“Apa ini, Bid?” tanya Shakka begitu kakinya berada di dalam kamar sang adik.
“Sudah dulu ya, Ammar. Sampaikan salam Ayah untuk Papamu,” kekeh Abid pada anaknya Fay yang menelfonnya malam-malam hanya untuk memastikan kali ini sang Ayah benar-benar akan menikah. Ammar mengaku menemukan undangan pernikahan dengan mempelai pria bernama Megantara Abid Padmaja sedang nama pengantin wanitanya sama sekali bukan wanita yang selama ini Abid kenalkan sebagai pacarnya pada Fay dan keluarga mereka.
“Ammar? Fay kenapa?” tanya Shakka mendekat.
“Fay ga kenapa-kenapa. Denis yang bakal panas dingin saat putranya menyampaikan salam dari gue- oh, lo udah tau bukunya?” tanya Abid melihat Shakka berada di tangan Shakka.
“Dari mana Gentala mendapatkan buku ini?” tanya Shakka sambil melempar buku tersebut Namun Abid menangkapnya seolah yang barusan Abangnya lembar adalah benda pecah belah.
“Sialann lo ya, Bang. Kalo ga mau bantu mending jangan mengacau!” pekik Abid begitu memastikan bukunya masih dalam keadaan baik-baik saja. Gentala sangat menjaga janjinya dengan Om Feri dan jika buku ini penyok di bagian sudutnya, bocah itu bisa curiga.
“Yang gue tanya adalah bukunya, bukan betapa sialannya gue,” ulang Shakka sekali lagi karena Icin dengan percaya dirinya mengatakan bahwa Gentala hanya punya sebagian dari buku tersebut dan buku itu masih berada di rumahnya Icin.
“Om Feri.”
“Awas kalau anak gue sampai baca buku satunya lagi, gue jamin lo ga bisa punya ketur-”
“-Gue tau apa yang harus gue lakuin. Lo mending menyingkir karena kita tau lo ga punya urusan apa-apa dengan Gentala yang sedang mencari Mamanya. Lagian kalau lo tau, lo bisa bantu apa untuk ponakan gue itu?” Abid beranjak dari ranjangnya untuk berjalan lurus menuju kamar Gentala. Meletakkan buku itu di tempat seharusnya Shakka berada.
Dan iya. Shakka tidak bisa membantu apapun kalau urusannya dengan wanita yang telah melahirkan Gentala. Karena itu pula ia merasa ketakutan. Bagaimana jika hati putranya terluka mengingat wanita yang akan Gentala hadapi adalah wanita yang sangat keras kepala?
>>>
“Asin lagi?” tanya Wyne pada Bang Mail yang menatapnya heran dan mendapat anggukan sebagai jawaban.
“Itu mie dari pabrik loh, Bang. Ga aku apa-apain. Cuma aku rendam di air panas terus disaring dan dikasih bumbunya.”
Mail menenggak segelas air demi membersihkan kerongkongan dan rongga mulutnya kemudian memasukkan satu sendok mie ke mulutnya hanya untuk menatap Wyne dengan tampang heran. “Tapi kok bisa asin ya di tangan elo? Apa karena lo udah butuh kawin banget ya?”
Wyne menghembuskan napas kesal kemudian beranjak dari meja makan. Ia akan menunggu June pulang di depan tivi saja. Entah kemana abangnya itu padahal sudah hampir tengah malam. Apa June dan Mail sedang bertukar posisi ya? June pulang ke istrinya Mail sedang Mail pulang ke rumah ini. Hanya itu yang bisa Wyne pikirkan sebagai jawaban kenapa Abangnya masih belum pulang.
Akhirnya sebelum tepat tengah malam, June pulang. Pria itu membawa sebuah buku bersamanya dan menyerahkannya pada sang adik. Shafa Amelia, begitu judulnya. Tentu saja June berhasil meraih cita-citanya untuk menjadi seorang penulis puisi. Sekarang ia bahkan memiliki banyak penggemar dari seluruh pelosok Indonesia dan tiap cuitannya di twitter selalu ramai oleh mereka. Kegiatan wajib June setiap hari adalah mencoba memberikan solusi pada penggemarnya yang mengirim DM tentang masalah percintaan mereka. Tidak tau saja kalau June masih jomblo sampai sekarang.
“Abang kapan nulis ini, Bang?” tanya Wyne. Kedua matanya memanas. Tangannya meraba permukaan sampul buku tersebut dengan lembut seolah yang ia pegang saat ini adalah anak manusia.
Arjuna Madhava menyelesaikan buku puisinya kali ini sejak satu setengah bulan yang lalu. Ia juga sudah menyerahkannya ke pihak penerbit dan mereka setuju untuk mencetaknya meskipun tema kali ini sungguh jauh berbeda dari yang biasa June tulis. Namun sampai hari ini June masih belum mendapatkan kabar apa-apa dari mereka. Kejadian sore tadi membuat June mendatangi pihak penerbit dan juga editornya. Memaksa untuk mendapatkan cetakan pertama.
“Lo engga mengutuk gue, ‘kan, di dalam sini?” kekeh Wyne tapi bersamaan dengan tawanya itu, air matanya jatuh membasahi pipi dan June segera memeluk adik tersayangnya itu.
Berada dalam pelukan seseorang, menyalurkan sedihnya dalam bentuk air mata dengan punggung yang dengan setia diusap seperti ini ternyata membuat Wyne jauh merasa lebih baik. Tapi ia tau, jika terus-terusan seperti ini maka June akan sangat khawatir dengan keadaannya. Makanya alih-alih melanjutkan isak, ia memilih untuk melerai pelukan. “Aku juga mau cerita , Bang. Tadi aku udah telfon Bang Fuad. Aku mau nikah sama dia.”
“Aku udah mikirin ini matang-matang. Duh, ga cocok banget gue pake aku-akuan ya, Bang, heheheh..”
“Iya, engga cocok sama sekali. Lo kedengeran kaya bencoong kalo ngomong aku-akuan. Yang biasa aja lah, Wyn. Yang kaya dulu.” June kembali menarik adiknya dalam pelukan dan mencium puncak kepala Wyne. “Kalau lo serius mau nikah sama Fuad, gue siap nikahin kalian kapan pun kalian mau.”
“Iya, besok dia mau kemari sama keluarganya, katanya.”
“Oke. Lebih cepat lebih baik.”
“Temen lo tuh lagi makan mie di dapur. Gue masuk kamar dulu ya.”
Begitu adiknya masuk ke kamar, June segera menyusul Mail ke dapur. “Ngomong apa lo sama adek gue?”
“Ngomong apa?”
Apa lagi memangnya kalau bukan soal menikah, ya, ‘kan? Sejak semalam tujuan Mail datang ke rumah ini, ‘kan, untuk memastikan Wyne mau menerima lamarannya Fuad. Padahal si Kambing ini tidak kenal baik dengan Fuad tapi lagaknya sudah seperti orang tuanya Fuad saja.
“Wah, lo keterlaluan lo, Jun. Suudzon lo sama gue.”
“Kecilin suara lo, Nj*ng!” June mendekat pada temannya itu kemudian menceritakan bahwa tiba-tiba saja Wyne berubah pikiran soal Fuad. Pria yang sedang mereka bicarakann bukan sekali dua kali menyatakan keinginan untuk berumah tangga dengan Wyne meskipun dia sudah menyetahui masa lalu adiknya June tersebut. Tapi sekali pun Wyne tidak pernah memerlukan waktu lebih dari lima detik untuk menolaknya. Lalu hari ini atau tepatnya dari semalam Mail datang dan berbicara seperti orang paling benar sejagat raya. Apa Mail pikir keputusan Wyne tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya yang mengoceh sembarangan?
“Emang ga ada. Keputusan Wyne dia yang buat sendiri dan gue akui mungkin omongan gue jadi penyemangat bagi adek lo supaya segera menikah.” Mail mengulurkan sepiring mie goreng yang Wyne buatkan pada June. Memberikan bukti valid tentang kenapa pada akhirnya Wyne Amelia memilih untuk menikah.
“Ini lo bilang asin?” tanya June menggelegar. “Keluar ga lo dari rumah gue sekarang juga?”
>>>
Ada saat-saat dimana Shakka menjadi begitu memanjakan putranya. Pertama adalah setelah ia pulang ke rumah dan kedua saat ia akan kembali pergi seperti sekarang. Ia kembali menyuapi putranya makan. Yang aneh pagi ini adalah Gentala yang tidak merengek karena diperlakukan seperti anak manja.
“Hari ini kamu mau kita kemana, Sayang?” tanya Shakka pada putranya. Jujur, ia tidak ingin meninggalkan Gentala kali ini. Ia khawatir dengan kekecewaan yang akan putranya dapatkan setelah menemui Bella.
“Kita di rumah aja, Pa. Sore ini Tante Fira mau datang dan ajak aku main.” Gentala meraih tumbler miliknya kemudian menyesap air putih pelan. Ia dan Papa sedang berada tak jauh dari taman kompleks. Setelah selesai lari pagi, Papa mengajak mereka untuk sarapan bubur ayam.
Anak itu kembali membuka mulutnya saat satu sendok bubur ayam kembali berada di depan wajahnya. Gentala tau ia harus makan dengan lahap karena hal itu membuat Papa yang akan pergi merasa sedikit lebih baik. Padahal jujur saja, selera makannya selalu jatuh ke titik nol setiap saat ia mengetahui Papa akan pergi lagi.
“Kalau ada apa-apa yang terjadi sama kamu, tolong cerita ke Papa, ya, Nak.” Gentala mengangguk patuh tapi Shakka tidak puas. “Jangan percaya apapun kalau itu tidak keluar dari mulut Papa,” ucap Shakka putus ada.
“Kenapa?”
“Karena kamu tau Papa tidak pernah berbohong sama kamu, ya, ‘kan?”
“Iya sih.”
“Kok pakai sih?”
“Iya, Papa.”
“Kamu yakin ga mau Papa bolos kerja aja?”
“Engga. Papa harus kerja. Urusan yang ada disini biar aku sama Om Abid yang selesaikan.”
Mendengar komentar sok dewasa dari putranya barusan membuat Shakka meraup wajahnya. Dari semalam ia sudah merasakan ini. Shakka deg-deg-an padahal yang akan bertemu wanita itu adalah Gentala. Deg-degan nya ini bukan tipe deg-degan yang dirasakan seorang pria saat ingin menemui wanita yang disukainya untuk kencan pertama mereka. Tapi perasaan yang dirasakan seseorang saat sudah mengetahui bahwa cinta yang akan ia utarakan pasti ditolak tapi tetap harus disampaikan agar tidak ada beban di hati. “Apapun yang terjadi, kamu tau kamu bisa menghubungi Papa kapan pun. Betul?”
“Iya, Papa.”