Clara terbangun tepat pukul dua dini hari. Gadis itu menyadari kalau semalam, ia tidur sangat awal. Kalau sudah begitu, biasanya ia memang selalu bangun di jam-jam horor. Gadis itu, seperti biasa. Seperti kebanyakan manusia di bumi, mungkin, langsung mengecek ponselnya dan ia mendapati voice note yang ia kirim kepada Naren, sudah mendapat balasan. Rupanya Naren membalas VN Clara dengan VN lagi. Clara senang bukan main. Manusia kulkas seperti Naren, mengirim pesan suara, itu adalah hal yang amat langka.
Dengan antusias, Clara mendengar pesan suara Naren.
"Bagus. Senang mendengar kamu akan kolaborasi dengan penulis terkenal. Semoga itu akan membuka jalanmu menuju kesuksesan selanjutnya."
Dalam hati, Clara refleks mengaminkan apa yang disampaikan oleh Naren. Gadis itu senang sekali. Walaupun pesannya baru dibalas, ya, sudah dua harian, baru dibalas. Tapi, ia sangat senang. Setidaknya, Naren masih memiliki kepedulian terhadapnya. Atau memang, ia selalu peduli? Entahlah, sikap dinginnya kadang-kadang membuat Clara merasa ia tak memiliki peran apa-apa untuk Naren.
Online. Satu kata yang membuat gadis itu hampir berteriak. Naren sedang online! Clara langsung mengetik pesan balasan.
[Terima kasih untuk doanya.]
Tak lama, pesannya itu pun dibaca oleh Naren. Terlihat dari dua centang biru yang sudah tertera sebagai tanda.
Sayang, tak dibalas lagi. Clara kemudian berusaha berpikir. Ia berusaha mencari kiranya topik apa yang bisa ia lempar. Ia sangat ingin mengobrol dengan Naren. Dulu, ketika masih SMP, mereka sering membicarakan hal random yang aneh, tapi menyenangkan. Namun, lama-lama, setelah kuliah, Naren jadi tidak banyak bicara.
[Mamamu sehat?]
Ya, topik atau pertanyaan tentang Mama, tidak akan mungkin bisa ia lewatkan atau abaikan. Clara tahu, betapa berartinya sosok Mama bagi Naren.
[Sehat.]
Ya, hanya itu. Hanya satu kata saja. Clara gregetan. Ia benar-benar masih ingin berbicara dengan Naren tentang apa pun. Lalu, Clara teringat sesuatu.
Kupu-kupu di dalam kotak kaca. Ya, lagi-lagi konsep kolaborasinya dengan San kembali terpikirkan. San belum juga memposting puisi miliknya di IG. Mungkin, laki-laki itu juga belum selesai menyusun puisi tersebut. Bukannya kemarin baru dua baris?
[Naren.]
[Naaareen.]
Karena Naren sedang online, tak butuh waktu lama bagi Clara untuk mendapat balasan.
[Iya?]
Clara senang. Gadis itu pun membalas lagi.
[Naren, menurutmu, kupu-kupu itu, mahluk yang bagaimana?]
Clara berharap, Naren menjawabnya dengan kata selain kata 'indah'. Itu sudah terlalu mainstream. Kebanyakan orang, pasti akan menjawab demikian.
[Mahluk indah. Cantik.]
Clara tepuk jidat. Ya, Naren bukan penulis. Ia memang suka membaca, tapi bukan berarti ia akan menjawab berbeda. Lagipula, kenapa Clara sangat berharap jawaban Naren berbeda? Bukannya laki-laki itu juga sama. Manusia biasa.
[Kalau kupu-kupu yang terkurung di dalam kotak kaca?]
Pesan Clara yang itu hanya dibaca. Ah, mungkin pertanyaan Clara terlalu sulit.
Ya, gadis itu akhirnya sadar, kalau pertanyaan semacam itu, ditanyakan pukul dua dini hari, bisa saja membuat Naren sakit kepala.
Clara memejamkan matanya sambil tersenyum. Ia memikirkan sedang apa Naren saat itu. Apakah Naren sedang belajar? Bagi Clara, seorang laki-laki yang sibuk mengejar studinya atau sedang belajar, bekerja, apalagi kalau memakai kacamata. Bagi Clara, sangat ber-damage.
Gadis itu senyum-senyum sendiri, sampai notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Apakah Naren sudah membalas?
[Keindahan yang tidak bisa bebas? Hanya bisa dinikmati oleh seseorang yang memiliki kotak kaca itu.]
Damn!
Clara tertegun membaca balasan dari Naren. Wah, ia tak menyangka. Seorang Naren yang dingin, bisa meinterpretasikan sesuatu dengan jelas dan ya, mungkin memang itu tafsir yang dimaksudkan oleh San. Clara sendiri tidak buta-buta amat soal itu. Namun, ia hanya baru sampai pada tahap berpikir tentang keindahan yang terkurung. Mungkin, sama artinya dengan tidak bisa bebas? Ya, sama saja.
Sekali lagi, Clara membaca pesan dari Naren.
Keindahan yang tidak bisa bebas.
Hanya dinikmati oleh seseorang yang memiliki kotak kaca itu.
[Keren.]
Clara mengirimkan pesan berisi pujian. Ia sangat terkesan dengan apa yang Naren tafsirkan. Manusia kulkas itu, sangat sulit ditebak.
[Aku hanya menebak saja, hehe.]
Clara tersenyum. Ia membayangkan Naren senang karena sudah dipuji. Clara pun menutup percakapan dengan mengucapkan terima kasih lewat VN kepada Naren. Barulah setelah itu, ia memikirkan soal puisi. Sepertinya, Naren sudah memantik ide bagi seorang Clara. Karena interpretasi Narenlah, Clara jadi merasa akan lebih mudah dalam menciptakan puisi bagiannya.
Karena Clara sudah lama tidak menulis puisi, ia merasa lebih baik memakai cara yang klasik. Menuliskan kata-kata kuncinya saja, lalu setelah nanti San selesai dengan bagiannya, ia akan eksekusi dan melanjutkan.
Simpel sekali.
Oke. Kata kuncinya adalah: indah, tidak bebas, hanya dinikmati seseorang.
Akhirnya, Clara bisa tidur nyenyak. Ia matikan layar ponselnya dan bergegas kembali tidur.
***
Kupu-kupu di Dalam Kotak Kaca
Kuketuk kotak, kuketuk
Kau dengar, kau pasti dengar
Suara-suara di luar
Berisik.
Beruntunglah engkau aman
Di dalam kotak, bening
Nikmati cahaya dan segala yang ada
Meski terkurung, kau tetap rupawan.
(San, 2021)
***
Pagi-pagi, Clara panik melihat postingan di IG milik San. Laki-laki itu sudah mem-posting puisi ciptaannya, lengkap dengan gambar ilustrasi seorang laki-laki memegang kotak kaca berisi kupu-kupu yang sedang terbang.
Pada awalnya, untuk sejenak, Clara terpesona. Kata-kata yang dirangkai oleh San, cukup bagus. Gadis itu tersenyum, karena ia merasa terlalu naif. Kalau saja ia adalah seorang penyair, mungkin puisi San akan ia lanjutkan dengan estetik. Tapi, apa? Setelah momen terpesona itu, ia malah bengong, dan panik. Ia kebingungan.
Ada banyak orang yang berkomentar di postingan San tersebut. Dari mulai para penulis terkenal, para penggemar San, dan tak lupa juga, yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Haters. Resiko orang terkenal, pasti ada saja yang membenci. Termasuk San. Padahal, Clara tahu, sepanjang karirnya, San adalah tipe penulis yang tak banyak tingkah. Selalu lurus-lurus saja. Jika ada isu tak sedap mengenai dunia literasi, San selalu kalem menanggapi atau bahkan memilih bungkam.
Setelah membaca komentar-komentar tersebut, Clara jadi ciut. Terbersit di pikirannya, apakah sebaiknya ia menyerah saja? Bilang kepada San, kalau ia tak bisa melanjutkan puisinya?
Tapi, wait! Clara baru sadar. Ia di-tag di postingan tersebut. Beberapa komentar pun terlihat menyorot dirinya. Terselip salah satu komentar milik Arga juga.
[Aku sangat menantikan puisi balasan dari Clif.]
"Ya ampun, Arga. Kenapa kamu malah berkomentar seperti itu?" Clara bergumam sendiri. Ia langsung membenamkan kepalanya ke bawah bantal. Sungguh, pagi itu adalah pagi paling campur aduk bagi Clara.
Sebuah telepon masuk. Dari San.
"Halo," ucap Clara dengan nada meringis.
"Iya, Clif. Kamu oke? Aku sudah kirimkan ilustrasi yang bisa kamu gunakan. Timku yang membuatnya. Silakan dicek, ya."
"Iya, nanti aku cek."
"Kenapa dengan suaramu?"
Clara tak mau menyembunyikan keresahannya. Seperti kata orang bijak, menyembunyikan penyakit berarti maut.
"Aku tidak bisa membuat puisi balasan untukmu," keluh Clara.
"Tenang, kamu sudah baca postinganku?"
"Iya. Aku sudah baca semuanya. Postinganmu, dan bahkan semua komentar yang ada di sana. Aku membaca semuanya. Dan itu membuatku tidak percaya diri."
"Ya ampun, Clif. Aku tidak menyuruhmu membaca komentar. Fokus saja pada rencana kita."
Clara menarik napas panjang, tidak tahu harus menanggapi apa lagi.
"Tulis saja."
"Apa?"
"Semua yang ada di pikiranmu. Baca ulang puisiku dan kamu bisa mendapat gambaran. Kalau perlu, sambil kamu pandangi gambar ilustrasi yang aku kirimkan. Mungkin, dengan begitu, kamu akan lebih menjiwai."
"Oke."
Clara menutup sambungan telepon dari San. Ia mulai memikirkan cara untuk tidak berpikiran negatif. Gadis itu beranjak ke toilet, cuci muka, menggosok gigi. Lalu, menatap dirinya sendiri di depan cermin.
"Oke! Clif, kamu bisa!"
Setelah teriakan itu, Clara segera menghadap laptop dan mulai menulis.
***
Kupu-kupu di Dalam Kotak Kaca
Aku dengar kau mengetuk
Dari dalam, aku melihat ke luar
Penasaran
Ada apa di sana.
Aku tahu kau jaga aku
Entah dari apa saja, aku tak tahu
Di sini memang aman
Terlalu aman, bahkan.
Aku bernapas, tapi seperti tak bernapas
Hidup, tapi seperti tak hidup
Aku tahu kau jaga aku
Entah dari apa saja, aku tak tahu
(Clif, 2021)
***