Entah

1108 Kata
Romi memesan makanan untuk sarapan pagi. Ia belum pulang ke rumahnya sejak kemarin. Ia merasa harus mengurus San, meskipun San sendiri tak pernah meminta itu. "Pulang saja." Sebuah suara terdengar. Terlihat San dengan langkahnya yang pelan mendekati Romi yang sedang sedikit berbenah. "Santai saja. Ayahmu yang membuatku harus diam di sini. Kalau aku pulang, mungkin aku akan mati. Duduk saja. Aku pesan sarapan. Jangan banyak bicara. Makan saja dan minum obat." San mengangguk, tapi ia kembali berjalan-jalan. "Mau ke mana?" "Mana ponselku?" "Ah, itu. Maksudku, ini." Romi menyerahkan ponsel milik San dengan wajah sedatar mungkin. "Bagaimana bisa ini ada padamu? Kau membuka kuncinya, kan? Kau pasti bisa membukanya." San membuka ponselnya dengan perasaan penuh curiga. "Haha. Aku tidak berusaha membuka kuncinya, tapi aku memang tahu kuncinya. Jadi, jangan berpikir aneh-aneh. Aku hanya mengecek beberapa hal." San tertawa. "Beberapa hal? Jangan lakukan hal semacam ini lagi, sekalipun ayahku yang menyuruhnya. Kalau sekali lagi kau melakukannya, aku akan memecatmu." "Lagi? Baik. Tidak masalah." "Ya ampun. Sudah, pulang saja. Aku akan makan dan minum obat." Romi menatap San dari atas sampai bawah. "Tidak. Aku akan di sini. Mungkin selama beberapa hari. Jadi, tenang saja. Aku akan beres-beres, memesan makanan, melakukan apa pun yang kamu suruh. Sebagai asisten yang baik, aku akan memberikan apa yang kamu butuhkan. Bukan melakukan apa yang kamu perintahkan." San tak bisa memaksa orang di depannya. "Oke. Terserah saja." Suara seseorang di halaman rumah menghentikan percakapan mereka. Seorang pengantar makanan rupanya sudah datang untuk mengantarkan pesanan Romi tadi. "Biar aku ambil ke depan. Duduk saja." San menurut. Ia merasa kepalanya sudah lebih baik sekarang. Membuka ponsel, tak ada satu pun pesan dari Clara. Terkejut, kenapa gadis itu tidak penasaran soal kabarnya? San menelepon dan tak butuh waktu lama untuk panggilannya tersambung dan diangkat oleh Clara. "Halo," ucap San. "Hai." "Kamu tidak bertanya kenapa aku tidak memberi kabar?" "Aku, aku tahu kamu sibuk. Jadi, aku tidak ingin menganggu." "Aku tidak sibuk. Aku sakit." Entah, padahal sejak awal, San berencana untuk tidak bercerita soal sakitnya. Untuk tidak mengatakan hal-hal yang mungkin akan membuat Clara merasa cemas. "Sakit?" Yang di seberang, pura-pura terkejut. "Iya." "Apa sudah minum obat? Sekarang bagaimana?" San tersenyum. "Sudah. Sekarang, masih pusing, tapi sudah lebih baik." "Maaf tidak bisa ke sana." "Tidak perlu, ada Romi di sini. Jadi, jangan pikirkan hal apa-apa. Aku akan segera baik-baik saja." "Baik. Aku tidak akan memikirkan hal-hal aneh. Aku tahu kamu sibuk, tapi istirahatlah. Jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri." San terdiam mendengar kalimat dari Clara. Jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri. Ah, itulah kenapa ia jatuh cinta kepada Clara. Gadis itu selalu tahu kapan waktu paling tepat untuk mengatakan kalimat-kalimat penghiburan. "Iya. Akan aku ingat itu. Terima kasih." "Heemh. Terima kasih kembali." Ada suasana yang tak bisa dijelaskan, seperti kecanggungan yang aneh, yang menyelimuti mereka berdua. "Oke, baik. Aku sudahi dulu, ya. Aku akan sarapan. Kamu juga jangan lupa. Maaf belum bisa sarapan bersama," ucap San lirih. "Iya, tidak apa-apa." "Nanti, kita sarapan bersama, makan bersama, lagi. Kalau aku sudah lebih baik dan keadaan sudah aman." Tidak ada jawaban dari Clara. "Halo? Apa kau ketiduran? Hehe." San bercanda, mencoba memecahkan keheningan yang seolah menjadi tembok yang menghalangi mereka sejak tadi. "Aku masih di sini. Ya, mungkin aku kurang tidur semalam. Jadi, sepagi ini, aku masih mengantuk." "Tapi matahari sudah keluar. Keluarlah dan lihat lewat jendela." Clara yang mendengar itu, hanya tersenyum. Matahari memang sudah menampakkan diri. Namun, gadis itu benar-benar enggan beranjak. Hanya rebahan di tempat tidur, tanpa peduli akan berangkat ke kantor jam berapa. Semalaman, Clara tak bisa tidur. Memikirkan langkah apa yang seharusnya ia ambil dan memang ia juga sudah hampir yakin. Keputusannya sudah bulat. "Aku tutup, ya. Aku harus bersiap untuk ke kantor." "Emh, oke." Percakapan mereka berakhir. Menggantung. "Sudah. Makan saja dulu, lalu minum obatnya." "Aku takut mata-mata itu berulah. Dia pasti tidak akan membiarkan aku atau Clif tenang." "Hentikan. Kamu terlalu berlebihan. Makan dan minum obatnya. San menerima sepiring bubur ayam yang Romi sodorkan. Ia ingin lekas sembuh dan melakukan banyak hal untuk membuat semuanya aman seperti sedia kala. *** Clara sudah memikirkan semuanya dengan matang. Semalaman, ia memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Memusingkan memang, tapi ia merasa akan lebih tenang kalau keputusannya itu benar-benar terlaksana. Gadis itu memaksakan diri untuk berangkat kerja. Ia bahkan hanya memakan beberapa snack untuk sarapan. Sekilas, ia melirik meja dan laptopnya. Mungkin, ia akan kembali ke masa-masa itu. Menjadi penulis yang memburu lomba atau mencari penerbit yang cocok bagi naskah yang tengah ia garap. Ya, itu bukanlah sesuatu yang buruk. Hampir semua penulis memang menjalaninya. Karena memang itulah tugas seorang penulis. Bukan masalah jika pendapatannya kembali tak menentu. Setidaknya, ia pernah mencecap pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Di sepanjang perjalanan menaiki bus, Clara mendengarkan beberapa lagu. Hari itu, seolah adalah hari terakhirnya. Padahal, mungkin butuh pembicaraan atau kesepakatan perihal pengajuannya untuk berhenti bekerja. Ya, Clara sudah memutuskan. Terlepas dari semua hal ia curigai, Clara sudah memutuskan untuk berdiri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Ia sudah memikirkan itu berkali-kali dan malah membuatnya pusing. Tersiksa hidupnya karena hal itu. Masa bodoh dengan selembar kertas yang Tora tinggalkan di rumahnya. Ia memilih untuk tidak peduli lagi. Ketika ia sudah sampai di kantor, Sonia tidak kelihatan. Bisa-bisanya ia tidak ada, padahal Clara akan mengatakan soal rencananya untuk keluar dari kantor tersebut. Clara tak langsung masuk ke ruangannya. Ia menemui ruangan salah satu atasan yang bertugas mengurus pengunduran diri para pegawai. "Ada apa?" tanya atasannya tersebut. Clara menyodorkan sebuah surat. "Saya mau mengundurkan diri." Singkat, Clara berkata. Setelahnya si atasan menyuruh Clara kembali ke ruangannya. Pengajuannya akan segera ditinjau. Clara melangkah dengan tergesa. Sonia masih tak terlihat, tapi tanpa ia sadari, rupanya perempuan itu sedang berjalan di belakang. Mengikuti Clara. "Apa yang barusan kamu lakukan?" tanya Sonia pelan, berbisik di telinga Clara. Itu membuat Clara sedikit terkejut. "Ya ampun. Hampir saja jantungku loncat. Kukira kamu tidak masuk." "Tidak mungkin. Aku masih butuh uang dan waktu adalah uang, itu bener adanya. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk melangkah malas menuju ruanganku sendiri, dengan wajah ditekuk dan riasan sepucat mayat." Clara tersenyum menyadari itu adalah sindiran yang begitu gamblang untuk penampilannya sendiri. "Aku akan segera keluar dari kantor ini." Sonia berhenti melangkah. Sejenak kakinya seolah tertanam di lantai kantor. Beberapa detik kemudian, menyusul Clara yang hampir tiba di ruangannya. "Serius?" Clara mengangguk. "Ada apa? Apa ini ada kaitannya dengan apa yang kamu ceritakan sebelumnya?" "Sebelumnya? Sebelumnya yang mana?" tanya Clara. "Tentang pertengkaranmu dengan San." "Ah, sudah. Itu, kan. Aku bilang ini tidak ada hubungannya." "Jangan begitu. Aku sudah tahu. Itu jelas sekali. Sudah, katakan saja. Ceritakan." "Tidak perlu. Sudah, aku mau bekerja." Clara menutup pintu ruangannya, tanpa menunggu tanggapan dari Sonia. Entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN