San, Terbaik

1219 Kata
Clara masih tak bisa menerima kenyataan soal aturan yang baginya, terasa tiba-tiba tersebut. Ia sangat menyesalkan pihak Kristo Wijaya yang tidak memberinya pemberitahuan sama sekali. Gadis itu pulang dengan wajah cemberut. San yang menjemput Clara menyambut gadis itu dengan senyum yang riang. Namun melihat Clara yang senyumnya seolah terpaksa, San berhenti bersikap ceria. Kepalanya langsung dipenuhi analisis tentang apa yang mungkin terjadi kepada Clara di kantor. Clara masuk ke dalam mobil San tanpa suara. San bingung. Ia mencoba rileks dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengubah suasana. "Ada apa?" Hanya dua kata itu. Terlalu biasa, tapi San tidak menemukan kata-kata mana yang lebih bagus dari itu. "Aku menemukan sesuatu yang menyebalkan hari ini." San berpikir sejenak. Mungkin, mereka harus membicarakan apa yang membuat Clara kesal di tempat lain. "Oke. Apa kita harus ke suatu tempat?" Clara ingin menolak. Ia merasa sudah banyak merepotkan San. Apalagi, ia dan San hanya sekadar dekat. Clara sadar kalau hubungan mereka belum resmi. Meskipun San begitu peduli, tapi Clara tak ingin bersikap gegabah. "Ayo. Kita makan es krim. Oke?" tanya San. Ia seperti sedang membujuk anak kecil. "Boleh. Kalau kamu memang sedang tidak sibuk." "Kalau pun sibuk, aku akan meluangkan waktu untukmu," balas San. Clara merasa hatinya cukup terobati dengan ucapan San. Namun, ia tak sedang ingin membalas perkataan lelaki itu. Setelahnya, mobil melaju dengan perlahan. Beberapa menit kemudian, San menyalakan musik. Ia memutarkan Clara sebuah lagu yang cukup menenangkan. Perlahan, kemarahan gadis itu memudar. Clara menhirup napas dalam-dalam dan karena sudah lebih tenang, ia bisa mencium aroma pengharum mobil. Aroma lime dan vanilla. Ia tersenyum sedikit. Ketika lebih tenang, ia mampu berpikir lebih baik. Dilihatnya San yang tengah fokus menyetir. Ia tak bertanya banyak atau belum bertanya banyak kepada Clara. San benar-benar pengertian. "Berhenti senyum. Nanti aku tidak fokus," ucapnya. Hal itu membuat Clara terkejut. Ia segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Maaf, hehe. Kamu juga pasti bisa merasakan ketika ada seseorang yang memperhatikanmu lama dan tersenyum. Itu seperti magnet. Sekalipun kamu sedang melihat ke arah lain, kamu akan tetap menyadarinya." "Iya. Aku juga suka begitu kadang-kadang." "Oke. Sekarang, kita hampir sampai." San memarkirkan mobilnya di depan taman kota. Sore hari, cuaca yang sempurna, dan dua orang yang sedang jatuh cinta, momen yang bagus. Seharusnya. Clara menaruh harapan kepada San. Ia berharap harinya yang buruk akan membaik karena hadirnya laki-laki tersebut. San dengan cepat membukakan pintu. Setelahnya, ia mencari tempat yang bagus. "Tunggu, ya. Aku beli es krimnya dulu." Clara mengangguk. Ia sudah sangat merasa jadi bocah kecil. Saat Clara menatap sekeliling, pikirannya jadi lebih segar. Ia kembali mencoba memahami kalimat demi kalimat dari Tora siang tadi. Hanya tiga bulan pertama. CCTV itu hanya akan dipasang selama masa percobaan. Itu dilakukan karena Kristo Wijaya adalah seorang politisi. Itu wajar. Poin demi poin penting dari Tora terus terngiang-ngiang. Namun, tetap saja, Clara merasa ada yang aneh. Clara merasa ada sesuatu yang ganjil. "Ini." San menyodorkan es krim cokelat. Clara tak langsung menerimanya. "Kenapa?" tanya San heran. "Aku mau yang itu." Clara menunjuk ke tangan San. Milik San adalah es krim stroberi. "Oke. Ini. Untukmu, apa pun bebas. Silakan," ucap San sambil menukar es krim miliknya dengan milik Clara. Gadis itu tersenyum. Benar-benar bertingkah seperti anak kecil. Jarang-jarang Clara bertingkah seperti itu. Ya, ia hanya bertingkah manja kepada orang-orang tertentu saja. Sambil menikmati es krimnya, Clara mulai bicara. "Terima kasih, ya." "Sama-sama." "Es krimnya manis dan segar. Cukup membuat perasaan burukku ikut mencair." San sudah siap mendengar semua keluh kesah Clara. Ia sudah memasang telinganya baik-baik. "Ada apa memangnya? Apa ada hal buruk di kantor?" tanya San. Clara mengangguk. "Apa? Ayo katakan!" Ada nada kemarahan dalam pertanyaan San. Ia seperti tidak terima jika ada hal buruk yang Clara alami, apalagi jika itu dilakukan oleh orang-orang kantor Clara, teman-teman barunya, mungkin. "Ada CCTV." San terdiam sejenak. "Apa?" "Ada CCTV di ruanganku. Aku baru menyadarinya siang tadi. Di hari pertama, sungguh aku merasa bahwa aku sudah memperhatikan ruanganku dengan sangat detail. Dan jujur, aku tidak menemukan benda itu. Tapi tadi, aku menemukannya. Aku sangat terkejut, San. Aku merasa aneh. Apa ada kesalahan yang sudah kulakukan?" San diam. Ia bingung harus menjawab apa. "Apa aku seorang mata-mata dari pemerintah? Bukan, kan? Aku hanya penulis dan ya, mereka juga mengontrakku untuk melakukan hal itu. Tahu Tora? Di ruangannya, tidak ada benda itu. Dia bilang, itu hanya tiga bulan pertama. Ya, saat masa percobaan. Tapi sungguh, aku tidak diberitahu soal itu sebelumnya. San, menurutmu bagaimana?" "Ehm, sebenarnya, aku tidak terlalu tahu soal ini. Tapi, mungkin memang kebijakannya begitu. Atau kalau kamu bisa, kamu dapat bertanya langsung soal ini." "Ke siapa?" "Ya, ke ajudannya Pak Kristo itu. Yang dulu menawarimu pekerjaan." "Bagaimana? Bertanyanya bagaimana?" "Mungkin kamu bisa bertanya kenapa kamu tidak diberitahu dan kamu juga bisa tidak hanya bertanya, tapi kamu bisa memberi mereka pernyataan. Seperti kamu keberatan dengan adanya CCTV itu. Bilang saja kalau itu tidak ada dikontrak. Mereka juga pasti akan mempertimbangkan. Mereka seharusnya bertanggung jawab soal itu." Clara terdiam. San memang selalu memberinya solusi yang cukup bagus. Hanya saja, gadis itu sedang merasa berada di tengah-tengah. "San, bagaimana kalau sebenarnya, prosedurnya memang seperti itu. Bagaimana kalau sebenarnya, itu memang hal yang wajar. Tora bilang, hal itu memang sesuatu yang wajar. Katanya, itu karena Kristo Wijaya adalah seorang politisi. Aku jadi semakin heran dengan orang itu. Aku sudah mulai merasa aneh." San tak langsung menanggapi. Ia memilih untuk mendengarkan keluh kesah Clara sampai tuntas terlebih dahulu. Clara menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Tora menyuruhku untuk tenang, tapi aku malah jadi semakin kesal. Ia terlalu dekat." "Apa?" "Jangan emosi dulu. Aku hanya tidak suka caranya. Dia seperti bersikap terlalu santai untuk segala sesuatu yang terjadi. Aku tidak terlalu suka dengan itu. Aku bahkan jadi mencurigai banyak orang. Ya ampun. Mungkin sebenarnya Tora itu baik. Aku yang berlebihan." Clara merasa benar-benar buruk. Ia tidak suka dengan dirinya sendiri kalau sudah merasa seperti itu. Clara membenci dirinya sendiri ketika ia berada dalam fase membenci keadaan, tapi ia benci ketika ia membenci keadaan itu. Ia tidak menyukai dirinya yang selalu merasa seperti itu. "Mungkin, aku hanya merasa jadi korban. Padahal, seharusnya aku tidak perlu merasa seperti ini. Iya, kan, San?" Clara melirik ke arah San, mencoba memastikan laki-laki itu masih mendengarkan. San menatap Clara dalam-dalam. "Dengar. Jangan salahkan dirimu sendiri. Itu poin pertama dan yang paling utama yang harus kamu ingat dan lakukan. Jangan pernah menyalahkan diri. Kemarahanmu, kekesalanmu, prasangakamu, itu normal. Itu berarti kamu masih manusia. Oke?" Clara mengangguk. "Bagus. Gadis baik. Selanjutnya, aku cukup tertarik dengan perkataan Si Tora itu, kalau hak tersebut adalah bisa saja memang wajar. Karena Kristo Wijaya adalah politisi. Aku juga sama, Clif. Aku sama sepertimu dan mungkin kebanyakan orang di negeri ini juga sama. Semuanya tahu kalau Kristo Wijaya itu adalah sosok paling dihormati dan citranya bagus selama ini. Tapi, dia juga sama seperti kita. Dia manusia. Dan mungkin, dia juga punya kekhawatiran soal citranya." Clara diam. Ia mencoba mencerna setiap kata-kata dari San. "Selanjutnya, seperti yang kukatakan tadi. Tanyakan ini kepada yang bersangkutan, kepada yang lebih berhak. Yaitu, ajudannya Pak Kristo. Aku yakin mereka akan bertanggung jawab." Gadis itu mulai merasa tenang dan lega. Ia tersenyum. "Kenapa? Sudah paham?" Clara mengangguk dan masih tersenyum. San jadi salah tingkah dipandangi Clara dengan tatapan seperti itu. "Terima kasih, ya." "Sama-sama. Sudah paham, benar?" "Benar. Kamu terbaik, San!" Clara mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Dan itu membuat San tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN