Dua Kepala

1114 Kata
"Apa masih bisa menghubungi Tora?" tanya San, sedikit geram. Ada kilatan yang tak bisa dijelaskan, yang terpancar di mata San. "Dia sudah terbang ke Amerika. Mungkin sudah sampai, atau sebentar lagi sampai. Tapi untuk menghubunginya, agak sulit. Kita mungkin hanya bisa menghubungi seseorang yang mengawasinya dari jauh. Ponselnya kan ada di kita. Aku tidak mengembalikan ponselnya." San memijit kepalanya. Pusing. "Hanya kekasihmu, satu-satunya kunci yang harus dibuka. Dia mungkin menyembunyikan sesuatu yang tidak kita ketahui. Kubilang kan, tadi. Tanya saja, tapi pelan-pelan. Kalau dia memang benar-benar kekasihmu, ya, pasti dia akan mengatakannya dengan mudah. Tidak akan ada yang dia sembunyikan." San mengangguk. "Ya. Sore ini, aku akan bertemu dengannya. Tapi, aku merasa tidak tenang sekarang." "Kalau begitu, kamu mau berbicara dengannya sekarang? Itu tidak mungkin. Dia sedang bekerja, bukan?" San mengangguk lagi. Ia tak menyangka akan seperti ini jadinya. Seperti ada celah yang sudah ia lewatkan. "Kupikir, semuanya akan aman-aman saja. Tora. Dia benar-benar. Dia membuatku pusing kepala." "Sepertinya, kita sudah meremehkannya. Dan salah kita, karena sudah meremehkannya." Ucapan Romi membuat kepala San bertambah pusing saja. *** Clara memasuki kantor dengan senyum yang cukup cerah. Ia optimis dapat menaklukan harinya dengan baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Ia merasa tetap harus beraktivitas seperti biasanya. "Halo, Clif." Rupanya, Sonia juga baru datang. Mereka berpapasan di jalan menuju ruangan masing-masing. Sonia jadi sering menyapa beberapa terakhir. Mereka jadi akrab setelah Tora tidak lagi di perusahaan. Entah memang ia tulus, atau karena memang tak ada teman yang bisa ia ajak bicara." "Hai, Sonia." "Sepertinya, hari ini akan cerah. Aku seperti melihat matahari pindah ke wajahmu itu." Clara tertawa. "Carilah pacar dan katakan itu kepada pacarmu." "Heh, tidak semudah itu. Untuk apa aku mencari pacar, jika aku merasa baik-baik saja hidup sendirian. Akan lebih bebas dan nyaman saja kalau hidup sendirian." "Ya, tapi tetap saja. Manusia tidak bisa begitu selamanya. Cari saja seseorang untuk dijadikan pacar. Ya?" Wajah Sonia berubah jadi agak masam. "Ya, aku akan cari pacar. Dasar." "Oh iya. Kamu tahu Pak Edo?" tanya Clara. "Ya, tahu." "Aku berpapasan dengannya kemarin dan aku melihat, ia tampak gelisah. Apakah sedang ada masalah? Kupikir, masalah yang terjadi di antara para petinggi kantor kita sudah selesai. Apa masih terjadi?" "Entah. Tapi, Pak Edo memang tidak bekerja lagi." "Hah?" Clara terkejut. Tidak bekerja lagi? "Loh, kamu ini. Kemarin, itu adalah hari terakhirnya bekerja." "Bagaimana mungkin?" "Mungkin saja. Di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin. Semua bisa saja terjadi tanpa bisa kita duga dan bahkan, ada banyak rencana yang gagal tanpa bisa kita cegah. Kematian saja kadang datang dengan mengejutkan. Apalagi kabar pemecatan. Bisa datang tiba-tiba juga." "Tapi, apa sebabnya?" Sonia mengangkat bahu. "Tidak tahu. Mungkin, dia juga melakukan kesalahan. Sama seperti Tora." Mendengar nama Tora, pikiran Clara jadi melayang-layang ke berbagai dugaan yang sempat terbersit di dalam kepalanya. Apakah Pak Edo merupakan ancaman bagi Kristo Wijaya? "Sudah, ayo masuk." Sonia berlalu meninggalkan Clara yang langkahnya perlahan jadi lebih pelan. Apa benar yang dikatakan oleh Tora? Apa semua itu ada hubungannya dengan selembar kertas yang mungkin sengaja Tora tinggalkan di ruang tamu Clara? Gadis itu kembali ingat semuanya. Dan perihal Pak Edo, itu membuat pikirannya kembali jadi runyam. Apa kesalahan Pak Edo? Clara masuk ke dalam ruangannya dan melihat-lihat beberapa pekerjaan yang harus segera ia selesaikan. Meskipun lagi-lagi Clara kesulitan fokus, tapi ia berusaha profesional. Karena berhentinya Pak Edo dari perusahaan, Clara jadi semakin yakin untuk terus terang kepada San tentang semuanya. Ya, Clara sudah bertekad. *** Tibalah sore yang ditunggu-tunggu oleh keduanya. San dan Clara. San bahkan sudah menunggu di gerbang kantor, setengah jam sebelum jam kantor berakhir. Laki-laki itu sebenarnya sudah sangat tidak sabar untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Tora dan kekasihnya itu. San berharap, bahwa memang tak ada apa-apa. Kalau ada, itu tentu akan sangat mengecewakannya. Clara yang keluar dari ruangan, cukup terkejut melihat San yang sedang menunggu di luar. Gadis itu perlahan memperhatikan gerak-gerik San sebelum benar-benar menghampirinya. San terlihat tidak seperti biasanya. Seperti tengah gelisah. "Hai," sapa Clara mencoba membangun suasana yang santai di antara mereka. "Hai juga. Bagaimana harimu?" Pertanyaan basa-basi itu terdengar aneh di telinga Clara. Gadis itu paham, bukan pertanyaan itu yang sebenarnya ingin San lontarkan. "Baik. Kamu?" Clara balik bertanya. Dan itu juga adalah pertanyaan yang sama basinya. "Tidak begitu baik. Ada yang ingin kusampaikan." "Aku juga. Tadi pagi, aku kan sudah bilang kalau aku punya sesuatu untuk disampaikan." "Ya, sekarang, aku juga punya." Keduanya masuk ke dalam mobil. "Kita akan makan di tempat yang aku pilih, ya." Clara mengangguk. "Oke. Pilihanmu tak pernah salah. Pasti tempatnya bagus. Aku ikut saja." Mobil melaju dengan kecepatan yang lumayan. Tidak seperti biasanya. San rupa-rupanya memang ingin cepat sampai. Ia ingin sekali menanyakan soal Tora, tapi ditahan. Ia takut terbawa emosi saat berkendara. Itu akan jadi buruk nantinya. Ia tak mau mati konyol. Selama di perjalanan itu pun, tak ada pembicaraan yang cukup berarti. Sesekali, Clara kadang memancing San dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi, demi membuat suasana menjadi nyaman, tapi tanggapan San hanya seputar iya atau tidak, atau tertawa. Hanya itu saja. Clara jadi semakin tegang. Apalagi, apa yang hendak Clara sampaikan kepada San, bukanlah sesuatu yang ringan. Gadis itu sudah membayangkan beberapa perdebatan yang akan mengacu ke sana. Bukankah, ia sama saja dengan menyembunyikan kebenaran? Ah, ya ampun. Sakit kepalanya kembali menyerang. Sama halnya dengan San. Kepalanya seolah akan meledak ketika memikirkan dan menebak jawaban apa yang akan Clara ucapkan ketika ditanya soal pertemuannya dengan Tora. Bagaimana kalau mereka benar-benar bertemu setelah di kedai itu? Apa yang mereka bicarakan? Apakah sesuatu yang sangat penting? Apakah salah satunya adalah tentang dirinya? San penasaran dan ingin segera tahu. Mobil berhenti di salah satu resto yang cukup sederhana. Clara turun lebih dulu, disusul oleh San. Kemudian, mereka sama-sama masuk ke dalam resto tersebut. "Pesan apa?" tanya San. "Apa, ya. Apa saja." San pun memesankan dua porsi makanan dan minuman yang sama. Agar tidak terlalu ribet dan lama. "Oke. Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Clara. "Kamu dulu. Apa yang mau kamu sampaikan?" "Ah, itu. Sebaiknya kamu dulu." San tertawa. "Baiklah kalau memang kamu ingin mengalah. Tapi, apa sebaiknya kita makan dulu?" Pertanyaan San lebih ke menunjukkan kalau memang apa yang akan disampaikan laki-laki itu adalah sesuatu yang berat. "Emh, baiklah. Kalau begitu kita makan dulu. Setelahnya, barulah kita bicarakan sama-sama apa yang masing-masing ingin disampaikan." "Iya, begitu. Aku setuju." Walapun San tidak sabar, tapi ia cukup mampu menahan diri dan tetap bersikap elegan. Ia tak tega jika nantinya, harus adu argumen ketika perut Clara dalam keadaan kosong. Pelayan mengantarkan pesanan dengan cepat. Clara sibuk dengan pikirannya. Nasi yang masuk ke dalam mulutnya, minuman yang masuk ke kerongkongannya, ia tak terlalu peduli dengan rasanya. Semuanya seolah datar-datar saja. Karena memang ia ingin secepatnya menyampaikan semuanya. Secepatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN