Pertanyaan-Pertanyaan Tanpa Jawaban

1100 Kata
Ibunya Clara seperti menghindari pembicaraan yang akan mengarah kepada air mata selanjutnya. Sejujurnya, ia juga tidak kuat jika harus berhadapan dengan Clara, dengan bersikap seolah tak ada apa-apa. Semua yang pernah ia lakukan dan katakan kepada putrinya itu, di masa lalu, masih begitu membekas. Ya, ibunya Clara juga bukan dengan sengaja ingin menyakiti Clara. Keadaan dan kondisi dirinya yang kacau, yang membuatnya menyakiti Clara. Ibunya juga berusaha keras untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak menemui Clara, itu adalah salah satu upaya yang ia yakini mampu membuat hubungannya dengan Clara akan bisa membaik suatu hari nanti. Selanjutnya, perempuan itu malah bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. San, entah kenapa seperti tahu bahwa ia harus menyingkir sebentar. San memahami ada beberapa situasi di mana ia tidak boleh terlalu tampil atau terlihat di antara keluarga Clara. Ada batasan yang sangat ia mengerti. Laki-laki itu bersikap pura-pura menerima telepon dan pamit sebentar kepada Clara. "Maaf, aku ada telepon penting, Clif. Aku harus keluar sebentar." Clara sebenarnya tak ingin San pergi dari sampingnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Mana mungkin ia lancang. Karin datang menghampiri Clara. Masih jelas, kecanggungan itu begitu terasa. Memenuhi setiap sudut, memenuhi udara, bahkan masuk ke napas mereka masing-masing. "Kak, kenapa baru ke sini sekarang?" tanya Karin sebanyak ragu. "Maaf." Hanya itu, tapi Clara lagi-lagi kesulitan mencegah air matanya. Karin menggenggam tangan Clara. "Aku juga, aku minta maaf." Clara mengangguk, tersenyum dalam tangisnya. Sementara itu, ibunya di dapur. Berusaha menahan sesak. Bagaimanapun, meskipun masih ada tersisa benci itu, karena tahun-tahun lalu, perempuan itu merasa Clara, sebagai anak sulung, tak mau berkorban untuk dirinya dan Karin, tapi tetap saja. Ia merasa ia bukanlah ibu yang baik. Ia tak bisa memberikan kehidupan dan layak bagi kedua putrinya. Mungkin, karena itulah mereka tak bisa memberiku kehidupan yang baik juga, ucap ibunya di dalam hati. Ibunya Clara mulai menyalahkan dirinya sendiri. Hanya, ia merasa itu bukan yang tepat untuk menangis dan mengutuk siapa pun. Ia segera memaksakan diri untuk mengambil beberapa piring dan menuangkan nasi goreng dari ketel. Ibunya Clara tahu kalau San adalah salah satu penulis terpandang. Namun, apa pun yang terdengar "penulis" belum betul-betul bisa ia terima. Entah. Padahal, ia juga tahu kalau Clara sudah mati-matian berjuang menghidupi dirinya dan Karin. Menjadi penulis, tidak akan menjamin kebahagiaan dan kelayakan hidup. Tidak. Itu masih menjadi keyakinannya. Terlepas dari itu semua, sebenarnya, yang paling ia khawatirkan adalah Clara akan berakhir memiliki kehidupan yang buruk. Itu. Ibunya kembali dan melihat Karin, Clara, dan San saling bicara. Mengobrol, layaknya teman lama. Ibunya itu sedikit terkejut, tapi kenyataan tersebut berhasil membuat bibirnya melengkungkan senyum. "Silakan, nasi gorengnya." "Wah, ini pasti enak," ucap San bersemangat. Laki-laki itu, mendobrak canggung dan memulai suapan pertama. Reaksi setelah mencicipi yang San tunjukkan di depan semua orang membuat semuanya tergelak. San kembali menunjukkan sisi lain dari dirinya. Lagi-lagi, karena Clara. Mereka kemudian saling berbicara. Sambil menikmati nasi goreng buatan ibunya Clara, Dan bercerita banyak hal. Sesekali ia membuat lelucon atau membicarakan bagaimana kebiasaan konyol Clara. Ibunya terhanyut, ia pun sesekali menanggapi, mengiakan atau menyangkal tentang segala sesuatu yang San ceritakan soal putrinya. Tembok es bertahun-tahun itu mulai mencair. Dan San mengambil peran yang cukup besar untuk hal itu. Di tengah riuh obrolan mereka, Clara menatap dinding rumahnya. Tak ada yang berubah. Kursi ruang tamu, semuanya, tak ada yang benar-benar berubah. Gadis itu seolah ditarik ke masa lalu. Masa saat ayahnya masih hidup dan berkumpul bersama mereka. Seharusnya, meskipun salah satu dari mereka telah tiada, pergi untuk selama-lamanya, kehangatan di keluarga mereka tak boleh pergi juga. Harus tetap ada. Clara yakin, di suatu tempat, entah di mana, ayahnya memerhatikan mereka dan merasa bahagia melihat kenyataan yang baru saja terjadi. *** "Apa kita akan terlambat?" tanya Clara menatap jam di ponselnya. Keduanya buru-buru masuk ke dalam mobil. Yang ditanya, tak menjawab. Seperti tengah berpikir keras akan sesuatu. San baru saja mendapat kabar yang kurang menyenangkan. Entah apa itu. Ia tak bisa berhenti menatap ponselnya. "San?" tanya Clara lagi, saat mereka sudah sama-sama masuk ke dalam mobil. "Ah, iya. Maaf, Clif. Aku rasa, kita harus agak ngebut. Aku ada urusan penting." Raut wajah San terlihat berubah. Tak seperti saat di dalam rumah tadi. Ia tampak serius. "Ada apa?" tanya Clara, pelan. San tersenyum. "Bukan apa-apa. Aku hanya harus segera menyelesaikan sesuatu," ucap San yang segera menancap gas mobil. Mobil melaju tak sesantai biasanya. Agak cepat. Suasana jadi tak terlalu menyenangkan, sebab tak ada suara musik, dan San benar-benar seperti tengan berpikir keras. Sesekali, ia menengok ke arah ponselnya yang sengaja ia taruh di dashboard. Clara tak mau bertanya lagi. Ia terlalu takut dan tak ingin mencampuri urusan San lebih jauh. Clara hanya berusaha percaya dengan apa yang San katakan, bahwa memang tidak ada apa-apa. Bahwa memang San hanya harus segera menyelesaikan sesuatu. Clara yakin, itu amat penting dan menyangkut pekerjaannya. *** Di kantor, tampak sepi. Beberapa petinggi, alias orang-orang yang memliki jabatan penting di perusahaan, kata Sonia, sedang ada pertemuan. Hanya tersisa pegawai-pegawai yang memang bertugas untuk menulis atau yang sehari-harinya berkutat di depan laptop dan berkas-berkas saja. "Sepertinya, tak cukup sekali atau dua kali pertemuan. Ya, mungkin ada hal gawat yang benar-benar yang sedang terjadi." Clara sebenarnya tak ingin mendengar kemungkinan demi kemungkinan buruk yang sedang Sonia sampaikan. Ia ingin sekali memulai hari dengan pikiran-pikiran positif yang jernih, seperti yang San katakan sebelumnya. Ia sedang mengusahakan itu. "Clif, kamu jangan pura-pura tidak tahu. Pasti kamu juga merasakannya ya, kan? Suasana kantor sedang tidak baik-baik saja. Sedang tidak seperti biasanya." Clara mengangguk. "Ya, memang. Tapi kamu kan, bilang padaku kemarin-kemarin. Kamu bilang, kalau hal semacam ini pernah terjadi juga beberapa tahun lalu. Dan nyatanya, Kristo Wijaya dan perusahaannya baik-baik saja, bukan? Sampai hari ini? Jadi ya, kita tunggu saja dan berdoa semoga memang apa pun masalah yang kantor kita sedang hadapi, Pak Kristo Wijaya hadapi, dapat segera diselesaikan dengan baik. Kita tunggu saja." Sonia tampak menampilkan senyum yang sedikit mengejek. "Haha. Ah, kamu belum belajar juga ya, Clif. Kamu belum berubah. Sudah kubilang, kan. Jangan terlalu polos. Bersikaplah waspada. Kupikir, kamu akan belajar dengan cepat." "Aku hanya berusaha berpikir positif, Sonia. Aku tidak ingin membebani pikiranku dengan hal-hal buruk yang setelah dipikir-pikir, bukan urusanku juga. Betul? Ini bukan urusan kita. Ini urusan atasan-atasan kita. Kita hanya harus membantu mereka dengan doa dan kinerja kita yang baik. Ya, kupikir itu yang paling penting." "Ya, baiklah. Terserah saja. Aku hanya sedang mencoba mengingatkan. Oh iya. Aku ingin memberimu nasihat juga." Sonia mengatakan itu dengan setengah berbisik. "Apa itu?" tanya Clara, tak kalah pelan. "Jangan terlalu dekat dengan yang namanya San itu." Sonia pun berlalu, tanpa memberi kesempatan bagi Clara untuk berbicara lebih lanjut. Memangnya kenapa kalau dekat-dekat dengan San?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN