakka. Tapi sejujurnya, Gentala sudah kehilangan minat pada Shakka karena ia akan menemui Bella langsung minggu ini.
“Kamu kenapa lama sekali?” gerutu Abid pada ponakannya kesal. Ia sudah menjemput Gentala disaat seharusnya ia mengisi perut tapi bocah ini malah semakin mengulur-ulur waktu padahal susah sekali bagi Abid menemukan celah sehingga mereka bisa bertemu dengan Bella. Namun saat sekilas ia melihat bubuk putih di sudut mata ponakannya itu, Abid merasa mulas seketika. Gentala terlalu bersemangat dan menaruh harapan tinggi. Abid merasa buruk karena ponakannya ini bahkan memaksa pulang untuk mandi, memakai bedak bayinya dan pakaian terbaru yang Kak Keysha belikan untuknya minggu lalu. Nyatanya wajah ceria putra kesayangan Bang Shakka hanya akan bertahan beberapa jam saja.
“Bell, jadi ada anak yang pengen banget ketemu sama elo,” ucap seseorang pada Bella yang baru selesai pemotretan. Padahal ia baru sampai di Indonesia semalam tapi paginya sudah kembali harus bekerja. Bella, jujur saja mulai muak. Ia bekerja siang dan malam seolah dirinya adalah tulang punggung keluarga atau single parent yang sangat butuh uang untuk membeli popok dan s**u formula untuk anaknya.
“Anak-anak? Bocah maksudnya?” tanya Bella dengan mata menyipit. Bersamaan dengan pertanyaannya barusan, pintu ruangan diketuk. Bella tidak bisa bertanya lebih lanjut karena yang ingin menemuinya sudah berada di balik pintu tersebut.
“Itu dia,” ucap sang manager dan berbalik membukakan pintu.
Seumur hidupnya, meskipun bertahun-tahun berlalu Bella tetap saja merasa berdebar saat dirinya melihat Shakka mendekat. Padahal pria itu mendekat padanya hanya untuk berlalu begitu saja seperti yang sering sekali terjadi belasan tahun lalu di koridor Gedung Selatan Bina Bangsa. Bella sadar betul bahwa cinta pertama adalah kutukan. Bisa bersama dengan orang yang menjadi cinta pertamamu adalah hal paling konyol untuk diharapkan. Semua orang yang terlena dengan cinta pertama pada akhirnya akan menyadari ini meski kadang harus membutuhkan beberapa tahun. Sama seperti Bella. Namun ada satu hal yang tidak bisa mereka hindari. Yaitu perasaan berdebar saat pria cinta pertama tersebut muncul. The first love dissapear but never goes. Ya, Bella setuju sekali dengan kalimat itu. Cinta pertama tidak akan pernah padam, dia hanya tertimbun. Dan walaupun yang berjalan padanya saat ini bukan lah Shakka, tapi hari ini, cinta pertamanya muncul kembali. First love has summoned.
“Halo,” ucap Bella pada wajah Shakka yang ada pada putranya. Tentu saja bukan? Kemana lagi wajah tampannya Shakka akan turun kalau bukan pada anaknya?
“Ha- halo,” ucap Gentala gugup sambil meremas ujung bajunya.
Begitu bocah itu memangkas jarak, Bella bisa melihat buku yang sangat familiar bersamanya. Oh, ucapnya membatin. Bella mengerti dengan situasi yang sedang ia hadapi. Namun begitu ia tetap tersenyum pada anak malang tersebut.
“Kenapa menunduk?” tanya Bella pada Gentala yang terlihat gugup sekali. “Ada yang marahin kamu?” Kemudaian Bella mendapat gelengan sebagai jawaban.
Kakinya sudah berhasil membawa Gentala begitu dekat dengan wanita yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Gentala bahkan sampai ditegur seharian di sekolah karena tidak menghiraukan guru. “Aku Gentala, Tante.” Bagaimana caraku membawa Mama pulang? Hanya satu itu pertanyaan yang terus berputar di otaknya dari semalam.
“Papa kamu ya yang ngajarin kalo ngomong sama orang itu lihat lantai aja? Ga usah lihat wajah orangnya, gitu?” Bella tersenyum begitu Gentala mengangkat wajahnya. Ia bisa mengetahui betapa sayangnya Shakka pada bocah ini.
“Gitu dong, ‘kan keliatan gantengnya,” kekeh Bella. Merasa lucu dengan dirinya sendiri. Mulai dari bapak sampai pada anaknya, Bella dengan konsisten mengalamatkan satu kata tersebut pada mereka.
“Aku mau tanya ini,” ucap Gentala setelah membiarkan Tante Bella mengulang pertanyaan mengenai kenapa ia datang kemari sampai tiga kali. “Yang sama Papaku di dalam sini, Tante, ‘kan, orangnya?”
“Belladiva Wicaksono yang membuat Shakka Orlando Padmaja tergila-gila? Iya, itu Tante.”
Glek. Gentala tidak tau harus bereaksi seperti apa di hadapan Tante Bella tapi di dalam sana jantungnya sudah berpesta terlebih dahulu untuk merayakan kemenangannya. Gentala sengaja kembali menunduk untuk menyembunyikan senyumnya.
“Berarti Tante…” Namun, berapa kali pun Gentala mencoba mengulangi kalimatnya, ia tetap tidak bisa bertanya pada wanita cantik dan baik hati di depannya ini apakah dia adalah mamanya. Tante Bella sudah pasti adalah mamanya tapi Gentala terlalu pengecut untuk bertanya.
“Nak, Tante bukan Mama kamu.” Kalau Gentala sedih dengan apa yang ia katakan ini, Bella bersumpah ia lebih sedih lagi. I wish I was your mother too. Andai Gentala tau bagaimana Bella ingin menjadi wanita yang melahirkan putranya Shakka.
>>>
“Gentala.”
“Gentala.”
“Gentala Jayden Padmaja!” teriak Abid pada keponakannya yang lari begitu saja. Abid beruntung bisa menyambar tubuh keponakannya sebelum anak itu melemparkan dirinya ke jalan raya. Ia segera membawa Gentala ke dalam mobil meskipun anak Abang mengamuk seperti orang gila di dalam gendongannya. Sudah lama sekali rasanya sejak Abid mendapatkan Gentala tantrum. Tantrum atau lebih pada kecewa pada harapan yang diam-diam anak ini buat tentang wanita yang baru saja ia temui. Di dalam mobil Gentala berteriak manangis keras, mengamuk dan tidak ingin di dekati oleh Om nya.
Abid tidak bisa membawa Gentala pulang dengan keadaan seperti ini. Makanya selama satu setengah jam pertama, Abid berdiam diri di dalam mobil. Tidak berusaha menenangkan Gentala karena gentala harus menerima kenyataan. Gentala ingin menemukan mamanya atau justru ingin menjadikan Bella mamanya. Ini adalah dua hal berbeda. Saat Gentala sudah mulai tenang meski isak masih keluar dari bibir mungilnya, dari dalam mobil Abid melihat Bella keluar.
“Tunggu Om sebentar,” ucapnya kemudian mendekati wanita tersebut.
“Gimana sama Gentala?” tanya Bella saat adik Shakka menemuinya. Jujur saja, ia pikir Shakka lah yang bersama Gentala di mobil itu.
“Masih menangis.”
“Dia bakal baik-baik aja, ‘kan?”
“Pasti, Kak.”
“Sudah saatnya anak itu ketemu Mamanya, ‘kan, Bid?” Ya, benar, semua orang terutama yang melihat Gentala tumbuh, selalu ingin anak itu bertemu dengan Mamanya. Begitu pula dengan Bella yang selama ini hanya mendapat cerita tentang Gentala dari Icin dan juga Tavi.