Melihat Rizda sarapan dengan lahap, aku benar-benar lega. Dia pasti sangat kelaparan saat ini. Kulihat dia bahkan sudah menambah nasi sampai dua kali. Sejak awal menikah, Rizda tidak pernah jaga image soal makan. Jika dia lapar, dia tidak ragu untuk nambah. Jika tidak, dia hanya akan makan seperlunya saja. “Ada nasi nempel di bibirku-kah, Mas? Kenapa Mas lihatin aku terus?” “Enggak papa. Mas cuma seneng aja lihat kamu makan. Makan yang banyak, biar kenyang.” “Pagi ini enggak tahu kenapa rasanya perut kempes banget. Padahal semalam kan makan banyak, ya?” “Kamu tahu betul alasannya— argh!” aku memekik pelan ketika perutku ditonjok dengan siku. “Mas bener, sih. Tenagaku sampai habis, bis, bis, bis!” Rizda menoleh, lalu menatapku dengan mata memicing. “Tinggal menagih utang cerita.” “Si