20

1189 Kata
“Jangan di telfon,” ucap Wyne pada Abangnya. Hanya satu yang Wyne tekankan pada Fuad Hasan Kripala, bahwa ia tidak ingin ada drama. Wyne tidak mau tau bagaimana caranya pria itu mengatakan pada keluarga besarnya soal masa lalu Wyne. Dan jika mereka tidak bisa menerima dirinya seperti Wyne yang memeluk masa lalunya erat, maksud Wyne sebagian kecil saja yang ia peluk erat karena sisanya sudah ia buang, mungkin sebaiknya pria itu menyerah saja. Empat kali sudah Fuad mengulur-ulur waktu. Mulai yang katanya besok lalu lusa dan sampai akhirnya sekarang, yaitu satu minggu sejak Wyne mengajak pria itu menikah. Berhubung matahari bahkan sudah tenggelam dan tidak ada tanda-tanda Fuad dan keluarganya akan datang, Wyne tau apa yang sebenarnya terjadi. Kecewa? Tidak. Sedih? Jangan bercanda. Ini bahkan tidak ada apa-apanya dengan yang telah ia lalui selama lebih kurang tujuh tahun belakangan. Makanan sudah dingin, mata Wyne sudah mengantuk dan jujur saja bokonggnya sudah kebas duduk diam di sofa ruang tamu sejak siang menjelang. “Amel ga ridho nih gue mau nikah,” celetuk calon mempelai tapi tak jadi. Ia berujar demikian berharap Abangnya berhenti memasang wajah kecewa seperti itu. “Bapaknya kali yang ga ridho,” cibir June. Mengendikkan bahu, Wyne mencomot satu-satunya camilan yang selalu ada di rumah mereka. Kacang tojin. “Lo ga curiga kalo-” “Ga.” “Ga ada yang ga bisa dia lakuin, Wyn.” “Betul, tapi sayang sekali dunia ga berputar disekitar gue, Jun. Dan dia bukan Tuhan, gaya-gayaan lo bilang ga ada yang ga bisa dia lakuin.” Begitu saja dan pembahasan tentang pria itu berhenti sampai di sana. Kemudian hari berganti tanpa ada tanda-tanda dari Fuad yang katanya ingin menikahinya itu.   … “Juneeee,” teriak Wyne dari dalam kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua sore dan dia belum punya niatan untuk meninggalkan kasur. “Elo lah yang bukain. Cukup ya gue jadi Abang rasa adek di rumah ini. Sekali-sekali elo yang disuruh-suruh,” ucap June dari dalam kamarnya. Pria itu berani bertaruh bahwa Wyne tidur nyenak semalam sedangkan ia tidak. June baru bisa tertidur saat ayam tetangga sudah berkokok. “Elo aja, Jun.. Ini gue lagi patah hati ga jadi di lamar,” balas Wyne. Di dalam kamarnya, June mendengus. Tau sekali bahwa Wyne tidak merasa patah hati walau seujung kuku. Ada yang Mail katakan pada Wyne yang membuat adiknya itu tiba-tiba saja ingin menikah. June tau ini. Keduanya terus saja melempar alasan demi alasan kenapa satu sama lain lah yang harus membuka pintu untuk tamu sampai akhirnya Wyne menghempaskan pintu kamar dengan kasar. Meninggalkan June yang jantungan untuk beberapa saat dan sisanya ketenangan karena ia bisa melanjutkan tidur. Dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit dan bahkan lebih, June tidak mendengar apa pun dari luar sana. Pria yang sudah memejamkan matanya itu tiba-tiba bangkit. Dalam hati menebak apakah yang datang adalah keluarga Fuad? Arjuna Madhava lari pontang panting hanya untuk mendapati Wyne mematung melihat siapa yang berdiri di depan pintu mereka. Seseorang yang June bahkan Wyne bisa mengenalinya dengan sekali lihat saja. Seseorang yang tidak seharusnya berada di sini. “Aku.. ga boleh masuk?” tanya Gentala setelah Tante di depannya ini hanya menatapnya lama. Meski begitu, bocah tersebut suka dengan bagaimana Tante ini menatapnya. Bukan jawaban yang anak kesayangan Shakka itu dapat melainkan hempasan pintu. Melihat ke belakang, ia sudah tidak menemukan Om Abidnya lagi. Tepat saat ia akan menelfon Om Abid, Gentala mendapat pesan singkat yang menerangkan kenapa adik Papa tidak ada di tempat seharusnya dia berada. Gentala di minta menunggu setengah jam saja karena ada urusan pernikahan yang harus Om Abid selesaikan saat ini juga. Tidak punya pilihan lain, anak itu duduk di kursi rotan yang ada di beranda rumah tersebut. Dari dalam rumah ia bisa mendengar suara teriakan. “Lo gila ya?” hardik June pada adik yang harus ia akui adalah wanita paling kasar yang ada di dunia ini. Jujur saja, June kaget dengan keberadaan anak itu apalagi Wyne. June mengerti itu tapi apa Wyne harus menutup pintu rumah seperti barusan? Bagaimana kalau anak tadi terluka? Seperti yang diharapkan dari seorang Wyne Amelia, dia berjalan lurus menuju kamarnya tanpa menyahut sama sekali. Meninggalkan June yang harus menghadapi apa yang ada di teras rumah mereka sana. Butuh waktu sepuluh menit bagi June untuk melangkahkah kaki menuju pintu. Membawa dirinya pada putra Shakka Orlando Padmaja. Anak ini tidak perlu diperkenalkan oleh keluarga Padmaja sebagai penerus mereka terlebih dahulu agar June mengenalinya. Cukup lihat saja parasnya dan kamu akan tau. Kecuali kamu tidak mengenal siapa Shakka Orlando Padmaja. “Hai,” sapa June pada anak laki-laki yang langsung berdiri dari kusi rotan yang ia duduki begitu pintu dibuka. Sebaliknya, June lah yang berdiri pada kedua lututnya. Takut jika figurnya membuat anak ini ketakutan. “Maafin adek Om, ya..” pintanya. “Iya. Ga apa-apa. Mungkin Tantenya lagi banyak pikiran,” ucap Gentala pada akhirnya. Om Abid mengaku bahwa mereka tidak salah alamat sama sekali. Rumah yang harus ia datangi adalah rumah ini namun Gentala tidak tau siapa sebenarnya yang harus ia cari. Apakah Om ini atau justru tante barusan. Makanya mau tidak mau, ia buka suara meski enggan. “Jangan,” ucap June menggelengkan kepalanya. “Jangan di panggil Tante, panggil dia Wyne aja.” June tidak bisa menahan diri untuk menyentuh wajah bocah tampan itu dengan telapak tangannya dan menanyakan, “Nama kamu siapa, Nak?” “Gentala.” “Gentala mau, ‘kan, maafin Wyne?” untuk semua kesalahan Wyne selama sepuluh tahun ini sama kamu? lanjut June membatin. “Wyne orangnya baik, kok. Hanya saja dia tidak berpikir seperti orang kebanyakan.” Menyadari bahwa kata-katanya malah membuat bocah ini kebingungan, June mengubah kalimatnya menjadi sesuatu yang lebih mudah dicerna oleh bocan berumur sembilan tahun. “Gentala kemari di suruh siapa?” “Aku kemari mencari Line,” Gentala menengadah pada pria tua yang mengulurkan Shakka padanya. Bingung tentu saja, bukannya Kakak ini tidak mau memberikan Shakka padanya? “Kamu boleh pinjam buku ini, tapi ada syaratnya. Setuju?” “Syarat?” Kakek mengangguk kemudian Gentala merasakan elusan di sepanjang puncak kepala sampai tengkuknya. “Kamu boleh memiliki buku istimewa Kakek ini selama beberapa hari tapi sebagai gantinya Kakek mau kamu membantu untuk mendapatkan tanda tangan dari penulisnya langsung.” “Aku harus cari penulisnya? Tapi aku ga tau dia di mana.” “Apa gunanya Om kamu ini kalau dia tidak bisa membantumu? Gentala beralih pada Om Abid yang menepuk dadanya bangga. Pertanda beliau bisa membantunya untuk menemukan penulis Shakka. “Anak tua ini juga bisa kamu percayai Gentala, bisa banget malah.” Sekilas, Gentala mengingat ucapan Om Abid malam itu dan benar sekali bahwa Om sama sekali tidak mengadu pada Papa atau siapa pun. Om bahkan selalu bolos bekerja selama seminggu belakangan untuknya. Tersenyum lebar, anak itu mengangguk pertanda setuju. “Good boy,” ujar Feri melihat anggukan cepat bocah tampan di depannya. “Kamu ke sini mau minta tangan?” kekeh June sambil mengusap matanya yang berair. Merasa lucu seolah kejadian belasan tahun yang lalu terulang kembali. Kali ini apa? Apa Gentala juga akan meminta Wyne untuk menuliskan pesan tambahan seperti yang Shakka minta hari itu di Animedia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN