08:INTUITION

1983 Kata
There is a voice that doesn’t use words. *** “Balik ke ballroom yuk, El. Nanti pada berprasangka buruk kita ke mana.” “Ke mana?” “Ini hotel, El.” Eldra tersenyum. “Oke.” “Sayang, aku mau tanya.” “Hmm. Kenapa, baby?” “Kalau menurut kamu, kapan waktu yang tepat untuk kita menikah?” Tangan Eldra terulur, membelai lembut pipi Sofi. “Anytime kamu siap.” “Kamu sesiap itu nikahin aku?” Sebuah anggukan Eldra beri sebagai jawaban. “Kamu ngga kesal kan sama Papi?” tanya Sofi lagi. “Nggalah!” jawab Eldra. “Baby, setiap orangtua punya caranya sendiri untuk membekali anak-anaknya, punya kekhawatiran masing-masing ke penerus mereka. Termasuk mengharuskan anak-anaknya menyelesaikan pendidikan master baru kemudian menikah, seperti yang Papi mau. Termasuk mewajibkan anak-anaknya menguasai bela diri hingga belt tertinggi seperti Papa Ga. Termasuk mengasah bakat seni sebagai skill seperti yang Ayah Edo lakukan. Atau wajib menguasai ilmu management apa pun pilihan karir mereka seperti yang Papi Ari terapkan. Aku menghormati keinginan Papi Ian kok. Karena suatu hari nanti, saat kita punya penerus, mungkin aku pun menginginkan hal yang sama.” “Iya sih.” “Lagian, Papi juga ngga ngelarang kita pacaran kan? Ngizinin kita tunangan dulu juga,” lanjut Eldra lagi. “Malah aku yang dulu bikin masalah sampai Papi kesal sama aku,” lirihnya kemudian. Sofi malah terkekeh, teringat saat Ian pulang dan wajahnya sendu begitu duduk di samping Meta. Ian bilang, Eldra bertanya kenapa Ian seperti dingin padanya sejak tau jika Eldra mencintai Sofi. Ian nyaris mengatakan bahwa biar bagaimana pun ia adalah seorang ayah, dan sama seperti ayah normal lainnya, tentu saja ia cemburu jika ada yang mencintai putrinya. Takut jika putrinya tak lagi mau mendengarnya dan lebih mementingkan kekasih hati. Ya, sanggahan itu tak sempat Ian paparkan berhubung tiba-tiba Eldra melontarkan pertanyaan yang menyayat hatinya. “Apa karena El bukan anak kandung Papa Ga, Pi?” Rasanya, hati Ian sontak tercabik. Ia bahkan tak ingat jika El adalah anak tiri Dirga jika bukan karena El yang menyinggung. Ian merasa marah, mengapa El bisa beranggapan demikian padanya. Padahal seingatnya, ia pun menyayangi El, Anne dan Cantika sama seperti Dirga menyayangi Sofi, Amanda, dan Bian. “Kalau aku jadi Papi, aku juga pasti kesal, El. Bisa-bisanya sih kamu ngomong begitu,” tanggap Sofi. “Aku pasti sudah gila waktu itu,” ujar Eldra yang membuat Sofi kian tergelak. “Ayo, sayang. Ngobrol berdua sama kamu sih ngga akan ada bosannya.” “Hmm. Ayo, baby.” Eldra dan Sofi melangkah kembali menyusuri lorong di tepi kolam renang. Tangan mereka saling bertaut erat, sesekali saling menoleh dan tersenyum, seolah mereka baru saja saling mengakui jika saling memendam rasa sayang. Cahaya hangat dari lampu-lampu tersembunyi di langit-langit memantulkan kilau lembut di sepanjang dinding batu dan lantai marmer yang mengilap. Di sisi kanan dan kiri mereka, pot-pot besar berisi tanaman tropis tertata rapi, memberikan sentuhan alami di tengah desain modern. Suara langkah kaki keduanya terdengar berirama di sepanjang lorong yang hening menuju lift. Sebuah instalasi seni berbentuk lingkaran logam berdiri megah di ujung lorong, menjadi focal point yang menyita perhatian, memantulkan cahaya lampu yang menyorot dengan sempurna. Begitu tiba di depan ballroom, Sofi menahan langkah Eldra, membuat Eldra menoleh dengan tatapan heran. “Kenapa, baby?” tanya Eldra, lembut. Sofi tersenyum simpul, tatapannya berbinar memandang wedding entry di hadapan mereka. “Foto dulu yuk, El. Sayang banget kalau nggak diabadikan di spot secantik ini.” Eldra menyusul senyuman, lalu mengangguk. Ia mengeluarkan ponsel dari saku di bagian dalam jasnya, membuka fitur kamera. "Mau sendirian dulu? Atau berdua dulu?" “Berdua dulu aja,” jawab Sofi. “Aku harus kelihatan cakep lho, El.” “Ngga bisa sekarang dong fotonya.” “Kenapa?” “Harusnya besok pagi, pas kamu bangun tidur, kita foto bareng.” “Itu sih pas aku jelek. Kamu juga bilang aku jelek kalau bangun tidur.” “Terus kamu percaya?” “Apa?” “Mau aja dibohongin!” “Eldra ih! Usil!” Mereka berpose di bawah lengkungan tulle lembut dan pampas grass yang anggun, cahaya lampu temaram menyempurnakan setiap frame yang diabadikan. Suasana hangat dan romantis membuat Sofi sejenak lupa akan pesan misterius yang sempat mengganggunya. Lagipula, Eldra juga mengakui ada yang tengah menyita pikirannya bukan? Jadi, Eldra bukan pembohong seperti yang pengganggu itu katakan. “Kok mata aku merem sih, El?” protes Sofi. “Oh iya!” Tawa mereka pecah di sela-sela sesi foto, saling menggodai saat hasil foto yang didapat kurang sempurna. “Kamu tuh! Sengaja deh pasti!” omel Sofi lagi. “Ngga, baby. Ayo kita ulang,” kekeh Eldra. Baru saja akan berpose kembali, ponsel Sofi bergetar di dalam clutch-nya. El menurunkan gawainya, sementara Sofi mengambil handphone-nya. "Yara nelpon, El." Sofi melirik layar ponselnya, nama sahabatnya terpampang jelas di sana. Yara bukan sekadar teman biasa bagi Sofi. Mereka pertama kali bertemu saat masa Tingkat Persiapan Bersama di tahun pertama kuliah. Meski mengambil jurusan yang berbeda — Sofi di Teknik Industri dan Yara di Teknik Elektro — kebersamaan di kelas dan berbagai kegiatan kampus membuat mereka cepat akrab. Yara dikenal sebagai sosok yang cerdas dan tegas, dengan pemikiran yang kritis dan jiwa kepemimpinan yang kuat. Namun di balik itu, ia adalah teman yang hangat, selalu siap menjadi sandaran saat Sofi butuh tempat bercerita. Hubungan mereka semakin erat ketika keduanya terlibat di organisasi kampus, berbagi tugas, dan sering begadang bersama untuk menyelesaikan berbagai proyek kuliah masing-masing. Yara menjadi semacam pengingat dan penguat bagi Sofi, terutama saat Sofi tengah rapuh setelah putus dari mantan kekasihnya yang tertangkap basah mengkhianatinya. Selain Eldra, Yara yang menemani dan mendukung Sofi hingga perlahan ia melupakan pria bajing4n itu. Kini, meskipun kesibukan kuliah dan aktivitas masing-masing mulai memisahkan waktu mereka, persahabatan itu tetap terjaga. Yara tetap menjadi salah satu orang yang paling Sofi percayai. Eldra mengangguk. "Angkat aja, baby." Ibu jari Sofi menggeser ikon hijau di layarnya. "Hmm?" “Lo masih kondangan?” “Masih,” kekeh Sofi. “Lo di mana?” balasnya kemudian. “Mau ngegas nih. Tapi gue nge-jeans, lek.” Jel3k, panggilan sayangnya Yara untuk Sofi. “Lo pake gaun juga tetap burik. Ngga apa-apalah.” “Iya juga.” Sofi sontak terkekeh. “Tungguin di lobilah.” “Bawa batagor mamang-mamang kan lo?” “Ih ini orang nyusahin gue mulu!” “Bawa ngga?” “Bawa! Tenanglah.” “Oke. Kabarin kalau sudah sampai di parkiran. Jangan valet lo, norak!” “Siap!” kekeh Yara. “Tunggu, bawa motor apa lo?” “Skupi! Kenapa emangnya?” “Kalau niat bawa yang dua tak, batalin aja, Yar. Bikin malu gue doang.” “Lagi turun mesin, pusing gue.” “Yang ada itu motor yang pusing punya majikan kayak lo! Harusnya udah istirahat, masih aja lo paksain jalan. Zholim lo!” “Sudah ah! Ngga selesai-selesai gue ngobrol sama lo. See ya, Lek!” “Hmm. Hati-hati lo!” Setelah panggilan selesai, Sofi menoleh ke Eldra. "Yara lagi otewe. Nanti aku ke lobi sebentar ya, El?" "Aku temenin, ya?" Sofi menggeleng pelan. "Nggak usah, sayang. Kamu mah masuk aja. Kalau kita dua-duanya ngilang ….” “Nanti dikira ngamar,” potong Eldra. “Pindah aja foto-fotonya yuk, El? Sambil nunggu Yara.” “Ke mana lagi, baby?” “Wedding tunnel.” Baru saja Eldra dan Sofi hendak beranjak ke terowongan yang dihias cantik dengan tulle lembut dan kilauan lampu temaram, langkah mereka terhenti. Dari arah eskalator, muncul sosok yang tak asing bagi Sofi. Reno. Mantan kekasihnya. Pria itu berjalan santai, percaya diri, dengan seorang perempuan cantik di sisinya. Perempuan itu menggenggam lengan Reno dengan manja, penampilannya anggun dalam balutan gaun satin berwarna biru gelap, sementara wajahnya dihiasi riasan flawless. Reno sendiri tampil rapi dalam setelan batik lengan pendek, seolah ingin menunjukkan kesan santai namun tetap elegan. Tatapan mereka bersirobok. Sesaat, dunia terasa melambat. Sofi mendadak merasakan gelombang emosi yang menyesakkan dadanya. Ada getir yang muncul begitu saja, padahal ia tau dirinya sudah lama selesai dengan masa lalu. Namun, bayangan luka pengkhianatan Reno seolah kembali menyelinap di sela-sela pikirannya. Dibohongi saja Sofi bisa murka, apalagi dikhianati! Sudut bibir Reno terangkat, membentuk senyum miring yang terasa sok ramah. Pandangannya menusuk, seolah berusaha membaca isi pikiran dan emosi Sofi juga Eldra. "Eh, Sofi. Eldra. Lama nggak ketemu. Apa kabar?" sapa Reno, suaranya santai, tapi Sofi bisa menangkap nada sinis di sana. Tangannya terulur, menyodorkan telapak tangan. Sofi menahan napas, rahangnya mengeras, lalu membuang muka tanpa sepatah kata pun. Ngapain gue salaman sama lo, lo pikir lo siapa? Eldra, yang menyadari ketegangan itu, bereaksi cepat. Ia tak ingin ada keributan di acara yang seharusnya membawa kebahagiaan. Terlebih ini adalah acara keluarga. Dengan tenang, ia yang menyambut uluran tangan Reno, menggenggamnya singkat dengan percaya diri. “Kami baik,” jawab Eldra. “Lo sendiri gimana?” tanya Eldra kemudian, menjaga nada bicara tetap terdengar sopan. Reno terkekeh, matanya sejenak menyipit saat menatap Eldra, lalu bergeser ke wajah Sofi yang berdiri kaku di samping Eldra. “Baik juga. Wah, kalian cocok banget ya sekarang. Harmonis banget … kelihatannya.” Ada tekanan di kata kelihatannya, seolah menyiratkan sesuatu. Sofi masih memilih diam, genggamannya di lengan Eldra semakin erat, menahan diri agar tak terpancing emosi. “Ngga kelihatannya doang, emang harmonis,” tanggap Eldra santai. “Oh, gue dan Sofi masih mau foto-foto. Lo masuk aja.” “Kami nggak datang sebagai tamu kok. Raya Bumi Organizer yang undang. Food testing. Soalnya mereka ada beberapa catering kan. Mereka EO yang handle acara tunangan gue sama calon istri gue ini,” jelas Reno seraya menunjuk ke perempuan di sampingnya yang sedari tadi tak tau malu menatap Sofi lekat. Perempuan itu mengangguk singkat pada Eldra, lalu menatap Sofi lagi. “Kenapa? Ada yang salah?” tantang Sofi. “Lo ngga tau kalau ngelihatin orang terus-terusan tuh ngga sopan?” Lawan bicara Sofi justru tersenyum sinis. Sofi mendengus, tangannya yang menggenggam clutch mengepal kian erat. “Masuk aja, Ren,” ujar Eldra lagi, sebisa mungkin menghindari keributan. Reno mengangguk. “Oke,” tanggapnya singkat. Mantan Sofi itu beserta pasangannya melangkah melewati Eldra dan Sofi. Namun, sebelum benar-benar pergi, Reno sempat melirik dingin ke arah Sofi. Pandangannya turun ke tangan Eldra yang merangkul pinggang Sofi dengan protektif. Senyum sinisnya terbit, namun kali ini terasa membekukan, seolah tengan menyampaikan sesuatu yang tak diucapkan. Sofi menahan napas. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyusup di dadanya. Meski mereka sudah lama berpisah, namun kehadiran Reno masih mampu memunculkan kegelisahan yang tak ia mengerti. Kenapa sih gue? Pikiran Sofi melayang, bertanya-tanya. Namun, sebelum ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, ponsel di tangannya bergetar, nama Yara muncul kembali di layar. "Halo?" "Lek, gue sudah di lobi nih. Di dekat reception." “Kok cepat banget?” “Buruanlah. Keburu anyep nih batagor!” “Oke-oke. Bye!” Sofi melirik Eldra seraya mematikan panggilan tersebut. "Aku ke bawah dulu, ya sayang." "Aku antar." Mereka mengayun langkah menuju lobi. Begitu mendapati Yara, Sofi melangkah cepat, berpelukan dengan sahabatnya itu. Eldra yang menyusul di belakangnya, menyapa singkat. “Gih sana, kamu duluan aja,” ujar Sofi. “Beneran?” “Iya. Kalau ada yang nanyain aku, titip bilang aku di lobi sama Yara, ya sayang?” “Oke,” tanggap Eldra. “Yar, gue duluan.” “Sip!” Namun, sesaat setelah Eldra berpamitan dan berbalik meninggalkan mereka, Sofi mendapati sesuatu yang aneh. Tatapan Yara. Sofi berdiri terpaku, matanya mengikuti gerak-gerik sahabatnya. Yara menatap punggung Eldra yang semakin menjauh, namun tatapan itu … berbeda. Entah sejak kapan Yara menatap Eldra demikian, ada sesuatu yang ganjil di sana. Sorot matanya tampak tajam dan dingin, terlalu intens untuk sekadar tatapan biasa. Yara tidak tersenyum, justru ada ketegangan halus di garis wajahnya. Sofi berkedip beberapa kali, mencoba mengusir pikirannya yang mulai melantur. Ah, mungkin cuma perasaan gue aja. Masalahnya, bagian kecil di dalam hatinya, sungguh tidak mudah diyakinkan. Ada firasat yang mengganggunya, mencengkeram erat di sudut pikirannya. Firasat yang membuat tengkuknya terasa dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN