Kepercayaan

1014 Kata
"Oke. Sekarang, kita sudah makan. Siapa yang akan lebih dulu menyampaikan apa yang ingin disampaikan?" tanya Clara. San tersenyum, berusaha tenang . "Mau kamu dulu?" Clara menggeleng. "Kamu saja lebih dulu." San merasa tak punya waktu untuk bermain atau bercanda dengan saling lempar seperti itu bersama Clara. "Oke. Aku akan lebih dulu. Ingat, aku masih punya jatah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur di game yang waktu itu?" Clara mengangguk. "Ya, kamu masih punya." "Jawab jujur. Setelah dari kedai, apa kamu dan Tora bertemu lagi?" Deg. Clara terdiam, terpaku melihat betapa seriusnya San bertanya soal itu. Apa yang terjadi? Apakah San mencurigainya? Ah, tak apa. Lagipula, ia memang akan mengatakan hal yang serupa. "Ya, aku memang bertemu dengannya setelah di kedai itu. Dan ini yang akan kusampaikan kepadamu. Jujur, ini yang sedari tadi ingin kukatakan." San tertawa kecil mendengar pernyataan Clara. "Clif, seharusnya kamu jujur sejak awal." Clara terkejut dengan tanggapan San yang seolah-olah meletakkan dirinya sebagai seseorang yang sangat salah. "Maaf. Tapi, aku hanya tidak ingin kamu salah paham." "Pikirmu, kesalahanmu itu adalah kesalahan kecil? Tidak, Clif. Kamu salah besar! Seharusnya kamu katakan itu dari awal!" San sedikit berteriak dan itu membuat Clara jadi sedikit takut. Clara tak terima disalahkan demikian. Ia pun membalas perkataan San. "Memangnya, kalau aku katakan dari awal, bagaimana? Bukankah, Tora sudah dipenjara? Apa bedanya? Dikatakan atau tidak dikatakan, Tora tetap bersalah, bukan?" "Ya. Tapi, ah sudahlah. Kamu sudah salah, Clif. Itu yang aku sesalkan. Kenapa kamu tidak jujur soal Tora? Kamu ingin melindunginya?" "Aku juga manusia, San. Aku punya perasaan dan melihat Tora saat itu, aku iba. Aku kasihan. Dia juga pernah berjuang mati-matian. Tapi harapannya dipatahkan." "Apanya yang dipatahkan? Kamu sudah termakan omongannya, Clif. Kamu sudah terjebak. Dia selalu begitu. Selalu bersikap seolah-olah dia adalah orang paling menderita di dunia. Itu sudah jadi keahliannya dan kamu, kamu malah percaya!" San berusaha menenangkan diri, meskipun sulit. Ia meminum segelas air putih dalam sekejap dan meminta pelayan menuangkannya lagi. "Kita di tempat umum," ucap Clara pelan. San langsung melihat ke sekitar. "Tidak apa-apa. Di sini sepi. Aku sengaja memilih tempat duduk ini. Aku sudah memiliki firasat, bahwa kita akan berdebat." Ada jeda sebentar di antara mereka. "Biar kujelaskan, San. Apa yang aku dan Tora bicarakan." "Apa?" "Banyak sekali. Kami berbicara banyak hal. Tentang persahabatanmu dengannya dan tentang siapa sebenarnya dirimu. Serta siapa sebenarnya Kristo Wijaya." "Apa maksudmu?" "Kamu tadi tanya, kenapa aku tidak jujur sejak awal? Jawabannya adalah karena aku takut. Aku takut semua yang Tora katakan itu benar." "Tidak sama sekali. Tidak ada yang benar dari ucapannya. Kamu sudah termakan semua omongannya, Clif. Kamu sudah termakan. Itu yang terjadi." "Bagaimana dengan kenyataan bahwa kamu juga bekerja di bawah Kristo Wijaya? Bagaimana? Apa itu juga kebohongan?" San terlihat terkejut, tapi ia berusaha tenang. Ia tahu, pada akhirnya, Clara juga akan tahu akan hal itu. "Kalau iya, kenapa?" "Itu berarti, kamu juga tidak jujur. Kamu tidak pernah mengatakan itu kepadaku." "Oke. Lagipula, itu bukan kesalahan. Memangnya kenapa kalau aku bekerja di bawah Kristo Wijaya?" "Kamu sudah membohongi banyak orang. Fans-mu, semuanya. Yang mereka tahu, kamu adalah penulis yang idealis. Bebas. Tidak terikat oleh siapa pun." San diam. "Jangan mengalihkan topik," ucap San kemudian. "Jangan lari." San menatap tajam ke arah Clara yang sudah sejak tadi menatap San. Keduanya seolah sama-sama saling menerka-nerka ekspresi satu sama lain. Mana yang bohong. Mana yang jujur. "Baik. Mari permudah situasinya. Pertama, aku akan jelaskan kenapa aku berbohong. Aku tidak akan membela diri untuk itu. Ya, aku salah. Aku akan katakan kenapa aku tidak jujur sejak awal." "Oke, katakan. Aku akan dengar." "Karena memang, ini bukan pekerjaan yang aku inginkan. Setelah selesai, aku akan kembali jadi penulis yang seperti sebelumnya." "Aku tidak mengerti. Setelah selesai apa? Kamu juga punya kontrak? Aku yakin, pekerjaanmu, posisimu lebih tinggi dariku. Iya, kan?" San mencoba berkelit, meskipun ia ingin jujur. "Dengar, Clif. Ada yang tak bisa kujelaskan." Clara tersenyum. "Kamu tidak konsisten." "Aku tidak bisa menceritakan semuanya sekarang." "Oke. Tidak apa-apa. Jangan ceritakan. Aku bukan siapa-siapa, bukan?" "Tidak. Tidak begitu." "Lalu?" "Tidak tahu." San kehilangan kata. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, di depan Clara, ia kehilangan kata-kata. Kepalanya kosong. Merasa ditelanjangi, San menunduk. "Aku tahu, aku salah, San. Tidak jujur tentang Tora dan pertemuanku dengannya. Tapi, kamu juga salah. Kita sama-sama salah. Dan aku, aku butuh jawaban. Aku butuh diyakinkan. Masa lalumu, buruk atau baik, aku tak peduli. Terhadap semua yang Tora sampaikan perihal masa lalumu, aku masa bodoh. Tapi, tentangmu yang sekarang, kuharap aku bisa tahu." Betapa kata-kata Clara memang benar-benar merupakan isi hatinya yang terdalam. Sehingga hal itu membuat San merasa sangat bersalah. Ya, benar. Ia sadar, kesalahannya lebih besar. "Aku belum bisa katakan." "Kenapa?" "Ya, belum bisa." "Iyaa, kenapa belum bisa?" San menatap mata Clara yang haus akan jawaban. Ia seolah sedang berdiri di atas jembatan yang di kedua sisinya tak memiliki pegangan. "Aku akan katakan, kalau sudah waktunya." "Sekarang, San. Sekarang waktunya." San merasa ia belum bisa mengatakan yang sebenarnya. "Oke. Kalau kamu tidak bisa, biar aku permudah. Katakan, apa benar pekerjaanmu di bawah Kristo Wijaya adalah pekerjaan yang buruk? Apakah benar, Kristo Wijaya menyembunyikan sesuatu? Dia politisi yang jahat? Berbeda dari apa yang aku tahu, berbeda dari apa yang orang-orang tahu?" San diam. "Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu itu. Jatah pertanyaanmu sudah habis." "Ini bukan game yang kemarin. Berhentilah bersikap begitu!" Clara kesal. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Memikirkan San, memikirkan keadaan yang rumit, membuat Clara takut. Hubungannya dengan San, akan retak. Dan mungkin keretakan itu sudah dimulai. "Aku tidak bisa menceritakan semuanya." "Kenapa?" "Berhenti bertanya untuk sesuatu yang sudah jelas jawabannya." "Ya ampun. Lalu, kita harus bagaimana? Apa yang harus kita lakukan? Apa kamu pikir, aku bisa pulang ke rumah dan berangkat kerja besok pagi dengan perasaan seolah tidak pernah ada hal rumit yang terjadi? Itu mustahil, San. Maka mari selesaikan di sini. Sekarang. Katakan sejujurnya. Apa hubunganmu dengan Kristo Wijaya dan orang seperti apa dia sebenarnya?" "Tidak." "Kenapa tidak? Sekali lagi, aku tanya kenapa kamu tidak mau mengatakan semuanya?" "Karena, kamu juga sudah berbohong. Apa kamu pikir, kepercayaanku kepadamu masih utuh?" Lalu, apakah kepercayaanku kepadamu juga masih utuh? Tentu tidak, San.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN