Clara bangun dengan penuh semangat. Ia meyakini, kalau suatu hari dimulai dengan semangat dan keyakinan akan banyak hal menyenangkan yang akan terjadi, maka akan terjadilah seperti itu.
Ibunya tidak datang, mungkin ada kesibukan lain. Lagipula, tidak harus setiap hari ibunya itu harus datang. Toh, Clara juga terbiasa sendiri. Dan ia pun tak ingin terlalu merepotkan ibunya itu. Karin lebih membutuhkan ibunya dibandingkan dirinya.
Sebuah telepon masuk dari San, membuat gadis itu semakin bersemangat. "Halo," ucap Clara santai, sambil berjalan menuju ke dapur dan mencari apa ada makanan yang bisa dibuat dengan cepat.
"Sarapan di mana, Clif? Apa kita sarapan di luar?"
"Emmh, kamu mau seperti itu? Aku sedang mencari bahan makanan. Mungkin ada makanan yang mudah dimasak dan bahannya tidak ribet," ucap Clara, ia hanya menemukan telur saja. Dan mie instan.
"Aku dapat telur."
"Telur saja? Itu juga enak, tapi mungki. Kamu bisa makan makanan yang lain. Ayolah, kita makan di luar."
"Oke, baik. Tapi apa tidak akan terlambat?"
"Kalau begitu, aku beli dari sekarang, kita makan di mobil. Mungkin roti isi atau apa pun itu."
"Oke. Itu ide yang bagus, San."
Clara berhenti bekutat di dapur dan mulai bersiap-siap menunggu kedatangan San untuk menjemputnya.
***
"Aku beli ini, ini enak," kata San tepat ketika Clara sudah duduk di dalam mobil."
"Huwoo, aku suka ini."
Clara meraih roti yang disodorkan oleh San. Gadis itu kemudian memakannya dengan lahap.
"Clif," ucap San. Nada bicaranya agak serius. Mereka masih belum berangkat. Masih berada di depan rumah Clara. San juga dengan cepat menghabiskan roti bagiannya.
"Apa?" tanya Clara.
"Aku ingin tanya sesuatu. Ini penting."
"Heemh? Tanya apa?" Clara punya firasat kalau itu tentang Tora.
"Apa di kedai itu, terakhir kali kamu bertemu dengan Tora?"
Benar saja.
Clara agak terkejut dengan pertanyaan itu. Kenapa San meragukannya?
"Ya, itu yang terakhir. Kenapa memangnya?" tanya Clara. Jangan-jangan, ada sesuatu. Apa San mencurigainya?
"Tenang saja, kamu tidak akan bertemu lagi dengan Tora setelah ini."
"Apa? Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Dia hanya ya, harus membayar semua yang sudah dilakukannya."
"Semua yang sudah dilakukannya?"
San mengangguk. "Ya, semuanya. Kamu mungkin belum tahu soal ini. Dan sekarang, sepertinya adalah waktu yang tepat untuk kamu tahu."
"Apa itu? Soal apa? Aku penasaran."
"Ingat kasus bully kita berdua?"
Pertanyaan San memmbuat Clara seolah ditarik ke beberapa waktu lalu, ketika ia dan San sempat jadi bulan-bulanan netizen.
"Ya, aku ingat."
"Tora yang berada di balik itu semua."
"Apa?"
"Ya, dia. Dia yang lakukan."
Clara terdiam. Sungguh bodoh. Gadis itu mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia harus bersimpati kepada orang yang nyaris membuat karirnya sebagai seorang penulis itu hancur.
"Kenapa dia melakukannya?" Spontan, Clara bertanya, padahal sesaat setelah ia bertanya, gadis itu menyadari kalau tentu saja, alasan Tora melakukannya ya, karena San. Karena Tora membenci San.
"Karena, tentu saja karena kebenciannya padaku. Dan itu juga berimbas padamu."
"Oke-oke. Apa dia dipenjara?"
San tak langsung menjawab dan itu membuat Clara berasumsi yang bukan-bukan. Jangan-jangan, Tora disingkirkan dengan cara yang mengerikan. Pikiran Clara yang sering aneh pun menyimpulkan demikian.
"Ya, dia dipenjara."
"Ah, syukurlah," ucap Clara yang seketika membuat San memasang wajah keheranan.
"Syukurlah?"
Clara terdiam. Apa itu jawaban yang salah?
"Kenapa kamu bersyukur untuk itu?" tanya San, sementara kepala Clara sedang sibuk mencari jawaban.
"Ya, tentu saja karena kalau dia dipenjara, itu berarti, dia tidak akan melakukan keributan lagi ya, kan? Kita tidak akan diganggu lagi olehnya. Betul, kan?" tanya Clara dengan berusaha meyakinkan.
"Ya, benar begitu."
Sebenarnya, kelegaan Clara itu bukan karena Tora tidak akan berulah lagi. Melainkan karena untungnya Tora hanya dipenjara. Ia sudah membayangkan adegan-adegan pembunuhan yang mengerikan seperti di dalam film-film mafia.
"Oke, sudah habis rotinya? Kita berangkat!"
"Ayo!"
"Semangat bekerja hari ini?!" San berteriak penuh semangat. Sepertinya, jiwanya perlahan sudah kembali seperti sedia kala.
"Semangaaat!!!"
Mobil pun melaju. Keduanya siap menjalani hari. San dengan semangat barunya, karena ia sudah berhasil membereskan Tora, dan Clara yang berusaha menjalani hari dengan menyingkirkan semua perasaan negatif.
***
Suasana kantor tampak baik-baik saja. Tak ada keriuhan atau hal menegangkan yang terlihat lagi. Sonia terlihat berjalan santai ke arah Clara. Menyambut gadis itu dengan senyuman.
"Baik-baik saja, bukan?"
"Baik. Kamu?" Clara balik bertanya.
"Aku juga baik, ya. Lumayan terkejut sebenarnya. Apa kamu baru saja mendapat kabar baik? Aku melihat wajahmu sepertinya sedang bagus."
"Apanya yang bagus? Biasa saja. Aku hanya punya harapan kalau hari ini, memang akan jadi hari yang cukup menyenangkan dan baik-baik saja. Itu yang kuyakini. Ketika meyakini sesuatu, maka alam akan ikut serta mewujudkan keyakinan kita tersebut."
Sonia mengangguk-angguk. "Sungguh kalimat yang sangat bijak."
Clara tertawa. "Aku hanya bicara asal, itu kalimat yang sering k****a di internet."
"Haha. Baiklah."
"Sepertinya, kantor kita juga sudah kembali normal. Sudah baik-baik saja, sekarang."
"Ya, aku juga bersyukur untuk itu. Ayo kita ke ruangan masing-masing, untuk mengerjakan pekerjaan yang mungkin sudah menumpuk."
"Hei, pekerjaanmu yang menumpuk. Aku tidak."
"Ya, kemarin aku tidak masuk. Aku duluan, ya."
Clara meninggalkan Sonia, dan bergegas hendak masuk ke dalam ruangannya. Karena kemarin ia tidak masuk, tentu ada beberapa pekerjaannya yang mungkin agak terbengkalai.
Ketika Clara hendak masuk ke dalam ruangannya, ia tak sengaja bertabrakan dengan salah satu staf kantornya yang lain. Pak Edo, Clara tak terlalu mengenalnya, tapi namanya jelas terlihat di name-tag yang menempel di bajunya.
"Maaf, Pak."
Clara meminta maaf sambil ikut mengambil beberapa kertas yang berserakan. Ia jadi sedikit gugup, karena takut dimarahi.
"Tidak, jangan ambil. Biar saya yang bereskan."
Usaha Clara terhenti. Ia masih mematung, memperhatikan Pak Edo yang mengambil berkas-berkas tersebut. Clara merasa tidak enak. Laki-laki itu terlihat buru-buru dan gelisah.
"Heh, kenapa kamu masih melihat saya? Pergi. Biar saya yang ambil."
Nada bicara keras dari Pak Edo, membuat Clara takut. Segera, gadis itu pun pergi.
Ada apa dengan Pak Edo? Aneh sekali, pikir Clara. Namun, yang lebih membuatnya heran adalah, berkas-berkas yang Pak Edo jatuhkan. Ada lembar-lembar berisi angka-angka dengan coretan merah. Aneh sekali, pikir Clara. Bukannya Pak Edo itu berada di bagian yang sama dengannya? Di bagian media, informasi, terkait citra yang ditampilkan oleh Kristo Wijaya. Bukan di bagian administrasi.
Ah, Clara tak mau berpikir macam-macam. Ia sudah janji kepada dirinya sendiri agar menjalani hari dengan lebih positif. Biarlah yang tak ia tahu, memang tak perlu dicari tahu.
Karena seringkali, lebih baik memang begitu, kan?
Ada banyak hal yang seharusnya memang lebih baik tidak diketahui. Sama sekali.
***
Di jam makan siang, Sonia kembali lagi mengajak Clara makan. Hari itu, mereka tidak makan di restoran luar. Melainkan masih di dalam gedung perkantoran.
"Kita sudah sering makan di luar ya, Clif. Aku hampir lupa dengan menu-menu di sini. Padahal, di sini juga makanannya enak-enak."
Clara mengangguk. Ia sibuk dengan ponselnya. Ada pesan dari Karin.
[Ibu bilang, tadi ibu beres-beres di rumah. Tapi Ibu menemukan kertas yang sepertinya catatan penting. Katanya seperti banyak angkanya. Hampir ia buang ke tong sampah. Tapi ibu bilang, sudah disimpan lagi di meja kamar Kakak.]
Selembar kertas yang terlihat penting? Kira-kira apa? Clara tak mendapatkan bayangan apa pun soal itu. Karena kebanyakan, jika ia menulis, ia jarang sekali menulis hanya di selembar kertas.
Apa itu kertas biasa yang tak berarti apa-apa? Kenapa harus ada angka-angkanya? Ah, Clara jadi sedikit penasaran.
"Ada apa, Clif? Kelihatannya serius? Semua oke-oke saja, bukan?"
"Ya, semuanya oke. Ini aku dapat pesan dari adikku. Tapi bukan apa-apa, bukan hal yang terlalu penting."
"Oke, kalau begitu, ayo kita pesan makanan."
"Oke."