Kecurigaan

1144 Kata
Setelah hari itu, hari di mana San dan Clara berkunjung ke rumah ibunya Clara, hubungan antara Clara, ibunya, dan adiknya, semakin hari semakin baik. Karin sudah mulai mengirim Clara pesan untuk menanyakan beberapa hal tentang tugas kuliahnya. Ya, adiknya itu bilang, ia tengah melakukan sebuah riset. Lalu, ibunya, ibunya juga berkunjung ke rumah Clara sesekali. Saat pertama kali, setelah sekian lama, ibunya kembali berkunjung ke rumah Clara, gadis itu merasa canggung dan bingung. Ia takut melakukan kesalahan, tapi ibunya bersikap biasa saja, seakan mengerti dengan kecanggungan yang Clara rasakan dan ibunya pun menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar. Clara tak seharusnya merasa terus bersalah. Begitu pula ibunya. Tak boleh terus-menerus merasa bersalah juga. "Ini, ibu bawakan makanan," ucap ibunya di suatu pagi, pagi di Minggu keempat bulan Oktober. "Terima kasih, Bu." Clara memandang takjub bungkusan yang diberikan ibunya. Seolah-olah, ia sedang menerima sesuatu yang sangat berharga. Dan memang menurutnya, itu sangat berharga. Kalau saja itu bukan makanan, mungkin Clara akan memajangnya di kamar. "Jangan makan di luar terus," ucap ibunya lagi. "Iya, Bu." Saat Clara hendak memindahkan makanan ke atas piring, ibunya beranjak dan mengambil sapu. "Tidak usah, Bu. Biar aku saja," ucap Clara berusaha menahan ibunya. "Sudah, biar ibu saja. Kamu makanlah." Clara terdiam sesaat sebelum melanjutkan. Ibunya belum berubah. Satu kebiasaan yang tak pernah berubah itu, adalah ibunya suka beres-beres. Perempuan itu seperti tak pernah tahan melihat sebuah ruangan berantakan atau kotor. "Enak sekali nasi goreng buatan Ibu," ucap Clara. "Ya, memang. Itu kan, kesukaan kamu dan ibu jago masak dari dulu." Ibunya menyombong sambil masih membetulkan letak-letak barang di sekitar mereka. "Ibu, duduk. Makan saja denganku. Biarkan barang-barang itu." "Tidak perlu. Ibu sudah makan. Ibu akan bereskan sebelum kamu ke kantor." "Tidak, Ibu. Duduk saja." "Makanlah. Nanti kamu terlambat." Clara tak berani membantah lagi. Ia meneruskan kegiatan makannya. Sesekali, ada notifikasi muncul dari ponselnya. Dari Sonia dan dari grup BBA. [Kamu sedang apa, Clif? Kamu tidak penasaran, apa yang mungkin sedang terjadi di kantor? Sepertinya, kasusnya semakin parah.] -Sonia Clara menghela napas. Masih pagi sekali, dan Sonia sudah mengajaknya memikirkan hal-hal berat. Beberapa hari sudah berlalu, tapi suasana kantor seolah betul-betul belum pulih, belum kembali seperti sedia kala. Bahkan Sonia bilang, ia merasa lebih sering diawasi. Pokoknya, semua orang di kantor, seperti sedang mengawasi semua pegawai. Begitu kata Sonia. "San itu, cukup baik, ya?" tanya ibunya tiba-tiba. "Hmm? Ya, dia baik, Bu." Clara agak malu membicarakan San di depan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Ia merasa San memang layak dibicarakan. "Bagus. Dia penulis juga, kan?" "Iya, Bu. Dia penulis juga." Clara bertanya-tanya. Apakah pandangannya terhadap seorang penulis masih sama seperti dulu? Apakah di mata ibunya, kehidupan seorang penulis masih tak bisa terjamin? Pertanyaan-pertanyaan itu, terus saja bolak-balik di dalam kepala Clara. Mengambil alih ketakutannya terhadap apa yang mungkin sedang terjadi di kantornya. "Dia laki-laki yang ramah dan baik juga." Clara mengangguk lagi. "Iya, Bu. Dia juga lucu." "Sepertinya, dia juga terkenal." "Iya, Bu. Dia terkenal." Clara terus tersenyum. Mendengar ibunya tak henti memuji seorang San. Ternyata, ibunya itu sama seperti dirinya. Selalu terpesona akan penampilan dan perilaku San. Sekali lagi, bagi Clara, San memang selalu jadi sosok yang sempurna. "Adikmu juga suka kepada San itu." "Karin? Baguslah." "Ibu harap, kamu benar-benar menemukan orang yang tepat, Clara." Ada nada yang begitu tulus dari kalimat berisi harapan yang ibunya sampaikan kepada Clara. Gadis itu kembali mengangguk. Ia terharu dan hampir saja menitikkan air mata. Sebuah pesan muncul dari San. Laki-laki itu bilang, ia sedang tidak bisa menjemputnya. Clara pun mengatakan bahwa San tidak perlu khawatir. Ia bisa naik bus seperti biasanya. Seperti saat San sedang ke luar kota dulu. "Clara, belilah makanan dan pakaian yang kamu suka. Jangan berikan uangmu terus kepada ibu atau Karin," ucap ibunya lagi. "Tak apa, Bu. Aku juga sering membeli apa yang aku mau. Ibu dan Karin juga harus beli apa yang kalian mau dan butuhkan." Ibunya masih terus beres-beres. Clara tak juga bisa melarangnya. Ketika menatap jam di ponselnya, Clara segera bersiap untuk berangkat ke kantor. Ibunya bilang, ia akan membereskan rumah Clara dulu, barulah pulang. Gadis itu pun menyerahkan kunci rumah dan berangkat ke kantor dengan riang. Meskipun tanpa San. *** Clara menunggu bus sambil mendengarkan sebuah lagu yang beberapa hari terakhir selalu ia putar di playlist favoritnya. Gadis itu hendak mengirim lagu itu kepada Naren, seperti kebiasaannya sebelumnya. Namun, tak jadi. Ia terlalu bingung untuk memulai sebuah percakapan. Sekali lagi, Clara merasa jauh dengan laki-laki itu. Seperti kembali ada jarak yang cukup membentang. Clara memang tak pernah berhenti berusaha berpikir dan berusaha menganggap kalau Naren bisa dijadikan teman. Karena toh, sebelumnya pun, mereka adalah teman. Tidak ada hubungan yang lain. Hadirnya San, secara tidak langsung membuat Clara menjaga jarak dengan Naren. Padahal, seharusnya tak begitu. Kalau saja memang Clara tak memiliki perasaan apa-apa kepada Naren, seharusnya gadis itu bisa bersikap baik-baik saja. Masalahnya, perasaannya kepada Naren, memang masih ada. Ah, ia tidak tahu harus bagaimana soal itu. Bus yang muncul kemudian membuat lamunan tidak jelas Clara terhenti. Gadis itu masuk dan duduk di dalam bus, lalu kembali melanjutkan lamunan tidak jelasnya. Lagi. Sampai bus benar-benar sampai dan Clara dengan langkahnya yang lebih ringan masuk ke dalam kantor. Kantornya yang masih bersuasana agak kacau. "Clif, sepertinya, kita harus mulai terbiasa dengan suasana kantor yang seperti ini," ucap Sonia. Lagi-lagi, ia berlagak seperti mengetahui semuanya. Clara yang mendengar itu, sebenarnya tak ingin berlama-lama terus mengobrol. Namun, Sonia menahannya. "Kamu mau pergi ke mana, Clif? Ini demi kebaikanmu. Dengarkan aku." "Tapi banyak CCTV di sini. Bukannya kamu yang sering bilang, kalau kita jangan banyak bicara aneh-aneh di kantor? Lebih baik, kalau kita mau bicara soal apa pun, di luar saja?" Sonia tersenyum. "Bagus. Kamu sudah lebih pintar rupanya, Clif." Clara tersenyum. Pintar apanya? Ia tidak bermaksud apa-apa. Gadis itu hanya tak ingin pikirannya sesak dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. "Apa lebih baik kita segera masuk ruangan dan mulai bekerja? Memerhatikan orang lain, rasanya bukan pekerjaan yang menyenangkan. Apalagi menerka-nerka. Itu bukan hal yang bagus." Sonia tergelak. "Eh, kupikir kamu sudah belajar, Clara. Ternyata belum sama sekali. Hei, kamu harus tahu, gadis manis. Memiliki kewaspadaan itu adalah sebuah keharusan. Jangan sampai kita, yang bukan pegawai kelas atas di kantor ini, nantinya diinjak-injak. Maka dari itu, kita harus terus bisa memahami setiap situasi yang ada. Ingat, Clif. Aku ini sudah bekerja di sini lebih lama darimu." Ya, benar. Untuk urusan waspada dan lebih lama bekerja dari Clara, itu adalah dua hal yang tak bisa disangkal. Namun, Clara tak ingin itu jadi berlebihan. Apalagi, ia adalah sosok pemikir yang hampir selalu saja memikirkan segala sesuatu dengan berlebihan. Sonia kemudian pergi begitu saja. Clara juga akhirnya hendak masuk ke dalam ruangannya. Ketika itu, ia baru menyadari sesuatu. Gadis itu seperti melihat sosok Tora dari dinding kaca yang mengarah ke luar kantor. Namun saat ia melihat sekali lagi, sosok yang ia kira adalah Tora itu, tak ada di sana. Atau mungkin, sudah tak ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN