Pasar Malam

1160 Kata
Di pasar malam, aku melihat sekelilingku banyak orang berlalu lalang, aku menatap satu pria. Dia tampak sangat tampan. Chaing He memegang tanganku lalu menarikku. “Kita naik apa?” tanyanya dan aku diam, semua permainannya mengerikan aku takut ketinggian lagi. Aku melihat setiap permainan yang ada, dan benar saja semuanya sungguh menegangkan. “Kita makan saja,” ucapku menunjuk ke tukang es krim. Dia terdiam lalu pergi menghampiri, aku kira dia bakalan tetap di situ. “Belikan aku,” bisikku dan dia melihatku sedikit malas. Dikeluarkannya dompet miliknya lalu memberikan beberapa lembar uang padaku. Aku langsung membeli dua dan memberikan dia satu, dia memakannya dengan sangat nikmat. “Kita akan naik itu setelah es krim ini habis.” Dia menunjuk ke arah permainan yang sangat es trim. Dengan ketinggian yang bahkan saat aku melihat ke atas aku sudah pusing. “Kita ke situ saja,” tunjukku ke rumah hantu. Walau itu lebih seram, tapi lebih baik dari pada aku teriak minta ampun saat di atas nanti. Di sana aku bisa menutup mataku. Saat kami ke sana, aku kira ini rumah hantu biasa rupanya rumah hantu rel kereta api. Jika hantunya tiba-tiba muncul aku mana bisa kabur karena gerbongnya menjepitku. Chaing He sudah membeli tiketnya dan dia memaksa aku naik. Mau tidak mau aku naik, saat pintunya ditutup semuanya tampak gelap. Gerbong pertama sudah dijalankan begitu pun dengan gerbong kedua dan ketiga. Sangat jelas mereka berteriak minta tolong, sedangkan Chaing He tersenyum manis. Kini giliran gerbong kami, saat gerbongnya jalan aku langsung memeluk tangan Chaing He. Benar saja saat melewati tirai semuanya gelap dan aku merasakan kaki dan rambutku dielus. “Aa!” teriakku dan Chaing He malah terkekeh, aku mengikat rambutku langsung dan menaikkan kakiku ke paha Chaing He. “Lihat setannya lucu,” ucapnya dan aku tetap menutup mataku memeluk tangannya. “Lihatlah, buka saja matamu, tidak ada setan di sini. Hanya tempatnya saja yang gelap.” Aku membuka mataku perlahan, dan ternyata benar tidak ada apa-apa hanya gelap saja. Tiba-tiba boneka setan jatuh dari atas. Aku berteriak sampai kerongkonganku kering. Matanya sama mataku bertatapan. Aku menangis dan Chaing He memelukku sambil terkekeh sedikit. Aku terus menutup mataku sampai ada cahaya yang terang, aku membuka mataku. Dan melihat setan yang mengerjaiku tadi. “Tidak lucu tahu, seram!” ucapku langsung keluar, sedangkan Chaing He hanya tertawa. “Kamu yang ajak malah kamu yang ketakutan,” ucapnya dan aku memalingkan wajahku dari dia. “Sudah jangan menangis lagi.” Dia mengelus kepalaku dan memelukku. “Kita naik itu saja ya,” ucapnya dan aku menggeleng. “Aku takut ketinggian,” jawabku dan terdengar jelas bahwa dia menahan tawa. “Ya sudah, kita pulang saja. Aku yakin mereka sudah pulang.” Aku menatapnya, sungguh dia mau pulang? Apa dia tidak takut kalau orang tuanya masih di sana dan memarahi dia di sana. Dia menarikku dan aku hanya bisa mengikutinya. Selama perjalanan aku sangat takut, bagaimana nanti kalau aku sampai di usir, di mana aku akan tidur? Sesampainya kami di rumah, aku melihat ruang tamu dan kosong. Apa benar mereka semua sudah pulang. “Kamu pulang.” Mataku langsung sontak melihat ke asal suara tersebut. Itu papanya Chaing He. “Hm,” jawab Chaing He membawaku, aku menunduk ke papanya saat lewat, lalu kupukul dia, apa dia tidak punya sopan santun sama sekali menjawab papanya seperti itu. Dia membawaku ke kamar, lalu pergi mandi. Aku memakai kamar mandi satu lagi untuk mandi, selesai mandi aku langsung tidur. Aku tidak tahu dia sudah keluar atau belum. “Baju aku mana?” tanyanya saat aku masih setengah sadar, apa dia baru keluar sekarang. Aku bangun langsung mengambil pakaian dan memberikan padanya. “Aku tidur,” ucapku berbaring kemudian, selesai memakai pakaiannya dia juga tidur di sampingku. “Aku bukan istrimu, kenapa kamu selalu tidur di sampingku?” tanyaku dan dia malah memelukku. “Tapi ini kamarku.” Aku baru sadar kalau selama ini aku yang tidur di kamarnya, kulepaskan pelukannya dan berniat untuk pindah. Tapi dia langsung menarikku dan menjatuhkanku di dadanya. “Mama dan papaku menginap di sini, jadi tidurlah di sampingku,” ucapnya memelukku erat dan aku kembali mengenakan selimutku. Kulihat kelopak matanya, ternyata dia sudah tidur. “Kamu belum memberi ciuman selamat malam,” ucapnya, aku kira dia sudah tidur ternyata hanya menutup mata saja. Aku menolak dan menutup mataku, dia menggoyang tubuhku tapi aku tetap menutup mataku. Diciumnya pipiku dan aku tetap menutup mataku, diciumnya bibirku bahkan menggigitnya kecil dan aku tetap menutup mataku walau tanganku sudah menampar pipinya pelan. Dia berhenti dengan aksinya, lalu aku membuka mataku pelan. Dengan sigap dia mengulum bibirku, aku tersenyum dan mengikuti arus yang dia berikan, lumatan demi lumatan membuatku terangsang lagi. Dia menciumku sedikit ganas, menurutku ini bukan ciuman selamat malam melainkan ciuman nafsu. Dia tetap menciumku dan aku hanya diam, aku sudah capek mengikuti iramanya. “Kamu ini, setidaknya beri aku ciuman mesra karena aku tidak bisa menyentuhmu,” ucapnya dengan nada sedikit kesal. Aku hanya tertawa kecil dan mengucup pipinya pelan. “Tidur saja, Cuma satu minggu saja kok,” ucapku menutup mata dan dia menggoyang tubuhku membuatku membuka mataku. “Ada apa?” tanyaku dan dia menunjuk ke arah bibirnya. “Kan tadi sudah?” jawabku dan dia menggelengkan kepalanya. Kukecup bibirnya, lalu dia membuka mulutnya sedikit, aku mulai menciumnya dan memainkan bibir dia. Dia memegang dadaku dan aku semakin cepat memutar permainan. Ditariknya tengkukku, dan kini permainan sangat dalam, kenapa dia sangat ahli. Aku semakin merasa panas, apalagi sentuhan tangannya yang menyentuh membuatku merasakan geli seketika. “Sudah cukup,” ucapku mendorongnya dan dia malah menatapku dengan wajah kasihan, apa dia tidak puas dengan ciuman tadi? Apalagi yang dia inginkan? “Aku mau tidur,” ucapku langsung menutup mataku. Setelahnya aku tidak tahu apa-apa. Saat aku bangun aku melihatnya memelukku seperti biasa, aku melepas pelukaannya dan pergi mandi Selesai mandi aku langsung turun ke bawah, betapa kagetnya aku saat melihat kedua orang tuanya duduk di meja makan. Kenapa aku bisa lupa kalau orang tuanya tidak pulang semalam. Aku tidak bisa kembali lagi, mereka sudah melihatku. Aku terpaksa menghampiri mereka. “Pagi Tan, Om,” ucapku dan mereka mengangguk. “Pagi, duduklah mari makan,” ucap Papanya Chaing He. Walau aku ragu, aku tetap duduk, bibi menyediakan makananku. Rasanya roti ini sangat susah ditelan saat kedua orang tua ini di depanku. Apa mereka tidak akan marah. “Di mana Chaing He?” tanya mamanya. “Di kamar Tan, masih tidur,” jawabku gugup dan dia kembali melanjutkan makanannya. “Itu ... maaf, gara-gara aku pertunangan Chaing He ja-“ “Santai saja,” potong papanya Chaing He. Kok aku disuruh santai, bukannya harusnya mereka marah ya. Gara-gara aku anaknya menunda pertunangannya dan aku malah menerima perlakuan baik dari mereka. “Baik Om, tapi aku tetap salah,” ucapku lagi. “Mama dan Papa tidak peduli, jadi lupakan saja.” Suara itu, aku kenal betul itu milik Chaing He. Kami melihatnya menuruni anak tangga satu persatu sambil mengeringkan rambutnya mengenakan handuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN