Permulaan

1111 Kata
Tepat setelah pesawat San lepas landas, ayahnya menelepon ajudan Kristo Wijaya. "San sudah aman. Saya juga sudah memiliki rencana yang matang agar San tidak dapat pulang dari luar negeri dalam waktu dekat. Sampaikan secepatnya kepada Kristo Wijaya. Ini penting." *** San sudah mengirim pesan kepada Clara sebelum ia benar-benar memasuki pesawat. Setelahnya, ia memilih mematikan ponselnya dan tidur. Ia sedikit memikirkan kondisi bibinya. Ayahnya terlihat sangat panik, itu berarti kondisi bibinya pun tidak sedang baik-baik saja. Bibinya memang cukup berarti bagi San. Ya, karena dalam waktu beberapa tahun, ketika kondisi ibunya sedang dalam keadaan yang tidak baik, bibinya itulah yang merawat San." Ah, baru saja ia merasa sembuh dari rasa takut yang kemarin, sekarang diganti lagi dengan rasa takut yang lain. Memang, ternyata benar apa yang sering dikatakan orang-orang. Bahwasanya hidup itu merupakan kejutan yang bergantian. [Aku akan di Amerika untuk beberapa waktu. Keluargaku mengalami kecelakaan. Maaf baru mengabari. Ini mendadak. Kita bicarakan soal hubungan kita setelah aku pulang. Semuanya akan baik-baik saja, selama kamu juga tidak melakukan hal-hal di luar jalur kemampuanmu. Terima kasih. Aku mencintaimu, Clif. Sangat.] Lalu setelah itu, San memejamkan matanya. Mencoba tetap tenang dan menyusun rencana-rencana ke depan. Ia yakin, setelah hal-hal buruk yang terjadi, akan ada banyak hal-hal baik menyambutnya di depan. Seyakin itu dirinya. Harapannya, hal-hal baik itu juga terjadi kepada Clara. Perempuan yang dicintainya. Sementara di suatu tempat, Clara pulang dengan begitu malasnya. Ia menempatkan barang-barang yang sudah ia kemas dari kantor di sudut kamar. Gadis itu menatap dirinya di depan cermin dan menyadari bahwa keadaannya sudah sedemikian payah beberapa hari terakhir dan entah ke depannya akan jadi seperti apa. Ia tidak tahu dan tidak punya petunjuk apa pun untuk itu. Belum apa-apa, Clara sudah berpikir yang bukan-bukan. Apa pada akhirnya ia akan jadi penulis terlupakan yang di akhir hidupnya tidak ada satu pun karyanya yang terkenal? Bukunya yang best seller kemarin itu, sudah tak akan dicetak ulang. Mungkin sudah habis masa populernya. Ah, menyebalkan. Kenapa itu harus terjadi kepada dirinya? Ia merasa itu sedikit tidak adil. Clara beralih kepada dinding polos dan menatapnya cukup lama, untuk menetralkan pikiran. Seperti yang selalu ia lakukan. Seperti yang sudah-sudah. Sudah lama ia tidak berbincang ke dalam dirinya sendiri. Tentang apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup, tentang goals atau tujuannya tetap bertahan. Apakah memang ia akan membiarkan dirinya senelangsa itu? Tentu tidak. Clara mencoba menguatkan tekad. Tak apa jika ia tidak lagi mendapatkan penghasilan bulanan seperti sebelumnya. Tak apa jika ia kembali jadi seorang penulis lepas yang menulis apa saja, mengikuti lomba apa saja, lalu menyusun naskah yang akan ia ajukan ke penerbit. Ya, itu bukan rutinitas yang buruk. Sebagian besar penulis pun memang melakukan hal itu. Kebanyakan dari mereka, tidak bekerja di bawah orang lain hanya untuk menaikkan citra atau kepopuleran seseorang. Seharusnya ia senang dengan hal itu. Kenapa ia harus bersedih? Sebenarnya, jauh di dalam hatinya, ia bukan hanya bersedih karena itu saja. Ada hal-hal lain yang membuat kesedihannya berlipat-lipat. Ya, itu karena ia merasa sudah mengkhianati nuraninya sendiri. Soal selembar kertas yang ia temukan tempo hari, Clara akhirnya menyadari itu ada kaitannya dengan desas-desus soal korupsi besar yang dilakukan oleh Kristo Wijaya. Ah, ia merasa konyol ketika dulu pernah begitu mengagumi sosok tersebut. Padahal, tak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini. Seharusnya ia tahu itu sejak awal. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang akan terjadi? Apakah selamanya Kristo Wijaya akan dipuja-puji? Apakah selamanya Kristo Wijaya akan dianggap panutan oleh banyak orang yang mengaguminya? Itu adalah ketidakadilan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat bersembunyi di balik topeng dengan sangat sempurnanya? Atau, mungkin akan ada orang lain yang mengusut kasus besar Kristo Wijaya? Bagaimana jika selembar kertas itu adalah satu-satunya kunci yang dapat membongkar kedok Kristo Wijaya? Tapi, apa Clara punya keberanian untuk itu? Ia tak memiliki background yang cukup kuat untuk melakukan hal semacam itu. Ia tak memiliki dasar apa pun. Clara tahu di mana seharusnya ia berdiri. Ia tahu kapasitasnya sampai mana dan mungkin itu juga yang diharapkan oleh Romi dan San. Clara membuka ponsel dan mendapati pesan dari San. Ya ampun. Pesannya membuat mood Clara tambah buruk saja. Kenyataan bahwa San telah pergi ke luar negeri, membuat Clara semakin sedih. Ia merindukan seseorang, entah itu San, entah itu Naren, entah itu sahabat-sahabatnya, atau Arga, ia tidak tahu dan sungguh, ia tak berupaya untuk menemui salah satu dari mereka. Ia hanya ingin ditemani atau dikunjungi. Perasaan aneh dan kosong itu datang. Dinding yang Clara tatap seolah berubah jadi hitam. Dan gadis itu memilih merebahkan dirinya. Memejamkan mata, berharap ketika bangun, semuanya akan terasa lebih baik. *** Clara kemudian terbangun karena mendengar bunyi notifikasi ponselnya yang berulang-ulang. Ada panggilan telepon juga dari beberapa orang. Clara yang masih belum benar-benar tersadar, menyadari kalau sudah cukup lama ia tertidur. Gadis itu membuka ponsel dan betapa terkejutnya karena banyak sekali pesan yang masuk. Serta ada beberapa panggilan juga ke ponselnya. Ada anak-anak BBA, Sonia, Arga, banyak sekali. Ia jadi bingung. Sebuah telepon masuk lagi. Dari Naren. "Halo, Clif." "Naren?" Clara terkejut. Karena setelah sekian lama, Naren kembali menelepon. Itu sungguh keajaiban dunia. "Kamu baik-baik saja?" Naren melemparkan pertanyaan yang tak biasa. "Apa? Aku baru saja bangun tidur dan banyak sekali notifikasi yang masuk. Aku kaget, tapi aku belum sempat mengecek ada apa sebenarnya. Dan lagi, kamu menelepon? Itu juga membuatku kaget. Kenapa kamu menelepon?" tanya Clara terheran-heran. "Oke. Jangan panik. Apa pun yang kamu hadapi, hadapi dengan ketenangan. Kamu sendiri? Ada orang lain di rumah?" "Ada apa? Aku sendiri." Clara jadi panik. "Telepon adik atau ibumu, atau siapa pun. Untuk menemanimu di rumah." "Ada apa?" tanya Clara, setengah memaksa. "Ada seseorang yang memposting tentangmu. Sepertinya itu haters. Tetap tenang. Dan hadapi dengan kepala dingin." "Oke. Terima kasih." Clara langsung menutup telepon, karena ingin segera mengecek postingan apa yang dimaksud oleh Naren. Namun, ada panggilan lain yang masuk. "Halo, Clif." Itu dari Anrez. "Iya, Rez. Sebentar, jangan menelepon dulu." "Jangan panik. Tetap tenang." "Iya, aku akan tenang. Sudah." Clara kembali menutup telepon dan mencoba mencari postingan yang dikatakan Naren tadi. Ada banyak yang men-tag namanya di salah satu akun media sosial yang tidak Clara kenal. Di postingan itu, terdapat satu buah cerpen yang dimuat di salah satu media dengan nama Clif tercantum di sana, disertai dengan kalimat penjelasan bahwa seorang Clif sudah melakukan plagiat. Tunggu. Clara mencoba membaca cerpen yang dimaksud. Ia sungguh merasa tidak pernah mengirimkan cerpen itu sama sekali. Apa maksudnya itu? Ah, ya ampun. Lagi dan lagi, ia tak habis pikir. Kenapa ada saja haters yang tiba-tiba muncul. Padahal, ia dan San sudah lama tidak menunjukkan kebersamaan, atau itu bukan ulah fans fanatik San yang tak setuju mereka bersama? Lalu siapa? Orang yang bersembunyi di balik akun yang pastinya fake itu? Siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN