Terkadang, memberi ruang untuk yang terkasih adalah pengertian terbaik.
***
“Kak Sofi … ayo dong. Lama banget siiih! Grup rame banget tuh nanya kita di mana, mau foto-foto dulu mumpung makeup masih on point,” repet Amanda, lalu berdecak.
Sofi merasa gelisah. Pikirannya tak lepas dari pesan asing yang masuk ke ponselnya. Bagaimana bisa ia tau nama lengkapnya? Pikiran itu berkecamuk, membuat rasa takut perlahan merayap di hatinya. Siapa sih? Kenapa tiba-tiba ngirim pesan teror begitu? Kebohongan apa? Ini orang ganggu El juga ngga ya?
Bagai kerbau dicucuk hidung, Sofi hanya melangkah mengikuti Amanda yang menggandengnya. Sang adik sampai berkali-kali mendengus berhubung jiwa Sofi seolah tengah terbang ke dimensi lain, diajak bicara tak kunjung menyahut.
"Kak, serius deh, lo kenapa sih?" keluh Amanda seraya menarik lengan Sofi agar lebih cepat berjalan, masuk ke dalam lift.
Sofi hanya menggeleng pelan. Ia berusaha tersenyum, namun kegelisahan di hatinya tak mudah untuk disembunyikan.
“Gue bilangin Mami Papi nih kalau ngga mau jawab!” ancam Amanda.
“Ngga apa-apa kok, beneran.”
Tiba di depan ballroom, langkah Sofi terhenti. Matanya terbelalak takjub, pikirannya yang sebelumnya tak fokus kini terpusat ke pemandangan yang menyambut. Di hadapannya terbentang wedding entry yang begitu menawan. Sebuah lengkungan besar dihiasi kain tulle lembut berwarna krem yang jatuh anggun, dipadu dengan pampas grass dan bunga putih yang tersusun di dalam vas ukiran klasik. Lampu-lampu gantung kecil menjuntai di sela-sela tirai, menciptakan cahaya temaram yang berkesan hangat. Lentera kayu dengan lilin di dalamnya berjejer di sepanjang lorong masuk, menuntun setiap tamu ke dalam venue dengan nuansa romantis.
Sofi melangkah perlahan, tak ingin terjerat gaunnya sendiri, sementara titik pandangnya terfokus pada keindahan dekorasi yang memanjakan mata. Langit-langit dipenuhi kain berwarna senada, digantung berkelindan dengan lampu-lampu gantung kecil. Meja-meja panjang tertata rapi dengan balutan linen krem dan centerpiece bunga segar. Di sudut ruangan, sebuah panggung musik kecil berdiri asri, dihiasi dedaunan hijau dan suasana aram temaram.
Acara belum dimulai, namun nuansa akrab dan hangat sudah begitu terasa. Dalam beberapa menit lagi, resepsi akan dibuka. Kedua mempelai akan berjalan menuju pelaminan diiringi sebuah lagu indah dan mendayu yang didendangkan oleh Cantika. Disambung tarian tradisional yang anggun dan penuh makna, sebagai ucapan selamat datang kepada para tamu undangan.
Sofi masih terpaku, mengagumi keindahan ballroom tersebut itu. Namun, ia tersentak pelan saat merasakan sentuhan lembut di kedua lengannya. Spontan, ia menoleh ke balik punggungnya.
“Hi, baby,” sapa Eldra.
Sofi otomatis mengembangkan senyum. Sang kekasih terlihat tampan dalam balutan setelan groomsman. Rambutnya ditata rapi, namun tetap menyisakan sedikit kesan santai, khasnya Eldra. Tatapannya hangat, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Kamu ngga pakai dasi?” balas Sofi.
“Bawa kok.”
“Dibawa doang, ngga dipakai?”
Bukannya menjawab, Eldra malah menanggapi dengan ekspresi konyolnya, cosplay tercekik.
“Kamu tuh,” kekeh Sofi seraya memukul pelan lengan Eldra.
“Baby?”
“Apa?”
“Kamu kenapa?” Suara Eldra terdengar lembut, penuh perhatian.
Sofi terdiam sejenak, seolah berusaha menenangkan gelombang ketakutan dalam hatinya. Padahal tadi ia sudah lupa soal chat misterius itu. Ditambah keberadaan Eldra yang mencandainya, membuatnya merasa nyaman. Namun, pertanyaan barusan, memunculkan kembali kebingungannya.
“Ngga apa-apa kok, sayang,” jawab Sofi. Tak terdengar meyakinkan. Ia lalu menyapukan pandangan ke sembarang arah, membuat Eldra menyadari jika Sofi tengah menutupi sesuatu darinya.
Eldra memperhatikan wajah Sofi dengan seksama. Ia kemudian meraih tangan Sofi, menggenggamnya erat. “Ayo foto-foto?” ajaknya seraya mendelik ke depan panggung musik. Sepupunya yang lain tengah sibuk mengambil posisi di sana.
Sofi mengangguk antusias. Otaknya memberi perintah tegas ke dirinya sendiri agar melupakan chat tak penting itu. Tak seharusnya ia merasa tak aman di tengah-tengah suasana hangat seperti ini.
Acara resepsi pun dimulai. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan dan orangtua memberi kata sambutan, para tamu pun dipersilahkan memberi doa restu dan menikmati hidangan yang disediakan. Eldra duduk di sebuah kursi yang paling dekat dengan salah satu pojok ruangan, berhadapan dengan zuppa soup, pempek, batagor, soto Bandung, dan yang baru saja diletakkan Cantika adalah lava cake plus ice cream dan es kopi su5u.
“Apa lagi?” omel Cantika.
“Ngga ikhlas?” sahut Eldra.
“Ya nggalah!” sulut Cantika. “Selamat makan, Abang! Semoga sakit perut!”
“Heh!”
“Biarin! Sebel! Adek mulu yang disuruh!”
“Soalnya Anne disuruh Papa mulu. Lo doang yang available.”
“Ish! Emang dasar resek!”
“Gih sana! Ngapain kek.”
“Enak aja! Mana?” tanggap Cantika seraya mengulurkan tangannya dengan posisi telapak menengadah.
“Apaan?”
“Iiih! Antriannya panjang tau! Adek aja belum ngambil makanan! Antri lagi jangan-jangan udah keburu habis! Bayar!”
Eldra mengatupkan bibirnya, menahan tawa. “Gratis begini, ngapain gue bayar?”
Cantika mendengus. Ia beringsut, mendekati Eldra lalu mencubiti sang abang hingga Eldra berdiri dari duduknya. Di saat yang tepat, Cantika dengan cepat mengambil dompet di saku Eldra.
“Malah ngembat!” protes Eldra.
Sang adik tak peduli, tanpa melihat isi dompet Eldra, Cantika meraup lembaran sebanyak-banyaknya lalu meletakkan dompet kosong di atas meja sebelum pergi meninggalkan Eldra. Benda pipih terlipat itu Eldra ambil, menelisik isi dalamnya yang hanya tersisa selembar lima ribu rupiah.
“Anjiiir, kena rampok gue!”
Suara tawa yang renyah membuat Eldra menoleh. Ia lalu memberengut, menyadari Sofi yang mentertawakannya.
“Usil sih!” kekeh Sofi.
“Aku baru ambil cash sejuta, baby. Disisain lima ribu doang, kembalian jajan cilok kemarin. Astaghfirullah.”
“Rapelan itu. Uang jasa dan denda nahan kesal dikerjain kamu,” tanggap Sofi. “Ayo makan.”
“Ayo makan?”
“Iya, aku minta. Males ngantri.”
“Cuma dikit.”
“Pelit!”
“Ngga pelit, baby. Tapi cuma dikit.”
Sungguh, Sofi tak paham batasan sedikit dan cukup bagi Eldra. “Segini kamu bilang dikit? Ini porsi gubukannya lebih banyak dibanding wedding-wedding yang biasa aku datangi lho, El. Lava cake-nya aja gede, es krimnya beneran full one scoop.”
“Kita ambil lagi aja di VIP apa ya?”
“VIP buat orang tua, sayang. Soalnya kalau kita-kita diizinin masuk, yang ada ludes dalam hitungan menit. Kalian tuh cowok-cowok kalau makan ngga ada yang ingat kalori!”
“Kalori itu camilan baru? Ada di gubukan?”
“Untung calon suami, ya Allah,” ujar Sofi lalu mendengus keras.
“Ayo makan, baby,” timpal Eldra seraya tergelak.
“Ish, padahal kalau masih pelit mau aku tinggal!”
“Hati aku aja aku kasih buat kamu, timbang makanan begini doang mah, kalau kurang tinggal ambil lagi.”
“Kamu yang ambil?”
“Nyuruh Cantikalah.”
“El iiih!” kekeh Sofi.
“Aku udah bayar di muka tuh uang jasa.”
“Dasar usil!”
Sebenarnya, perut belum benar-benar kenyang. Namun, di acara keluarga mereka, selepas para tamu pulang, makanan yang khusus untuk keluarga akan dikeluarkan. Tak hanya mempelai yang mengisi ulang tenaga dengan hidangan lezat, keluarga pun demikian. Eldra dan Sofi berswafoto berdua sembari menunggu giliran berfoto bersama kedua pengantin di pelaminan. Setelah pengambilan gambar yang seru dan konyol itu, Eldra mengajak Sofi meninggalkan ballroom.
“Ke mana, El?”
Eldra menoleh, mendapati beberapa keluarga jauhnya yang memenuhi salah satu sisi meja makan. Ia mendengus pelan, menyalam satu persatu para om dan tantenya, diikuti Sofi. “Mau keluar sebentar, Tan,” jawab Eldra.
“Kamu datang ke Prancis?” tanya perempuan itu lagi, Garini namanya.
“Iya, Tan. Datang.”
“Kenapa ngga di sini aja sih nikahnya? Esensi pernikahan itu kan di akadnya.”
“Mmm … soalnya Yuna kan masih kuliah, Tan,” tanggap Eldra.
“Sudah tau masih kuliah, ngapain nikah!” ketus Garini. “Ngga sabaran banget.”
Eldra mendengus tanpa sungkan.
“Lho, bener kan Tante?”
“Ngga tuh! Saya ngga sepaham sama Tante,” tanggap Eldra enteng.
“Kamu berani ya sama orangtua!”
Sofi mengeratkan cengkeramannya, mencegah Eldra terpancing adu mulut. Tak elok rasanya jika terlibat dalam keributan di tengah acara yang harusnya menyenangkan seperti ini.
“Kalau kalian, jadi nikah? Tunangan kok lama banget. Nanti kalau kenapa-kenapa ….”
“Lo ngga bisa ngedidik istri lo, Bim?” Entah sejak kapan Dirga mengamati, namun dari ekspresinya, ia benar-benar tak suka cara Garini bicara dengan Eldra.
Bimo, sang suami, hanya mendengus keras, tak membalas omongan Dirga.
“Saya cuma ngobrol-ngobrol kok,” ujar Garini dengan ekspresi angkuhnya.
“Kalau lo berdua, ngga jadi mati? Hidup kok lama banget! Julid lagi! Numpuk dosa doang!” balas Dirga.
Garini mencengo, Bimo menutup kedua matanya. Orang-orang di sekitar mereka menahan napas. Bimo sudah pernah bermasalah dengan Dirga, perkara mengolok-olok Andien, dan berakhir dengan saham perusahaannya yang goyah karena ulah ayahnya Eldra itu.
“Ngga ada kapoknya lo berdua!” omel Dirga lagi. “Anak gue mau nikah sekarang kek, besok kek, tahun depan kek, kapan kek, ngga ada urusannya sama lo. Emang lo nyumbang? Mampu lo nyumbang dengan standar gue?”
“Sorry, Ga,” ujar Bimo akhirnya. “Rini cuma kepingin tau aja. Ngga ada niat nyinggung Eldra,” jelasnya. “Iya kan, Rin?” tanyanya kemudian ke Garini.
“Iya. Saya cuma nanya aja,” cicit perempuan itu, merasa ciut ditatap penuh amarah oleh Dirga.
“Kamu tersinggung ya, El? Ngga kan?” tanya Bimo lagi.
“Tersinggunglah!” Jawaban yang sungguh di luar prediksi Bimo. “Adab bicaranya tolong dibenerin lagi, Tan. Pake tolong lho saya,” lanjut Eldra.
Bimo kelu, sementara wajah Garini semakin memerah.
“Abang keluar sebentar sama Sofi ya, Pa,” ujar Eldra kemudian.
“Jangan lama-lama.”
“Oke, Pa.”
Eldra membawa Sofi ke tepi pool di lantai dasar hotel tersebut. Suasana terasa cukup tenang dan menenangkan. Lampu-lampu hotel yang berpendar hangat membentuk bayangan lembut di permukaan air, berkilau bak serpihan bintang yang jatuh ke dalam kolam. Angin malam bertiup pelan, menyapu permukaan air, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya ke dinding bangunan hotel yang berdiri megah.
Keduanya bergandengan, berjalan tenang area tersebut lalu berhenti di deretan lounger kayu yang tertata rapi, menghadap langsung ke kolam yang tampak berkilau kebiruan di bawah cahaya lampu. Sofi duduk di salah satu kursi santai tersebut, bernapas dalam menikmati udara segar malam itu. Eldra ikut duduk di sampingnya, menyandarkan punggung, matanya menerawang ke permukaan air yang berpendar. Sejenak, mereka terdiam, membiarkan ketenangan memeluk hati dan pikiran.
“Hening banget, ya,” bisik Sofi. “Padahal biasanya rame.”
“Sudah malam, baby. Palingan nanti ada yang muncul satu dua orang, late night swims,” tanggap Eldra. “Nyaman tapi kan? Kadang tenang begini yang kita butuhin. Jauh dari hiruk-pikuk.”
Di sekeliling mereka, lampu-lampu kecil di sepanjang jalur pejalan kaki bersinar redup, membingkai kolam renang dengan indah. Suara gemericik air dari pancuran kecil di sudut kolam menjadi backsound dengan melodi yang begitu damai. Tak ada suara lain lagi kecuali angin yang berbisik lembut di antara dedaunan palem yang melambai malas.
Sofi memeluk lututnya, titik pandangnya tertuju ke permukaan air. “Hmm … malah kadang, tenang tuh jadi barang langka.”
Eldra menoleh, menatap wajah cantik tunangannya. Ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi, aku ngga mau keceriaan kamu ikutan jadi langka. Aku mau tau, apa yang bikin kamu gelisah.”
Tatapan Sofi bergeser, bersirobok dengan Eldra. Seulas senyum terbit di wajah calon suaminya. Eldra lalu menuduk, mengecup kening Sofi singkat. “Ada apa, baby?”
“Ada sesuatu yang bikin aku agak gelisah malam ini,” tanggap Sofi.
“Soal?”
Sofi merogoh clutch-nya, mengeluarkan ponsel, membuka chat misterius yang ia terima tadi sebelum menyodorkan gawai itu ke Eldra.
“Apa kamu nutupin sesuatu dari aku?” tanya Sofi kemudian.
Sementara itu, kening Eldra sontak berkerut saat membaca chat yang bunyinya kurang ajar itu. Ia lalu mendengus keras, tak lantas menjawab. Nomornya beda, tapi pasti ini orang yang sama. Cara nulisnya sama.
Namun, Sofi bisa melihat jelas, ada amarah yang terbit di ekspresi Eldra, pun tangan bebasnya yang mengepal. Berarti benar, apa yang dikatakan pelaku tak sepenuhnya asal.
“Soal Papa Dave?” Sofi bertanya lagi. Suaranya sama sekali tak terdengar menghakimi.
“Kok kamu ngira begitu?”
“Karena sejak hari kepergian Papa yang lalu, keceriaan kamu belum balik, El. Pasti ada yang mengganggu kamu. Apa aku benar?”
“Soal itu ….”
“Kamu mau aku nunggu sampai kamu cerita?”
“Sofi ….”
“Kamu baik-baik aja, El?”
Eldra terkekeh, lalu menyahut dengan anggukan. “Thanks for asking, baby.”
“Syukurlah.”
“Aku … masih mencari tau. Semuanya belum pasti.”
Sofi memilih diam, menatap Eldra lekat.
“Tapi aku pasti cerita. Setelah semuanya lebih jelas. Boleh?”
“Oke,” sahut Sofi.
“Kamu ngga marah?”
“Agak sedih sih.”
“Baby ….”
“Maksud aku … aku takut kamu kesulitan mikirin apapun itu sendirian. Tapi, aku juga sadar, pasti ngga mudah untuk kamu cerita.”
Eldra diam saja, kehilangan kata untuk membalas ucapan sang kekasih. Sofi melingkarkan kedua tangannya di tubuh Eldra, menegakkan punggung dan memanjangkan lehernya untuk melabuhkan kecupan singkat di pipi. “Aku cinta kamu. Kamu punya aku. Kamu ingat kan?”
Seulas senyum terbit di wajah Eldra, ia memeluk Sofi erat, menghindu dalam-dalam wangi cintanya.
“I love you. Sure, aku selalu ingat kalau aku punya kamu.”