6. Kembali Terluka.

1953 Kata
Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan. "Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah. Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?" Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai." Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik. Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin. "Pasien tadi sakit apa, Sus?" tanyanya, penasaran. Suster Erlin menggeleng pelan. "Kurang tahu, Dok. Ini pertama kalinya beliau datang. Namanya Pak Riswanto, usianya 58 tahun. Tapi detail kondisinya, saya tidak tahu pasti." Marwa mengangguk-angguk, lalu kembali menatap pintu ruang praktik Arga yang kini kembali tertutup. Sejurus kemudian, pintu terbuka dan sosok Arga muncul di ambang pintu. "Marwa, masuklah," panggilnya dengan senyum hangat. Marwa melangkah masuk, menenteng rantang empat susunnya. Begitu melihatnya, Arga tertawa kecil dan langsung menyambutnya dengan penuh rasa syukur. "Aku benar-benar laki-laki paling beruntung di dunia," katanya sambil menarik kursi untuk Marwa. "Pacarku bukan hanya seorang dokter bedah umum yang tenar dan cantik, tapi juga sangat pintar memasak. Dan yang lebih istimewa lagi, dia selalu memperhatikan aku seperti ini." Marwa terkekeh, meletakkan rantangnya di meja sebelum menatap Arga dengan penuh sayang. "Memang seperti inilah diriku apabila mencintai seseorang. Kalau sudah cinta, aku akan mencintai sampai mati. Begitu juga sebaliknya." Arga terdiam sejenak, lalu menatap Marwa dengan sorot mata lembut namun serius. "Itulah yang membuatku takut kehilanganmu, Marwa. Kamu segalanya bagiku. Apakah kamu tahu itu?" Mendengar kata-kata Arga, Marwa memutar bola mata. "Mulai deh, rayuan gombalnya. Ayo makan dulu. Setelah itu, baru boleh lanjut rayuan gombalnya." Marwa mulai mengeluarkan makanan satu per satu di atas meja. "Aku tidak merayumu, Sayang. Aku mengatakan yang sebenarnya," sahut Arga sambil menjawil gemas hidung bangir Marwa. Marwa menanggapinya dengan cengiran. "Bayangkan, aku berjuang meraih hatimu selama hampir sepuluh tahun lamanya. Dari saat kamu masih menjadi mahasiswi fakultas kedokteran hingga menjadi dokter spesialis. Jadi bagaimana mungkin aku tidak takut kehilanganmu." Sambil menerima piring yang sudah diisi nasi putih oleh Marwa, Arga mengedipkan sebelah matanya. "Aku dulu sudah berjanji pada almarhum Opa dan Oma untuk serius menggapai cita-cita. Makanya aku tidak tertarik membahas masalah cinta-cintaan. Ayo, makan dulu, Mas. Nanti makannya keburu dingin." "Kamu tidak makan, Sayang?" tanya Arga seraya menyendok sayur. Marwa menggeleng. "Aku sudah makan di rumah tadi. Eh, bagaimana tanggapan kedua orang tuamu soal rencanamu ikut pindah ke Jakarta bersamaku setelah kita menikah nanti?" tanya Marwa sambil duduk lebih dekat. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran akan reaksi orang tua Arga. "Mereka setuju-setuju saja sih. Ibu malah bilang, siapa tahu karirku jadi lebih maju karena bisa praktek di rumah sakit besar di Jakarta sana. Terus hubungan kita juga jadi lebih harmonis kalau kerja bareng di satu rumah sakit. Kita bisa saling bantu dan mendukung satu sama lain." Marwa tersenyum mendengar itu, hatinya terasa hangat. "Bu Risma dan Pak Hadi selalu bijak dalam segala hal. Aku suka cara mereka menanggapi sesuatu." Arga melirik sekilas, lalu tertawa pelan. "Kadang aku berpikir, sebenarnya aku ini anak kandung mereka atau bukan. Bayangkan, kalau aku meminta sesuatu pada mereka, wah... panjang lebar nasehatnya yang ujung-ujungnya ditolak. Tapi kalau kamu, langsung disetujui tanpa banyak alasan," keluh Arga pura-pura mengambek. "Kamu itu laki-laki. Jadi kamu tidak tahu trik-trik khusus untuk meluluhkan hati seseorang. By the way, aku sangat menyukai keluargamu yang hangat, Ga. Makanya aku bersedia menjadi pacarmu. Kamu tahu sendiri kan kalau aku ini fakir kasih sayang?" Marwa mencoba berkelakar untuk menyamarkan rasa sedihnya. Setelah Opa dan Omanya meninggal kini ia kembali sebatang kara. Beberapa keluarga jauh yang tersisa pun hanya memanfaatkannya karena warisan. Mendengar suara Marwa yang bergetar, Arga menghentikan suapannya. Ia kemudian meletakkan alat makan dan mengelus puncak kepala Marwa. "Setelah menikah nanti, aku janji akan membanjirimu dengan rasa cinta dan sayang. Dengan begitu kamu tidak menjadi fakir kasih sayang lagi." Mendengar kata-kata Arga mata Marwa jadi berkaca-kaca. "Janji ya, Ga ? Janji kalau kamu akan selalu mencintai, menyayangi, dan setia padaku-dengan segala kurang lebih diriku. Berjanjilah kamu akan selalu di sini, di hatiku yang sudah terlanjur kamu isi," pinta Marwa sungguh-sungguh. Arga tercenung sejenak. Getaran dalam suara Marwa menggugah hatinya. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan. "Aku janji, Sayang. Aku janji akan mencintaimu sampai kapan pun. Aku juga mau kamu ingat, bahwa apapun yang terjadi, aku akan memperjuangkanmu." Arga meraih tangan Marwa di meja dan mengecupnya sepenuh cinta. Ia tidak bohong. Ia memang mencintai Marwa sedalam itu. "Oke... oke... aku percaya," ucap Marwa. "Sekarang habiskan dulu makanannya. Setelah ini aku mau ke rumah, menjumpai Ibu." "Malam-malam begini? Ada perlu apa?" tanya Arga, bingung. Marwa tersenyum kecil, lalu membuka tote bagnya dan mengeluarkan sebuah kotak cantik yang dibungkus kertas cokelat elegan dengan pita emas. "Aku mau memberikan ini pada Ibu. Hadiah kecil saja." Arga menyipitkan mata, penasaran. "Apa ini?" "Tas pesta kecil. Ingat tidak waktu minggu lalu kita ke mall? Ibu sempat berhenti cukup lama di depan etalase butik tas. Waktu itu sempat memegang tas ini dan menanyakan harganya pada pramuniaga. Sewaktu aku hampiri, Ibu terus bilang, tidak jadi membeli karena tidak penting. Arga mengangguk pelan, mulai mengingat momen itu. "Aku tahu sebenarnya Ibu suka sekali dengan tas kecil ini. Tapi Ibu tidak jadi membeli karena merasa harganya kemahalan. Jadi tadi, sepulang dari rumah sakit, aku mampir dan membelikan tas ini. Aku tahu Ibu tidak meminta, tapi... aku ingin ia senang. Aku sudah menganggap ibumu seperti ibuku sendiri." Arga menatap Marwa, matanya melembut. "Tapi kamu tidak perlu repot-repot begitu, Wa. Kamu terlalu baik terhadap keluargaku." Marwa tersenyum, menggeleng lembut. "Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?" Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga Marwah mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya. "Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi. "Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya. "Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan mereknya padaku. Kebetulan aku ada rezeki berlebih, jadi ya... aku belikan sekalian." Arga menatap Marwa lama. Ia memandangi wajah cantik sempurna, pahatan Yang Maha Kuasa. "Kamu ini cantik luar dalam, Sayang. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi." Arga mengelus pipi halus Marwa dengan lembut. Marwa tersipu dan tertawa kecil. "Tidak begitu juga, Ga. Aku cuma tidak suka menunda-nunda kebaikan yang bisa aku lakukan sekarang. Aku sudah tahu arti ; sesal kemudian tiada berguna. Aku tidak mau mengulanginya lagi," kata Marwa sendu. Ia teringat pada keluarganya yang tewas karena peristiwa kebakaran 15 tahun yang lalu. Kalau saja waktu itu ia tidak terlambat menyelamatkan keluarganya, mungkin hari ini mereka masih bisa menikmati kesuksesannya. "Aku juga mengalaminya, Wa," bisik Arga lirih. "Kamu ngomong apa, Ga?" tanya Marwa heran. Arga seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tidak apa-apa, Wa. Aku hanya sedang menyemangati diriku sendiri," ujar Arga sambil mengelus puncak kepala Marwa. *** Ruang operasi baru saja ditinggalkan oleh para tenaga medis. Marwa melepas sarung tangannya. Di dalam, pasien kantung empedu yang barusan ia tangani masih dalam tahap observasi. Operasi tersebut memakan waktu lebih lama dari seharusnya. Saat membuka rongga perut, Marwa terkejut menemukan adanya sirosis hati-temuan yang tak terduga dari hasil pemeriksaan awal. Ia harus ekstra hati-hati. Hati yang keras dan mudah berdarah itu menuntut presisi tinggi. Sedikit saja tergelincir, pasien bisa kehilangan banyak darah. Setelah menutup luka operasi dan memastikan semuanya aman, Marwa menghela napas lega. Mirna, dokter residen, masih mengenakan masker yang menggantung di leher, menatap Marwa dengan mata berbinar. "Saya benar-benar takjub melihat cara kerja Dokter tadi. Padahal saya sudah panik saat melihat permukaan hatinya-bernodul, kasar, dan keras begitu. Tapi Dokter bisa tetap tenang bekerja. Sayatan Dokter... sangat presisi. Hampir tidak ada perdarahan yang berarti," pungkas dokter Mirna. Marwa tersenyum kecil sambil membuka scrub top-nya. "Pengalaman mengajarkan banyak, Mirna. Dulu saya juga seperti kamu. Tangan gemetar saat pegang klem." Marwa terkekeh pelan. "Kalau kamu terus belajar dan tekun, suatu hari kamu juga akan jadi dokter yang hebat. Percayalah." Marwa menepuk pundak dokter Mirna sebelum berlalu. Dokter Mirna menatap kagum saat Marwa pergi meninggalkan ruang operasi. Sesampainya di ruang ganti, Marwa membersihkan diri, mengganti pakaian, lalu menengok jam di dinding. Pukul 16.05. Perutnya berontak. Hari ini belum ada sesuap makanan pun yang menyentuh tenggorokannya. Marwa melangkah cepat menuju unit Arga. Niatnya sederhana: ingin mengajaknya makan bersama di kantin. Namun, belum sampai ke unit, langkahnya tertahan. Di ujung lorong, bayangan Arga dan seorang perawat magang-Selina, berbelok ke arah tangga darurat. Marwa mengernyit. Kenapa mereka tidak menggunakan lift? Bukankah lift sedang kosong? Rasa penasaran menuntunnya mengikuti keduanya. Pelan, Marwa membuka pintu tangga darurat. Baru saja membuka celah, suara pertengkaran tajam menyambutnya. Suara Selina, menggema marah. "Kenapa Dokter tiba-tiba menghindari saya? Saya salah apa sih? Ingat ya, Dok. Dokter sudah meniduri saya. Dokter harus bertanggung jawab!" "Bertanggungjawab? Kamu sudah gila ya? Kamu tahu sendiri kan kalau saya sudah punya pacar? Sebentar lagi kami akan menikah lagi. Mengenai kejadian malam itu, tidak ada paksaan bukan? Kita sudah sama-sama dewasa dan sama-sama ingin melakukannya. Lagipula toh kamu duluan yang memulainya?" Suara Arga terdengar dingin. Marwa membeku di balik pintu. Ia nyaris tidak mempercayai pendengarannya sendiri. "Tidak begitu juga, Dok. Saya sudah menyerahkan keperawanan saya pada Dokter. Dokter harus bertanggungjawab." Selina mulai menangis. "Jangan banyak drama. Kamu ini pemeras yang licik. Ayahmu kemarin mencari saya ke tempat praktek dan meminta sejumlah uang. Saya sudah memberikan seperti yang ayahmu mau. Kita impas. Jadi mulai sekarang kamu jangan mencariku lagi. Paham kamu!" desis Arga muak. "A-ayah meminta uang?" Selina shock. "Benar. Ayahmu meminta uang sebayak seratus juta sebagai pengganti keperawananmu. Dan saya sudah memberikannya. Jadi, mulai hari ini kita berdua tidak ada hubungan apapun lagi!" tegas Arga. Marwa yang sedari tadi menguping, merasa dunianya runtuh. Ternyata Arga telah menghianati cintanya. Satu pemikiran tiba-tiba masuk ke dalam benak Marwa. Laki-laki yang keluar dengan wajah gusar dari ruang praktek Arga semalam, pasti ayah Selina. Wajah keduanya mirip satu sama lain. Marwa menarik napas panjang beberapa kali. Berusaha menenangkan diri. Dengan tangan gemetar ia lantas kembali membuka pintu tangga darurat. Ia bermaksud kembali ke ruangannya. Sayangnya aksinya saat membuka pintu, menimbulkan suara decitan kecil. Arga dan Selina menoleh bersamaan. Mata Marwa kemudian bertemu dengan mata Arga. Tatapannya hampa dan penuh luka. "Jadi ini maksud ucapanmu kemarin soal pribahasa ; sesal kemudian tiada berguna?" tanya Marwa, lirih namun tajam. Arga terdiam. Wajahnya memucat. Mulutnya terbuka namun tidak kata ada kata-kata yang ia keluarkan. "Mulai sekarang dan seterusnya, kita tidak ada hubungan apapun lagi kecuali sebagai rekan kerja. Kita putus!" "Dan Anda Selina, ambillah dia dengan merdeka." Marwa menuju Arga dengan dagunya. "Saya tidak sudi memperebutkan laki-laki yang tidak punya harga diri. Kalian berdua cocok satu sama lain. Sama-sama tidak punya hati. " Tanpa menunggu jawaban, Marwa berbalik. Ia berjalan menjauh, menahan tangis agar tidak berteriak-teriak seperti orang gila. Marwa tidak sadar kalau ia telah menggigit bibir sekuatnya, hingga rasa amis darah terasa di mulutnya. Hari ini ia berjanji. Bahwa ia tidak pernah percaya lagi pada ketulusan cinta laki-laki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN