(Nadira)
Menjadi istri kedua, tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku. Apalagi dari orang yang lebih cocok jadi pamanku. Umurnya hampir dua kali umurku. Tapi aku juga tak bisa menolak permintaan terakhir Papa. Sekarang aku benar-benar sebatang kara. Karena suamiku menikahiku dengan terpaksa, mana mungkin dia menganggapku. Apalagi yang aku tahu, dia sangat mencintai istrinya. Tapi entah kenapa Mbak Anisa meminta kami untuk mengesahkan pernikahan kami di mata hukum negara. Untuk apa? Toh tidak mungkin juga kami memiliki anak. Sudah satu bulan aku tinggal di sini. Tapi sikap Mas Bayu masih dingin padaku. Sungguh berbeda dengan saat sebelum dia menikahiku. Dulu dia selalu menggodaku. Bahkan saat aku kecil, dia suka sekali menciumiku. Dia sering menginap di rumahku. Karena Papa menjadi pengganti sosok ayahnya setelah beliau meninggal.
Dua minggu yang lalu kami datang ke KUA untuk mendaftarkan pernikahan kami. Dan sekarang pernikahanku dan Mas Bayu sudah sah secara hukum.
Setiap pagi aku selalu melihat kemesraan Mas Bayu dan Mbak Anisa. Mereka benar-benar pasangan idaman. Cemburu? Aku rasa tidak. Tapi ada sedikit perasaan iri kepada mereka. Andai aku menikah dengan orang yang mencintaiku, pasti aku juga akan diperlakukan seperti Mbak Anisa.
Saat ini aku duduk di kelas tiga SMA. Baru saja aku selesai ujian. Aku akan melanjutkan kuliahku di jurusan bisnis. Agar aku dapat melanjutkan mengurus perusahaan Papa.
Hari ini Mbak Anisa pergi ke luar kota untuk dua hari katanya. Dia seorang designer. Namanya sudah cukup dikenal. Dia sering dipercaya untuk menjadi juri di ajang-ajang penghargaan, yang berurusan dengan keahliannya tentunya.
Dia sangat baik terhadapku. Dia tidak memusuhiku. Meskipun aku telah dinikahi suaminya. Justru dia seperti ibu bagiku. Karena selama ini aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Karena setelah Mama meninggal, Papa tidak mau menikah lagi. Hanya babysiter yang merawatku sampai aku kelas tiga SMP.
Mas Bayu belum kembali dari kantor. Hanya ada Bik Sumi juga suaminya yang sekaligus menjadi sopir Mas Bayu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Malam ini hujan deras. Petir bersahutan. Kilatan cahaya juga memasuki kamarku lewat kaca jendela yang sedikit terbuka bersamaan dengan suara petir itu. Jujur saja aku takut sekali pada petir. Saat Papa masih ada, aku selalu ke kamarnya dan tidur bersamanya saat mendengar suara petir. Saat ini aku hanya bisa menangis. Tiba-tiba kamarku menjadi gelap. Aku segera berlari keluar kamar. Dengan naluriku, aku mencari di mana pintu berada. Aku bisa membuka pintu. Tanpa sengaja, aku menabrak tubuh seseorang. Aku langsung memeluknya erat.
"Tolong aku ... aku takut petir ... aku takut gelap ...," ucapku di sela tangisanku. Kurasakan orang itu balas memelukku.
"Sssttttt, tenang. Ada aku di sini. Kamu tak perlu takut!"
Deg
Aku tak salah dengar, kan? Dari wangi tubuhnya dan suaranya, ini milik Mas Bayu.
"Lepas dulu ya ... aku ganti baju dulu." Ternyata dia baru saja pulang.
Aku menggeleng. "Nggak mau ... aku takut."
"Kamu nggak perlu takut."
"Pokoknya nggak mau." Selama menjadi istrinya, baru kali ini aku berani manja padanya. Bahkan merengek padanya.
Akhirnya masih dalam posisi memelukku, dia membawaku ke kamarnya kurasa. Karena aku dengar dia membuka pintu. Dia membawaku ke sana ke mari entah apa yang dia cari. Dan rupanya dia mencari lampu emergency. Karena sekarang kamar ini sedikit terang. Meskipun tak seterang lampu listrik.
"Udah ya, kamu diam di sini. Aku mandi dulu!"
"Jangan! Aku takut."
"Tapi aku gerah. Apa kamu mau ikut mandi bersamaku?!"
"Aku nggak mau ikut mandi, tapi aku juga nggak mau ditinggal."
"Ck," decaknya. Kurasa dia mulai kesal dengan sikapku.
"Terus aku harus bagaimana?"
"Ya aku nggak tau."
"Hhhh. Ok. Aku mandi, kamu diam di sini biar pintu sedikit aku buka."
Akhirnya aku menyerah. Aku mengangguk setuju.
Mas Bayu masuk ke kamar mandi. Aku memperhatikan kamar ini. Selama aku di sini, baru kali ini aku masuk ke kamar ini. Banyak sekali foto-foto Mbak Anisa dan Mas Bayu dengan pose mesranya. Membuatku iri saja.
Lama melihat-lihat isi kamar, aku tak sadar jika Mas Bayu sudah keluar dari kamar mandi. Dia hanya menggunakan bokser dan handuk kecil yang dia pakai untuk mengeringkan rambut basahnya. Memperhatikan tubuhnya yang begitu menggairahkan, membuatku berdiri dan perlahan mendekat ka arahnya. Dia mematung. Mungkin bertanya-tanya apa yang akan aku lakukan. Jujur, aku bukan anak polos. Meskipun belum pernah melakukannya, aku pernah mendengarkan cerita teman-temanku yang makeout dengan pacarnya. Mengingat cerita teman-temanku dan melihat tubuh atletis Mas Bayu, membuat sisi liarku sebagai wanita dewasa bangkit. Terlebih lagi yang ada di depanku adalah suami sahku. Yang halal untuk kami melakukan apa saja.
Berada beberapa senti di depannya, membuat tubuhku membatu. Aku menatap matanya. Dan ternyata dia juga sedang menatapku.
Embusan napasnya yang segar karena habis mandi menerpa wajahku. Hujan juga belum berhenti. Seakan mendukung kami untuk melakukan sesuatu. Karena di detik berikutnya bibir kami sudah menempel. Mas Bayu mencium bibirku. Awalnya aku ragu untuk membalasnya. Namun, Mas Bayu menggigit bibirku. Hingga akhirnya aku membalas. Masih kaku memang. Bahkan aku tidak tahu caraku membalas ciumannya benar atau salah. Karena ini adalah pertama kali untukku.
Kurasakan Mas Bayu mendorong tubuhku sampai aku terjatuh di ranjangnya. Dia menindihku. Aku juga merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana. Dia terus menciumku. Bahkan mulai mencumbuiku. Aku melenguh karenanya.
Sampai akhirnya lampu menyala. Spontan, Mas Bayu menghentikan kegiatannya. Bahkan seperti orang yang baru tersadar dari mimpinya, dia langsung turun dari tubuhku.
"Maaf. Aku hanya terbawa suasana. Kau bisa kembali ke kamarmu. Lampu juga sudah menyala," ucapnya tanpa melihat ke arahku.
Aku pun tak menjawabnya. Aku langsung keluar dari kamarnya. Dengan perasaan kecewa. Kecewa karena dia menganggap apa yang dia lakukan padaku adalah kesalahan. Padahal, aku juga istrinya.
***
Tbc.
***