Minggu pagi yang cerah. Setelah turun dari taksi online, Marwa berencana singgah ke rumah Pak Rahmad dan Bu Sundari—bapak dan ibu RT-nya dulu—sebelum mengecek pembangunan rumah barunya. Ia ingin melihat keadaan keduanya yang kini pasti sudah sepuh.
Pada saat ia sendirian dan kebingungan dulu, hanya mereka berdualah yang bersedia menampungnya. Mereka pula yang mengantarkannya ke stasiun bus menuju Surabaya. Selain itu, Marwa juga ingin menyambangi Mbak Irna—satu-satunya orang yang percaya bahwa ibunya tidak berselingkuh dengan Pak Marno. Marwa tidak melupakan bagaimana Mbak Irna menyelipkan sejumlah uang padanya sebelum berangkat. Ia tidak akan pernah melupakan budi baik orang-orang yang menolongnya di masa tersulitnya.
Marwa menyusuri jalan penuh kenangan masa kecilnya yang tidak indah, namun herannya ia rindukan juga. Udara pagi membawa aroma kenangan yang membuncah di d**a. Lima belas tahun rasanya seperti kemarin.
Orang-orang yang ditemuinya di jalan memandang heran. Ada yang bisik-bisik, ada pula yang terang-terangan menatap, seakan mencari tahu siapa perempuan asing modis yang berjalan sendirian dengan kacamata hitamnya. Marwa tersenyum pahit. Dulu ia melewati jalan ini dengan penampilan anak remaja yang kurus dan lusuh. Kini, penampilannya tidak kalah dengan para sosialita muda. Ya, uang memang bisa menyulap penampilan seseorang.
Beberapa orang lagi lewat secara bergerombol. Dan lagi-lagi ia tidak mengenali wajah-wajah mereka. Sebagian besar seusianya, tapi bukan teman-teman lama. Mungkin anak-anak yang dulu masih kecil. Atau pendatang baru. Gang Kenanga telah berubah—namun, anehnya, terasa tetap sama.
Saat langkahnya sampai di depan rumah Bu Tika, Marwa tersenyum kecil. Dulu, cat rumah itu berwarna hijau pupus. Serasi dengan banyaknya tanaman hias Bu Tika. Kini, warna biru muda menghiasi dindingnya. Tanaman-tanaman Bu Tika tidak sebanyak dulu lagi. Hanya tinggal beberapa jenis yang ditanam di dalam pot besar. Pohon rambutan yang dulu baru sepinggang, kini menjulang dengan buah yang menggoda. Penampakannya berubah, tapi tetap terasa akrab.
Marwa berhenti sebentar, mengamati jendela yang dulu sering terbuka saat Bu Tika mengupas bawang sambil berghibah dengan para tetangga. Tapi hari ini, sunyi.
Marwa menghela napas dan melanjutkan langkahnya ke rumah sebelah. Rumah Bu Tutik dan Bu Nurma—duo tetangga yang tak pernah kehabisan bahan untuk bergosip. Rumah mereka masih seperti dulu, hanya pagar kayu yang kini diganti pagar besi dengan ukiran daun. Pohon mangga yang dulu sering jadi tempatnya berteduh saat panas atau hujan, kini sudah tiada. Dan rumah Bu Nurma, kini ada ayunan taman berwarna putih di halamannya, tampak mengayun pelan tertiup angin.
Marwa berdiri lama di situ. Mencari wajah-wajah yang dulu memenuhi gang dengan suara-suara ramai, komentar pedas, dan tawa khas penuh sindiran para ibu-ibu tetangga.
"Ke mana mereka semua ya? Sudah pindah? Atau... sudah ada yang pergi untuk selamanya?" gumam Marwa.
Kakinya bergerak lagi, melewati beberapa rumah, hingga sampai di sebuah tempat yang membuatnya tertegun. Rumah Mbak Irna. Dulu, rumah Mbak Irna itu kecil, sederhana, di depannya ada warung kecil dengan rak kaca penuh camilan anak-anak. Kini, warung kecil itu telah berkembang menjadi dua ruko besar berlabel “Toko Kenanga Jaya”. Empat karyawan terlihat mondar-mandir melayani pelanggan. Dan di balik etalase, tampak Mbak Irna sendiri, mengenakan blus putih dan celana panjang hitam, rambutnya disanggul rapi.
Marwa tersenyum kecil. Mbak Irna sekarang berusia akhir empat puluhan. Namun, wajahnya tidak berubah—masih cantik, anggun, dan bersahaja.
Marwa melangkah masuk ke toko perlahan. Ia kemudian ke rak camilan, berpura-pura memilih keripik padahal matanya terus mengamati Mbak Irna yang sedang melayani pelanggan. Setelah pelanggan terakhir pulang sambil mengangkat beras, Marwa bermaksud menghampirinya.
Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, dua pegawai laki-laki muda pelayan toko langsung menghampirinya.
“Selamat siang, Mbak! Cari apa ya? Bisa saya bantu?” tanya pemuda pertama.
Pemuda lainnya menyikut temannya dan berbisik, “Biar aku saja.”
“Mbak mau camilan apa? Kita punya cokelat impor, lho. Beda dengan cokelat biasa," tawarnya ramah.
Marwa tersenyum kecil, menahan geli. Ia kemudian menunjuk ke arah tumpukan beras di ujung rak.
“Saya mau membeli beras. Saya ke Ibu yang itu saja ya?" Marwa menunjuk Mbak Irna. Para pegawai pun mempersilakan.
Saat Marwa mendekat, Mbak Irna sedang membenahi karung-karung beras 5 kilogram dan 10 kilogram. Ia menoleh dan tersenyum ramah tanpa menyadari siapa pembelinya.
“Hallo, Mbak cantik. Mau membeli beras, ya? Mau beras jenis apa? Pandan wangi, rojolele, atau beras organik?” tanya Mbak Irna ramah.
Marwa menatap langsung ke mata Mbak Irna, lalu melepas kacamata hitamnya. Mata mereka pun bertemu.
Sejenak, waktu seakan berhenti.
Mbak Irna terpaku, lalu memekik gembira.
“Ya Allah... Marwa? Ini Marwa Shidqia, kan?"
Tangan Irna refleks menutup mulutnya. Ia segera memutar keluar dari balik tumpukan beras dan berlari kecil menghampiri Marwa, lalu memeluknya erat.
Irna tersedu sambil tertawa haru.
“Astaghfirullah… Ya ampun! Kamu cantik sekali sekarang! Mbak tadi mengira kalau kamu itu artis sinetron yang akan syuting di gang ini!" Irna menjauhkan Marwa dari pelukan. Ia tidak puas-puas memandang wajah Marwa.
"Saya sih langsung mengenali Mbak Irna. Mbak tidak berubah sama sekali. Tetap cantik seperti dulu."
"Kamu ini pandai sekali memuji. Mbak sudah tambah tua sekarang. Doddy saja umurnya sudah tujuh belas tahun." Irna memutar bola mata.
"Wah, Doddy yang dulu Mbak gendong-gendong, sekarang sudah berusia tujuh belas tahun? Mana Doddynya, Mbak?" tanya Marwa penasaran. Doddy masih sangat kecil saat ia meninggalkan Gang Kenanga.
"Minggu pagi begini, Doddy suka bermain bola dengan teman-temannya."
"Kamu... kamu Marwa, anak si Mariana, ya?" Saat tengah bercengkerama dengan Mbak Irna, tiba-tiba seseorang menyeletuk. Marwa menoleh ke asal suara. Bu Nurma dan Bu Tutik—duo penggosip legendaris Gang Kenanga—berdiri di depan toko. Wajah mereka kini lebih renta. Tampak helaian uban di rambut-rambut mereka, serta kerutan yang mendominasi kulit wajah. Tapi sorot mata mereka masih tajam seperti dulu, seolah mampu menguliti rahasia siapa saja hanya dengan pandangan.
"Ya ampun, bener ini Marwa!" seru Bu Nurma sambil melangkah masuk tanpa diundang. "Aku bilang juga apa, Tik. Ini pasti si Marwa. Lha wong mukanya plek ketiplek dengan si Mariana."
Bu Tutik mengangguk setuju, matanya menyapu tubuh Marwa dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Sejenak, ia tampak menimbang-nimbang, lalu bertanya dengan nada basa-basi bercampur rasa ingin tahu.
"Kok kamu balik ke sini, Wa? Di sini kan kamu sudah tidak punya siapa-siapa lagi?" tanya Bu Nurma penuh rasa ingin tahu.
Marwa tersenyum tenang. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi. "Saya ingin tinggal kembali di sini, Bu. Sebagai permulaan, saya sudah membeli rumah kontrakan lama dari Bu Ida."
Seketika, pandangan Bu Nurma dan Bu Tutik bertemu. Ada sorot kaget yang mereka coba sembunyikan, tapi gagal. Kalimat Marwa barusan menyulut rasa penasaran baru.
"Oh, kamu sekarang sudah kaya, ya?" tanya Bu Nurma, nada suaranya menggoda. "Pasti kamu sudah menikah dengan orang kaya. Makanya bisa membeli rumah."
Marwa mengangkat alis, lalu menjawab dengan nada datar namun penuh wibawa.
"Saya belum menikah, Bu. Tapi saya memang sudah kaya. Untuk menjadi kaya itu kuncinya adalah harus bekerja keras. Bukan hanya harus menikah dengan orang kaya."
"Memangnya kamu kerja apa sekarang? Jadi artis? Perasaan aku tidak pernah melihat wajahmu di TV," sindir Bu Tutik sinis. Ia sudah panas saat mendengar Marwa mampu membeli rumah lamanya.
"Selain berkarier sebagai seorang dokter, saya juga mempunyai beberapa bisnis lain di Surabaya. Makanya saya bisa membeli rumah dengan uang sendiri. Oh ya, nanti siang rencananya saya akan membeli mobil baru juga, Bu," terang Dia lagi.
"Baguslah kalau begitu. Anak LC dan pemabuk bisa juga menjadi orang sukses." Bu Tutik menyelamati namun jelas tidak tulus. Dadanya sesak oleh rasa iri. Oleh karenanya, ia dengan sengaja mengungkit-ungkit kejelekan kedua orang tua Marwa. Agar anak yatim piatu ini tidak lupa asal muasal keluarganya.
Marwa tersenyum masygul. Mulut Bu Tutik masih seperti dulu. Waktu tidak membuatnya berubah bijaksana. Baiklah. Ia akan bersikap yang sama.
"Anak Ibu, Mas Pupung dan Mbak Pipit, jadi apa sekarang? Harusnya kariernya lebih bagus dari saya dong. Soalnya Pak Darto dan Ibu kan sama-sama ASN?" sindir Marwa kalem. Mendengar sindiran Marwa, wajah Bu Tutik semakin geram.
"Mas Pupung jualan bubur kacang hijau keliling, Mbak. Kalau Mbak Pipit, baru saja bercerai dari suaminya. Sekarang tinggal bersama Bu Tutik di sini." Alih-alih Bu Tutik, pekerja Mbak Irna lah yang menjawab.
"Mulutmu seperti perempuan, ya, Anto!" Bu Tutik memelototi sang pekerja toko.
"Yuk, Nur, kita belanja di toko Haji Mahmud saja. Di sini gerah. Orang-orangnya nyinyir, suka pamer lagi!" Bu Tutik menarik tangan Bu Nurma.
"Di toko Haji Mahmud tidak bisa ngutang seperti di sini, lho, Bu. Yakin ibu-ibu mau belanja di sana?" Anto kembali menggoda Bu Tutik. Bu Tutik mendengkus dan mempercepat langkahnya.
"Duh, Marwa... acara pamer karier dan pencapaianmu tadi bisa membuat mereka tidak tidur seminggu karena iri." Melihat drama satu babak Marwa versus Bu Tutik dan Bu Nurma, Irna tertawa hingga berurai air mata. Ia puas sekali melihat duo penggosip itu tidak berkutik di hadapan Marwa.
"Orang seperti mereka sekali-sekali memang harus dilawan, Mbak. Oh ya, saya mau membeli sembako untuk Pak Rahmad dan Bu Sundari. Bisa tidak sembakonya diantar oleh anak buah Mbak ke sana? Saya juga sekalian ingin menjenguk mereka."
"Boleh dong, Wa. Pilih saja apa yang mau kamu beli. Nanti kamu sekalian ikut mobil pikap saja. Jadi, sekali jalan," usul Irna.
"Boleh juga, Mbak. Saya mau membeli beras, gula, kopi, minyak, dan mi instan." Marwa menunjuk sembako yang ingin ia beli. Bahan-bahan sembako ini digunakan sebagai tanda terima kasih awal. Karena tidak etis rasanya kalau ia langsung memberi sejumlah uang. Ia berencana akan menyelipkan amplop di dalam bahan-bahan sembako tersebut.
Demikianlah, hanya dalam sepuluh menit, Marwa telah tiba di rumah Pak Rahmad. Rumah tua itu masih berdiri dengan kokoh, meski catnya mulai pudar dimakan waktu. Saat pintu dibuka, awalnya Pak Rahmad dan Bu Sundari tidak mengenalinya. Setelah ia membuka kacamata, barulah keduanya memanggil namanya dengan sorot mata tidak percaya.
“Marwa… Astaghfirullah, Marwa…!” isak Bu Sundari sembari memeluk Marwa erat-erat. Tubuhnya yang renta gemetar menahan haru.
Pak Rahmad menyusul memeluk mereka berdua. Tangannya yang keriput menepuk punggung Marwa perlahan. “Kamu pulang juga akhirnya, Nak… Kamu pulang…”
Air mata Marwa tumpah. Pelukan itu sehangat kenangan. Pagi itu pun mereka habiskan di ruang tamu yang sederhana, di tengah secangkir teh dan sepiring pisang goreng hangat.
Meski banyak cerita menyedihkan selama lima belas tahun terakhir, Pak Rahmad dan Bu Sundari memilih menceritakan hal-hal yang indah-indah saja : tentang pohon mangga mereka yang masih terus berbuah hingga kini, tentang si Cikur—kucing kampung yang mereka adopsi untuk menemani masa tua mereka di rumah, atau tentang anak-anak kecil di Gang Kenanga yang sekarang sudah menjadi pemudi dan pemuda.
Tawa mereka terdengar membahana penuh sukacita. Pak Rahmad tidak bosan-bosannya mendengar cerita Marwa saat menempuh pendidikan sebagai dokter. Bu Sundari berulang kali menyusut air mata saat Marwa memperlihatkan sejumlah foto-foto kala melakukan tindakan pada pasien. Kehangatan ini membuat Marwa seolah-olah menemukan rumahnya kembali. Satu jam berlalu begitu cepat. Marwa pun berdiri dan berpamitan.
“Saya pamit dulu ya, Bu, Pak. Saya nanti akan sering ke sini nantinya. Saya sedang merenovasi rumah yang lama."
Bu Sundari tersenyum haru. “Alhamdulillah… Akhirnya rumah itu kembali ada penghuninya yang bawa cahaya.”
“Semoga kami nantinya bisa menjadi kebanggaan di Gang Kenanga ini." Pak Rahmad menepuk-nepuk punggungnya.
"Insyaallah, Pak, Bu."
Marwa melangkah keluar pagar dengan hati ringan, tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Baru saja berjalan beberapa langkah, Siska meneleponnya panik.
“Wa! Kamu di mana? Cepat ke sini! Bu Ida dan putrinya datang… mereka membawa warga!”
“Mau ngapain mereka?"
“Bu Ida ngamuk, Wa. Katanya penjualan rumah mau dibatalkan. Para tukang juga disuruh berhenti kerja! Warga ikut-ikutan. Aku tidak bisa menghadapi mereka sendirian!”
“Oke, aku ke sana sekarang.”
Dengan langkah tergesa, Marwa bergegas menuju lokasi. Dirinya bukan anak 15 tahun lagi yang bisa mereka takut-takuti. Akan ia hadapi mereka semuanya!