Apa dia sudah menaruh perasaan padaku? Tapi jika itu memang benar dia pasti akan mengatakannya langsung bukan. Terserah dia saja, aku akan mengikuti permintaannya.
Aku mempersiapkan diriku, kuambil pakaian buat Chaing He. Tapi dia menolaknya dan langsung pergi begitu saja, apa dia tidak menyukai pakaian yang aku pilihkan?
Beberapa menit kemudian mereka semua datang, aku menyambut mereka di depan pintu. Tatapan mata Caroline menatapku tajam, apa dia akan mempermalukan aku sekarang.
Aku memandu mereka semua agar duduk, aku berdiri tepat di samping Chaing He. Keluarga Caroline memang sangat mapan, aku tidak tahu apa aku berhak bersama dengan Chaing He atau tidak.
“Siapa wanita ini?” tanya mamanya Chaing He dan aku menatapnya ketakutan.
“A-ku Affry, Tan,” jawabku.
“Baiklah, kamu sediakan makanan dan minuman buat kami.” Aku langsung mematung menatap Chaing He.
“Mama, dia pacarku bukan pembantuku,” ucapnya dan semua orang heran termasuk aku, andai yang dia katakan itu benar aku pasti akan senang dan menjadi wanita paling bahagia.
Aku menatapnya dan menggelengkan kepalaku, saat aku mau pergi ke dapur dia langsung menarik tanganku dan mendudukkanku di sampingnya. Aku melihatnya, tangannya yang merangkul pundakku dan tatapannya yang tajam, kenapa terlihat sangat serius.
“Apa maksudmu?” tanya Papanya.
“Aku sudah punya pacar dan aku tidak mau dijodohkan,” ucapnya menatap Caroline tajam.
“Dia hanya pacarmu, sedangkan anak kami adalah calon tunanganmu. Kamu bisa memutuskan wanita itu nanti. Sekarang mari kita bahas tanggal yang cocok buat pertunangan kalian,” ucap mamanya Caroline dan tampak kekesalan di wajah Chaing He.
“Cukup! Aku sudah besar, kalian tidak berhak mengatur masalah percintaanku!” tegasnya lalu menarik tanganku, kami pergi meninggalkan mereka. Aku melihat ke belakang, tapi entah mengapa wajah kedua orang tuanya tampak tersenyum sambil menunduk, apa aku salah lihat.
Dia membawaku ke mobil, lalu dengan kesalnya dia menutup pintu kuat. “Kasihan orang tuamu,” ucapku dan dia menatapku lagi sambil tersenyum.
“Kasihan apanya pasti mereka tersenyum melihatku kabur membawa seorang wanita bersamaku. Orang tuaku itu hanya ingin aku dewasa tapi melakukan cara yang mengancam hidupku.”
Kenapa dia bisa tahu kalau orang tuanya tersenyum? Berarti tadi yang aku lihat itu benar. “Apa kita akan meninggalkan mereka di sana? Itu namanya kamu tidak punya sopan santun, sana minta maaf.” Dia menatapku kesal.
“Kau ini.” Seperti biasanya dia langsung menerjang bibirku, lumatan yang diberikannya membuatku terpanah. Kini aku ikut membalasnya dengan memainkan benda panjang di mulutnya.
Tak mau kalah dia juga memainkan benda panjang di mulutku, mengisap mulutku dan menekanku kuat. Walau sedikit sesak aku tetap mengikuti permainannya, kupegang bagian bawahnya, lalu kuelus pelan, membuatnya mengernyit.
Dia semakin lincah menciumku, aku membuka kancing celananya dan mengeluarkan miliknya. Dia tersenyum dan kini mencumbui leherku membuatku sedikit sakit.
Tak mau kalah kunaik turunkan tanganku sesuai irama, dia tampak senang. Selesai mencumbuiku di leher, kini dia pindah ke arah lain. Dibukanya kancing bajuku, digengam dengan sangat lincah, sedangkan tangan satunya lagi stay dengan lembut.
Karena sentuhan yang dilakukannya tanpa sengaja aku memberhentikan pekerjaan di bawah. Membuat dia memaksa tanganku untuk memainkan miliknya lagi.
Aku melakukannya lagi sambil menahan nikmat yang dia lakukan, puas dengan tubuhku dia menatapku. “Aku sedang datang bulan,” ucapku dan dia tampak kesal, kemudian lihat ke bawah.
Dia melihat tanganku menggenggam milkiknya yang menjulang ke atas itu. “Kalau begitu aku pinjam tanganmu,” ucapnya dan langsung saja memegang tanganku.
Dinaik turunkan tanganku seperti laki-laki mencari kenikmatan sendiri. Dia memgerang sambil memaksa tanganku. Rasanya tanganku sangat panas dan sakit saat dia memaksanya.
“Hm,” desahnya tanpa memikirkanku, aku tetap meminjamkan tanganku.
“Ya ...,” erangnya lagi dan benar saja dia langsung melepas tanganku dan menyemprotkan semua cairannya ke bawah.
Sangat banyak yang keluar, kekentalan punyanya, dan aroma yang menyumbat hidungku membuatku mau muntah. Aku tidak tahu kalau cairan itu yang selama ini masuk ke tubuhku dan bisa membuatku hamil.
“Kenapa aku tidak memasukkannya ke mulutmu ya?” ucapnya di tengah kelelahan dia.
“Kamu gila?” Dia pun tertawa dan mengambil tisu membersihkan miliknya, aku menatapnya kesal dan dia terheran.
“Pakai air biar bersih dan uapnya tidak ada,” ucapku dan dia terkekeh.
“Buatkan,” ucapnya dan aku mengambil minuman botol dan menuangkan air ke miliknya, kemudian mengelapnya. Aku menatapnya dan dia tersenyum, tanpa aku sadari perbuatan aku tadi membuatnya berhasrat lagi.
Dia menatapku sayu, meminta jatah lagi tapi aku menolaknya dan dia mengelus dirinya, persis seperti anak kecil. Dia mengambil tanganku dan menatapku manja.
Aku melepas tanganku dan memukul miliknya kuat, membuatnya kesakitan dan menatapku kesal. “Jika milikku rusak, aku tidak punya anak. Kamu mau tanggung jawab?” ucapnya dan aku tertawa.
Dia langsung memakai celananya lagi dan menatapku kesal, aku tidak peduli dan menyiram bekas cairannya tadi dengan air yang tersisa. “Ayo cuci mobil, mobil ini sangat bau,” ucapku dan dia langsung memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobilnya.
“Jangan marah, Es,” ucapku sambil menahan tawa, dia menatapku kesal.
“Sakit tahu,” ucapnya lagi dan aku melihat ke arah miliknya.
“Sakit tapi masih itu ya?” tanyaku dan dia langsung kontak melihat ke arahku.
“Kan bekas tadi.” Aku langsung tertawa dan menepuk bahunya dia menatapku kesal, sesampainya di tempat tujuan. Kami langsung turun, kisaran satu jam kemudian akhirnya selesai.
Aku melihat Chaing He, dan dia menatapku heran, dasar tidak tahu kode-kodean. “Aku lapar,” ucapku dan dia tersenyum lalu menjalankan mobilnya. Beberapa menit kemudian kamu sampai.
“Aku mau makan mie,” ucapku masih di dalam mobil.
“Kalau lapar makan nasi dulu, jika tidak perutmu akan sakit,” ucapnya keluar mobil dan aku mengikutinya. Terserah dialah yang penting aku makan, aku mengikutinya mencari tempat duduk.
Dan dia mulai memesan lagi, saat dia mau mengatakan pesanannya aku langsung menarik daftar makanannya dan menatapnya kesal. Kuperhatikan makanan yang benar-benar dimasak bukan Cuma direbus saja.
Setelah aku menemukannya aku memesannya dan Chaing He terpaku menatapku, aku memang memesan banyak tapi kenapa dia memasang muka seperti itu.
Setelah pelayan itu pergi dia mendekatkan mukanya ke arahku. “Kamu tahu tidak berapa harga daging yang kamu pesan?” Aku menggelengkan kepalaku dan dia tertawa lalu kembali duduk dengan bagus.
Kini aku mendekatkan wajahku ke arah dia. “Apa meniduriku tidak cukup membayarnya?” Dia langsung menegang dan menutup mulutku kuat, aku membantah dan dia melepaskannya.
“Pelankan suaramu, terserah kamu saja mau makan apa.” Aku langsung tersenyum manis di hadapannya, beberapa menit kemudian makanan tersebut datang dan aku langsung menyantapnya.
Dia hanya tersenyum, setelah selesai kami langsung kembali ke mobil. “Kita mau ke mana sekarang?” tanyaku dan dia juga tampak bingung.
“Sebentar lagi malam, kini ke pasar malam saja,” ucapnya dan aku langsung mengangguk kegirangan, di sana pasti banyak makanan ringan yang enak untuk dicicipi oleh benda panjang di mulutku.