7. Musuh Bebuyutan.

1904 Kata
Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah—tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang. Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu. "Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti. "Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh. "Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu. "Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di d**a, menatap Arga tajam. Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia datang ke apartemen. Katanya ingin konsultasi soal magangnya di rumah sakit." "Oke, lalu?" "Lalu... dia menyatakan perasaannya pa... padaku." Suara Arga terdengar ragu karena merasa tidak nyaman. Ia terpaksa menceritakan asal muasal kedekatannya dengan Selina. "Kamu langsung menolaknya dong karena sudah punya aku. Betul tidak?" ledek Marwa sarkas. Arga terdiam. Ia tahu kalau ia berbohong, Marwa akan makin jijik padanya. Walau menahan malu, ia memutuskan untuk berkata jujur. "Aku... menerimanya saat itu. Egoku melambung karena dicintai dan dikagumi seorang gadis muda. Sampai akhirnya kami... ya... melakukan hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan." "Oke. Aku mengerti." Marwa mengangguk cepat. Ia sudah tahu inti permasalahannya. "Tapi itu hanya hubungan satu malam. Setelahnya aku tidak pernah membukakan pintu lagi setiap kali dia menyambangi apartemen. Aku juga menghindari hanya berduaan dengannya di rumah sakit." Arga berusaha meminimalisir kesalahannya. Marwa menyeringai pahit. "Jadi inti penjelasanmu: pertama, kamu tidak menolak-bahkan menikmatinya karena egomu tersanjung. Kedua, kamu baru menyesal setelah Selina minta pertanggungjawaban. Koreksi kalau aku salah." "Benar," jawab Arga, pelan dengan pipi memerah. Ia malu terlihat seperti pecundang. "Tapi aku sangat menyesal karena—" "Cukup, Ga," Marwa mengangkat tangannya. "Aku sudah memahami duduk permasalahannya. Jangan mengatakan apapun lagi yang berpotensi membuatku semakin tidak menghargaimu." Marwa tersenyum getir. "Oke. Aku sudah memberimu kesempatan untuk menjelaskan, dan aku juga sudah memutuskan: bahwa mulai hari ini, kita tidak ada hubungan apa-apa lagi kecuali masalah pekerjaan. Aku pergi, dan jangan mengikutiku lagi." Marwa melangkah pergi, meninggalkan Arga yang masih berdiri di tempat, terjebak di antara penyesalan dan kebodohan. "Seperti yang aku bilang tempo hari, Sayang. Aku akan memperjuangkanmu dengan cara apa pun... agar kamu tetap menjadi milikku," desah Arga sendu saat bayangan Marwa menghilang. Sementara itu, di balik pintu tangga yang masih terbuka sebagian, Selina berdiri terpaku. Wajahnya pucat. Ia mendengar semuanya. Ia tahu, posisinya kini berada di ambang kehancuran. Di dunia kedokteran, reputasi adalah segalanya. Hubungan tidak layak dengan dokter senior bisa menjadi bumerang besar—terlebih jika ada unsur pelanggaran etik di dalamnya. Sejurus kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Arga kembali menghampiri Selina. "Dasar perempuan licik! Kamu senang bukan melihat Marwa memutuskan saya?" Arga mencekik leher Selina geram. "Saya dulu mengira kamu tulus mencintai sata. Ternyata yang ada di kepalamu cuma uang!" Arga melepaskan cekikannya dan mendorong Selina ke sudut ruangan. Ia kini sadar telah dimanfaatkan. "Saya bukan orang seperti itu, Dokter. Saya tulus mencintai Dokter. Saya tidak tahu-menahu soal ayah saya yang memeras Dokter." Selina terisak. "Omong kosong! Kalau kamu tidak mengatakan apa-apa, dari mana ayahmu tahu kalau saya sudah menidurimu?!" "Ayah membaca chat saya malam itu dengan Dokter. Sehabis makan saya meninggalkan ponsel di atas meja. Saya tidak punya niat membahayakan posisi kita. Saya cuma... ingin meminta pertanggungjawaban Dokter. Sumpah!" Selina mengiba. "Penyesalanmu tidak ada gunanya sekarang. Kamu telah membuat nasib kita berdua berada di ujung tanduk!" Arga meninju tembok di belakang Selina, meluapkan frustrasi. "Saya peringati kamu sekali lagi: jangan mengejar-ngejar saya lagi. Atau karirmu... akan saya hancurkan. Paham?!" Arga menunjuk wajah Selina geram sebelum meninggalkan tangga darurat. Selina yang kini sendiri, menutup pintu tangga perlahan dan melanjutkan tangisnya di sana. Ia tahu, setelah hari ini, posisinya di rumah sakit tak akan pernah sama lagi. Tanpa mereka ketahui, beberapa perawat sudah berdiri cukup lama dan mendengarkan pertengkaran mereka. Maka tak butuh waktu lama, gosip tentang cinta segitiga antara dokter Marwa, dokter Arga, dan perawat Selina menjadi hot news di Rumah Sakit Mitra Bersama. Ketika Selina kembali ke nurse station, para perawat langsung menyindirnya sebagai pelakor. Selina sadar, kariernya sebagai perawat berprestasi akan hancur sebentar lagi. Seminggu setelah skandal itu mencuat, nama Arga dan Selina jadi bahan gunjingan seisi rumah sakit. Reputasi mereka hancur. Pihak direktur rumah sakit memanggil keduanya bersama Marwa, untuk dimintai keterangan. Keputusan awal: keduanya akan dikeluarkan. Dan Marwa dengan bijak membuat pernyataan yang membuat direktur dan petinggi rumah sakit lainnya tertegun. Marwa bertanya, apakah semua orang yang ada di rumah sakit ini tidak pernah melakukan dosa? Semua orang pun terdiam. Marwa kemudian mengatakan bahwa dirinya pribadi telah memaafkan Arga dan Selina. Oleh karenanya seyogyanya rumah sakit juga memberikan kesempatan kedua, dengan catatan bahwa mereka tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Terlepas dari masalah skandal, kinerja keduanya pada rumah sakit patut diacungi jempol. Demikianlah, Arga dan Selina selamat karena pembelaan dari Marwa. *** Marwa tengah membereskan meja kerjanya dengan perasaan campur aduk. Kardus besar di sampingnya mulai terisi buku-buku, bingkai foto, dan benda-benda kecil yang penuh kenangan. Hari ini adalah hari terakhirnya di Rumah Sakit Mitra Bersama. Minggu depan, ia akan mulai bertugas di Rumah Sakit Harapan Sehat, Jakarta. Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka lebar. “Surpriseee!” Dokter Hartanto, Dokter Sri, Dokter Halimah, dan Dokter Arsyad masuk sambil membawa kue berhiaskan lilin kecil. Di belakang mereka, para dokter residen dan perawat ikut berdatangan—minus Arga dan Selina. Mereka semua menyanyikan lagu perpisahan dengan wajah penuh haru. Marwa telah bertugas di rumah sakit ini sejak masa koas hingga akhirnya menjadi dokter spesialis bedah—waktu yang tidak sebentar. Marwa terdiam sejenak dengan mata berkaca-kaca. Sejurus kemudian ia ikut bernyanyi di tengah isak tangis kecil yang tak kuasa ia tahan. Suasana hangat berbalut kesedihan ini menggugah rasa sentimentalnya. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan. Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri. “Marwa...” Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru. “Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan. “Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat. “Terima kasih ya, karena pembelaanmu, aku dan Selina tidak jadi dipecat. Kamu sebenarnya tidak harus melakukan hal itu, tapi kamu tetap melakukannya.” Marwa tersenyum samar, lalu menghadap Arga. Menatap matanya lurus-lurus. “Kamu tahu kan kalau aku adalah type orang yang tidak suka omong kosong yang tidak berguna? Jadi jangan bicara omong kosong lagi." Arga terdiam. Marwa menjadi sangat sulit untuk didekati sekarang. "Kita pernah saling percaya dan saling cinta, Arga. Walau tidak berakhir indah, tapi aku tidak menyesal pernah melalui sepuluh tahun bersamamu. Terima kasih untuk semuanya.” Marwa mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Arga menarik napas dalam. Marwa benar-benar tidak mau berhubungan lagi dengannya rupanya. Harapannya pupus, namun ia tidak mau menyerah. “Kamu... membenciku, Wa?” Marwa lagi-lagi tersenyum tipis. “Tidak. Sekarang aku tidak punya rasa apa-apa lagi terhadapmu. Termasuk rasa benci.” Beberapa saat mereka terdiam. Lalu Marwa melepaskan genggaman tangannya dan masuk ke dalam mobilnya. Ia melaju perlahan, keluar dari pelataran rumah sakit tanpa menoleh lagi. Selamat tinggal semuanya. Selamat tinggal Surabaya. Terima kasih atas lima belas tahun keberadaanku di sini. *** Jakarta. Akhirnya, Marwa kembali menjejakkan kaki di kota kelahirannya. Empat jam kemudian, ia sudah berdiri di depan Gang Kenanga—tempat awal mula hidupnya dimulai... dan berakhir. Rumah kontrakan masa kecilnya kini tinggal puing-puing yang terbakar. Rumah itu menggambarkan kesuraman peristiwa lima belas tahun lalu. "Cepat sekali kamu ke sini, Wa. Eh, kamu menginap di mana?" Siska, yang sudah menunggunya bersama seorang arsitek bernama Daniel, menyambut kehadirannya antusias. "Dari bandara aku langsung ke hotel dulu. Setelah mendrop koper dan barang-barang, baru aku ke sini," kata Marwa sambil memandang puing-puing rumah masa kecilnya. "Seperti yang aku bilang waktu itu, pemilik rumah tidak membangun kembali rumah ini setelah terbakar hebat dulu," terang Siska. Marwa hanya mengangguk, matanya menyapu halaman depan yang dipenuhi puing dan ilalang. Dadanya mendadak sesak. Gambaran malam kelam itu kembali hadir di benaknya—malam saat api melahap rumah, membawa pergi ayah, abang, dan kakaknya dalam kobaran tanpa ampun. Marwa menelusuri setiap sudut yang dulu sangat ia kenal, kini hanya tinggal tanah kosong yang tidak terurus. "Ini gambar konsep rumah modern minimalis seperti yang Ibu minta. Silakan dicek, Bu. Kalau ada bagian yang ingin diubah, akan saya revisi ulang," Daniel memperlihatkan denah, elevasi, dan potongan bangunan. "Marwa!" "Astaghfirullahaladzim!" Marwa, yang sedang berdiskusi dengan Daniel, nyaris menjatuhkan kertas gambar saat seseorang memanggil namanya dengan suara keras. Haryo Suryo Hanggono! Walau lima belas tahun sudah berlalu, Marwa masih sangat mengingat suaranya. Waktu hanya menambah suara Haryo menjadi lebih dalam. Marwa pun berbalik perlahan. Tatap matanya bertemu dengan sosok lelaki dengan sorot mata tajam, yang berdiri beberapa meter darinya. Setelah saling memandang, baik Haryo maupun Marwa, keduanya sama-sama tertegun. Raut wajah Haryo masih sama saat dia masih berseragam putih abu-abu dulu. Hanya ada tambahan guratan samar di sudut mata dan garis senyumnya. Tubuhnya, yang dari dulu memang atletis, kini semakin tegap dan berisi. Otot-ototnya bersembulan di kedua lengannya. Yang paling berubah adalah air mukanya. Jikalau dulu Haryo pernah ramah padanya, kini wajahnya bengis oleh amarah dan kebencian. "Berani-beraninya kamu kembali lagi ke sini?" hardik Haryo dengan geraman marah. Ia melangkah cepat mendekati tempat Marwa berdiri. "Kenapa aku harus tidak berani?" Marwa mengedikkan bahunya cuek. Ia pura-pura tidak menyadari amarah Haryo. "Karena anak p*****r murahan sepertimu tidak pantas berada di wilayah propertiku. Pergi!" Haryo mengusir Marwa geram. Saat pertama kali bertatapan tadi, ia seperti melihat almarhumah Bu Mariana. Wajah Marwa bagai pinang dibelah dua dengan ibunya. Yang membedakannya adalah ekspresi keduanya. Air muka Bu Mariana seksi dan menggoda. Sementara Marwa, dingin dan angkuh. "Punya hak apa kamu mengusirku dari rumahku sendiri?" tanya Marwa dingin sambil memberikan gulungan kertas gambar kepada Daniel. Mendengar kata-kata Marwa, Haryo menyipitkan mata. "Rumahmu? Bukannya rumah ini milik Siska Ayuningtyas?" Haryo mengingat-ingat nama pembeli rumah yang kemarin dulu ia baca dokumennya. Ia memang tidak bertemu dengan pembelinya secara langsung. Saat itu ia sedang berada di luar kota, sehingga ia menandatangani dokumen-dokumen di kantor notaris saja. "Benar sekali. Siska adalah orangku. Karena aku sangat sibuk, maka Siskalah yang mengurus pembelian rumah ini. Ini orangnya—Siska Ayuningtyas." Marwa menunjuk Siska yang menghampiri dengan dagunya. Siska pun melambaikan tangannya canggung. Amarah yang tampak pada wajah Haryo membuat nyalinya menciut. Haryo terdiam sejenak. Otaknya dengan cepat merangkai kejadian demi kejadian hingga akhirnya rumah ini terjual pada Siska. "Kurang ajar! Kamu bersekongkol dengan Siska agar bisa memiliki rumah ini, rupanya?!" Haryo mengamuk, sementara Marwa bertepuk tangan gembira. "Pintarnya. Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi untuk menjelaskannya, bukan?" ejek Marwa sarkas. Haryo tidak menjawab. Namun bahasa tubuh dan air mukanya telah menjelaskan semuanya. Haryo marah besar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN