Pergi

1061 Kata
Keputusan Clara untuk keluar dari pekerjaannya ternyata disambut dengan cepat. Pengajuan itu tak sampai harus berlama-lama untuk disetujui. Gadis itu lega, sekaligus sedih. Lega karena akhirnya ia akan terlepas dari segala prasangka buruk atas apa yang mungkin akan menimpanya di kemudian hari, apalagi ketika ia sudah mendengar apa yang Romi katakan. Sedih, karena ya, bagaimanapun juga, pekerjaannya adalah pekerjaan yang dulu pernah gadis itu banggakan. Clara sedang membereskan semua barang-barang di ruangannya, ketika Sonia masuk. Ia menatap Clara dari ujung kaki sampai ujung kepala. Clara yang sadar kalau Sonia masuk ke ruangannya, tak berkata apa-apa dan terus fokus melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya. "Kenapa? Kenapa sampai harus keluar? Memangnya, tidak bisa dipertahankan lagi? Aku bingung." Clara ingin sekali menceritakan soal kertas itu kepada Sonia, namun itu sama saja bunuh diri. Ia takut tanggapan Sonia akan lain dan nanti akan ada permasalahan yang merembet ke mana-mana. "Tidak kenapa-kenapa. Memang aku sudah memutuskannya matang-matang. Sudah lama aku memikirkan ini." "Ish, semua ini awalnya karena Tora. Iya, kan? Gara-gara dia, kupikir kantor jadi sangat berubah. Jadi berbeda sekarang. Atasan kita jadi sangat waspada dan itu rasanya tidak nyaman. Ulahnya yang membuatmu pada akhirnya keluar juga. Betul, kan? Ah, iya. Dan pertengkarannmu dengan San juga. Betul, kan?" tanya Sonia, berusaha menebak. "Begini. Daripada kamu penasaran soal apa yang membuatku keluar dari pekerjaan, kenapa kamu tidak tanya apa yang akan aku lakukan setelah keluar dari sini, dan bantu aku menemukan jawabannya." Sonia tertawa. Bisa-bisanya Clara bercanda dengan wajah murungnya itu. "Kenapa aku harus repot-repot memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu? Aku juga jadi malas bekerja di sini kalau kamu keluar." "Hei, nanti juga ada orang baru." "Itu dia. Aku malas bertemu dan bekerja dengan orang baru lagi. Aku harus beradaptasi dan kadang harus memakai topeng agar dia tidak memberi kesan jelek terhadapku." "Tidak perlu begitu. Jujurlah. Apa adanya saja," ucap Clara memberi saran. "Aku tidak bisa begitu kepada sembarang orang," jawab Sonia. Clara tersenyum. "Terima kasih, ya." "Untuk?" "Karena kamu sudah sering mengajakku mengobrol, saling bertukar pikiran, dan lain-lain. Itu sangat berarti. Mungkin kamu tidak tahu betapa itu sangat membantuku." Sonia tersenyum. "Baiklah. Kalau begitu, akan kujawab sama-sama. Aku akan membantumu. Mana yang mesti kubereskan?" Sonia pun membantu Clara. Hari terakhir Clara di kantor jadi tidak terlalu buruk. Ia memang tidak terlalu dekat dengan atasan-atasannya atau pegawai yang lain, tapi ia bersyukur karena dipertemukan dengan Sonia. Sosok unik yang mau menemaninya. Itu cukup meninggalkan kesan yang sedikit menyenangkan, yang mampu mengubah sedikit penyebab asli keluarnya Clara dari pekerjaannya tersebut. Saat keluar dari ruangannya, Sonia membantu membawa barang-barang. "Aku akan antar sampai kamu mendapat kendaraan." Clara mengangguk. Ia tidak mau naik bus. Ia sudah pesan kendaraan online. Mereka menunggu di depan gerbang kantor. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini? Sekarang aku tanya." tanya Sonia. "Itu dia. Aku pikir, aku akan kembali ke masa-masa itu. Sama seperti penulis pada umumnya, menulis, mengajukan naskah, ikut seminar, lomba-lomba, semuanya. Aku akan melakukan apa saja yang seorang penulis lakukan. Aku juga punya beberapa teman di lingkaran yang sama. Jadi, aku pikir aku tetap akan bisa berkarya." Sonia mengangguk-angguk. "Baguslah. Jangan lupakan aku, ya. Kalau butuh sesuatu, katakan saja. Minta padaku. Aku akan membantu sebisa mungkin," kata Sonia. "Iya. Terima kasih banyak." Kendaraan online yang dipesan oleh Clara akhirnya datang. Keduanya berpisah setelah saling berpelukan. Tak pernah Clara menyangka akan mendapatkan kisah persahabatan yang hangat dengan Sonia. Ia bersyukur untuk itu. *** Ketika San hendak menyalakan mobilnya sendiri, ayahnya datang. Kedatangan ayahnya sangat tiba-tiba. "Turun," katanya. Tentu saja San terkejut. Romi juga. "Ada apa?" San langsung turun dari mobil, sebab tak ingin memancing kekesalan sang ayah. "Romi, siapkan semua barang-barang, baju, dan lain-lain yang diperlukan oleh San untuk tiga hari ke depan. Ia harus ke Amerika. "Amerika? Tunggu, ada apa ini?" San agak panik mendengarnya. "Dengar, San. Tadi, pamanmu yang di Amerika mengabarkan kalau bibimu kecelakaan. Kau tahu sendiri, bibimu sudah lama tidak bertemu denganmu. Dia yang pernah mengurusmu ketika kecil dan kamu, selalu saja tak punya waktu untuk ke sana. Sekarang, bibimu kecelakaan. Pergilah ke sana. Di sini, biar Ayah yang urus." San tak mengerti. Itu sangat tiba-tiba. Ia membuka ponselnya, hendak menanyakan itu kepada pamannya, tapi ditepis oleh sang ayah. "Cepat. Tak ada waktu. Romii!" Romi yang sejak tadi sudah masuk ke dalam rumah, mendengar teriakan itu, semakin mempercepat pekerjaannya mengemas barang-barang yang mungkin dibutuhkan oleh San nanti. Ia bahkan kebingungan apa saja yang ia harus masukkan ke dalam tas. "Jangan banyak-banyak. Hanya untuk tiga hari. Jika ada barang yang dibutuhkan lagi, dia bisa membelinya nanti!" "Baik. Ini sedang dikerjakan. Sedikit lagi!" teriak Romi. "Ayah, serius? Ini sangat mendadak. Aku tidak punya persiapan apa-apa." "Memangnya, kecelakaan bibimu itu juga direncanakan? Ya, tidak, dong. Itu juga mendadak. Siapa sih yang tahu akan terjadi kecelakaan? Makanya, ayo masuk ke mobil Ayah. Romii!!!" Romi datang dengan koper di tangan. Ia menggeser koper besar itu dengan sedikit kepayahan. "Masukkan ke dalam mobil. Kamu tunggu saja di rumah, San bisa sendiri di sana. Dan ini pun, hanya sebentar." "Baik." Romi mengangguk, menunduk. Sementara San terlihat murung. Ia masuk ke dalam mobil ayahnya dan bertanya-tanya. Kenapa ia harus tiba-tiba saja ke luar negeri? Ia menatap layar ponselnya cukup lama. Apa yang harus ia katakan kepada Clara? "Kenapa seperti itu? Ayah juga penasaran dengan kondisi bibimu. Tapi, pamanmu bilang jangan terlalu sering menelepon. Ia sibuk juga mengurus ini-itu di sana." Ayahnya yang memegang setir. Sebenarnya, San agak terganggu dengan kenyataan ayahnya yang mengurus keberangkatannya ke luar negeri. "Bukannya Ayah sibuk? Kenapa tidak suruh Romi saja yang mengantarkan aku? Dan lagi, kenapa harus sekarang juga? Bisa nanti sore, bukan?" "Sudah. Ayah sudah beli tiket. Kamu ini. Memangnya, apa yang kamu takutkan? Dari semua hal yang terjadi, tidak ada yang lebih penting selain bibimu itu." San tak mampu lagi menolak. Ia mengingat sosok yang pernah merawatnya sewaktu kecil itu. Memang, bibinya sudah sangat berjasa di dalam hidupnya. Akan tetapi, ia juga tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana dengan Clara dan keadaannya? Serta situasi yang mungkin akan semakin buruk nantinya. "Oh iya. Soal pacarmu itu, Ayah dengar dia sudah keluar dari perusahaan." "Keluar?" "Iya. Tapi, baguslah. Memang Ayah pikir keputusannya itu sudah tepat. Jangan sampai dua terseret kepada masalah yang lebih besar dan ada bagusnya kamu ke luar negeri. Biarlah keadaan jadi membaik dulu." San diam. Ia juga akhirnya merasa lega, sebab itu berarti Clara sudah melepaskan semuanya. San tinggal memperbaiki hubungannya. Itu tak akan sulit, pikirnya. Ya, semoga saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN