“M-maksudnya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kapan? Di mana?” Aku berdiri, lalu kutatap Mas Hanif lurus. Aku mencoba mencari sorot kebohongan atau ketidakseriusan di matanya, tetapi nihil. Aku tidak menemukan keduanya. Tatapan Mas Hanif saat ini benar-benar serius. Tatapan yang memang sudah sering dia tunjukkan padaku tiap kali sedang tidak ingin bercanda. “Di pesawat dan di bandara, itu adalah pertemuan kedua kita, Da. Atau mungkin lebih dari itu, tapi hanya kita enggak sadar. Tapi yang sangat jelas Mas ingat, di bandara bukan kali pertama kita ketemu dan ngobrol.” “Lalu kapan dan di mana pertama kali kita ketemu? Terus, kalau memang benar begitu, satu kali pertemuan yang sebelumnya, apa membuat Mas menginginkanku? Hanya dalam sekali bertemu? Ini lebih lucu lagi!” Aku menggeleng