06:HARASSER

1763 Kata
The scariest thing about love is knowing how easily you could lose it. *** El mendengus keras. Ponselnya ia silent, lalu letakkan di nakas. Masih sekitar pukul sepuluh waktu Bandung. Semalam ia memang begadang, terlalu asik meng-edit video performance-nya. Dan Anggita benar, seharusnya ia memanfaatkan waktu untuk mencukupi jam tidurnya, bukannya malah membiarkan emosinya terpancing ocehan digital harasser yang tak penting. “Just do whatever you want!” gumam El. Ia lalu menenggelamkan kepalanya di bawah bantal. Tak butuh waktu lama, ketidaksadaran pun menguasainya. Jemarinya menyentuh tuts piano. Dimulai dengan menekan akor C, Cmaj7, F di intro. Suara lembut dari alat musik tersebut mengalun pelan, mengisi ruang dengan harmoni yang hangat namun menyimpan getir. Setiap not yang mengalir membawa Eldra kembali ke masa kecilnya — saat di mana Devan duduk di sampingnya, dengan sabar membimbing tangan mungilnya menekan tuts demi tuts. Eldra memejamkan mata, membiarkan setiap nada menyatu dengan napasnya. Jemarinya bergerak lebih lancar, masuk ke verse, berdendang dalam imaji, memainkan melodi Imagine karya John Lennon. Eldra menghela napas panjang. Ada getaran di dadanya. Setiap not seolah mengoyak lapisan emosinya, mengaduk perasaan rindu dan kehilangan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. “Abang?” Permainannya sontak berhenti, kedua kelopak matanya pun otomatis terangkat. Ia menoleh ke sisi kanan, mendapati Devan yang tersenyum hangat padanya. “Papa?” Sang ayah tak berkata apa pun, hanya senyumnya yang semakin melebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Devan lalu mengayunkan tangannya, mengajak Eldra agar mengikuti. Tanpa ragu, Eldra berdiri dan mengikuti langkah sang ayah. Suasana di sekitarnya tiba-tiba berubah. Mereka kini berada di sebuah jalan setapak yang menanjak, dikelilingi hamparan pepohonan yang rimbun. Cahaya matahari sore menyelinap di antara dedaunan, menciptakan bayangan panjang di tanah. Namun, semakin lama Eldra mengikuti, langkah Devan terasa semakin jauh di depan. “Pa, tunggu!” Eldra mempercepat langkahnya, namun jarak di antara mereka tak juga berkurang. Setiap kali ia mencoba meraih bayangan Devan, sosok itu seakan menjauh. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah bukit. Devan terus melangkah naik dengan ringan, sementara Eldra tertinggal beberapa langkah di belakang. Pijakan yang curam membuatnya kesulitan mengikuti. Batu-batu licin dan tanah yang rapuh membuat langkah Eldra goyah. Devan berhenti di puncak. Ia menunduk, mengulurkan tangannya. Tatapannya lembut, penuh ketenangan. Eldra menyambut, menggenggam tangan ayahnya. Hangat. Begitu nyata. Ia terdiam, menatap lekat wajah Devan yang begitu ia rindukan. Ada rasa nyaman yang mengalir, seolah waktu berhenti di detik itu. “Fokuslah melihat apa yang ingin Abang lihat,” bisik Devan, suaranya lembut namun tegas. Dan Eldra, tak paham apa yang Devan maksud. Dengan tarikan ringan, Devan membantu Eldra mencapai puncak. Namun saat Eldra menatap sekeliling, Devan tak lagi di sana. Sosok yang berdiri di hadapannya dan masih bergenggaman dengannya justru Dirga. Ia diam, menatap Eldra dengan sorot mata tenang. “Papa?” bisik Eldra, bingung. Tak ada jawaban. Eldra menyapukan pandangannya. Pemandangan pegunungan membentang luas, berpadu dengan birunya perairan dan langit yang lembut. Keindahan itu membungkam pikirannya. Tanpa sadar, kakinya melangkah maju, terpesona oleh keindahan di hadapannya. Namun, baru beberapa langkah, ia tersentak. Di depannya, jurang menganga dalam. Eldra membelalak, segera mundur dengan napas tersengal. Jantungnya berdegup kencang. “Papa? Papa di mana?” Eldra panik. Ia berputar mencari sosok Dirga, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya dirinya dan hamparan alam yang sunyi. “PAPA!” teriaknya, suaranya menggema, namun tak ada jawaban. “PAPA!” Kegelisahan membuncah, Eldra terus memanggil, pun memangis karena pikirannya seketika kalut. Lalu, perlahan dunia di sekelilingnya memudar. Ia … terbangun. Matanya terbelalak, napasnya terengah. Di hadapannya, Dirga duduk di tepi ranjang, ekspresi dan tatapannya dipenuhi kekhawatiran. “Astaghfirullah,” ucap Dirga, melirih. “Papa di sini, Bang. Papa di sini.” Tanpa pikir panjang, Eldra segera bangkit dan memeluk Dirga erat, seolah takut sosok ayahnya itu akan menghilang lagi. Bahkan ia sadar, Dirgalah yang ia cari di dalam mimpi tadi. Ia begitu khawatir Dirga terjatuh ke jurang yang dalam itu. Dirga terkejut, namun segera membalas pelukan putranya, menepuk-nepuk punggung Eldra perlahan. “It’s okay, boy. It’s okay,” bisiknya lembut. Eldra tak menanggapi, hanya semakin mengeratkan pelukannya. Ada air mata yang jatuh di pipinya. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu Dirga. Rasanya begitu takut, teramat takut kehilangan. Dirga mendengus pelan, memeluk Eldra kian erat. “Mimpi buruk? Sampai manggilin Papa.” “Hmm,” gumam Eldra. “Lupa baca doa kali tadi?” “Ngga, Pa.” “Papa di sini kok, baru sampai. Kata Oma, Abang tidur lagi.” Eldra mengangguk pelan, masih dalam pelukan sang ayah. Dalam hati, ia berjanji tak akan membiarkan apa pun mengancam keluarganya. Rasa takut di mimpinya menjadi pengingat betapa berharganya mereka. Dan Eldra tau, apapun yang terjadi, ia akan melindungi mereka. Apa pun risikonya. “Ayo bangun, shalat dulu.” “Papa kenapa pulang?” “Kainnya Mama ketinggalan.” “Oh, langsung ke hotel lagi dong, Pa?” “Ngga. Kata Mama mau makeup di sini aja. Ikut antrian. Di hotel ngantri juga kan. Habis ashar aja nanti baru balik. Venue sudah di-handle tangan-tangan kreatif nan profesional kok. Abang mau bareng atau nyusul?” Barulah Eldra mengurai pelukannya. Dirga tersenyum, mengangkat kedua tangannya untuk mengusap wajah kacau Eldra. “Bareng aja, Pa,” jawab Eldra. “Oma Opa juga sekalian pergi sama kita, kan Pa?” “Iya, sekalian.” “Oke.” “Abang?” “Ya, Pa?” “Tadi Lion nelpon Papa.” Eldra terdiam. Jantungnya kembali berdetak cepat, seolah ada kabar buruk yang akan Dirga sampaikan. “Lion ngga bisa bantu meretas,” lanjut Dirga. “Kenapa, Pa?” “Dulu itu, Lion pernah ngerjain proyek terlarang. Di lapangan, begitu operasi berakhir, dia justru ketauan. Hacker yang disewa lawannya, berhasil mendapatkan identitas dia.” “Hacker ini, sekarang kerja sama Luxora Tech, Pa?” tegak Eldra. Dirga memberi anggukannya. “Dan itu sudah cukup lama kejadiannya. Jadi, harusnya kemampuan lawan juga meningkat.” “I see.” “Dae Ho sudah ambil tiket. Dua minggu lagi inshaaAllah dia sampai,” ujar Dirga lagi. “Appa?” Dirga mengangguk lagi. “Kayaknya opsi paling aman saat ini Dae Ho yang dampingi Abang. Kalau Ditya, hubungan kerja dia dengan Lion lumayan banyak record-nya. Sesama hacker kemungkinan besar bisa menemukan fakta itu,” jelasnya kemudian. “Papa ngubungin Daddy Ditya juga?” “Sure. Video call bertiga. Ditya bilang begitu, dan nyaranin Dae Ho aja yang terjun langsung. Ditya akan bantu, tapi lebih ke strategi in case ternyata di lapangan lebih rumit.” Eldra mengangguk. “Hacker-nya Luxora Tech jago, Pa?” “Menurut Abang gimana? Sampai dia bisa mendapatkan identitas Lion lho?” “Abang aja kerja sendiri ya, Pa?” lirih Eldra kemudian setelah mendengus keras. “Ngga. Kita kerjain sama-sama,” jawab Dirga, tenang. “Tapi, Abang ngga mau …” “Justru karena sama-sama, kita bisa lebih berhati-hati, Bang.” Eldra mendengus pelan. Kedua bahunya jatuh terkulai. “It’s ok, boy. Seperti yang Abang bilang, Papa pun akan mencari tau jika masalah yang sama menimpa Papa. I’m fine, and we’ll be fine.” “Iya, Pa.” “Ya sudah, dzuhur dulu sana,” ujar Dirga seraya beranjak, melangkah menuju pintu kamar yang sudah menjadi kamar Eldra sejak ia menjalani pendidikan di kota tersebut beberapa tahun lalu. “Pa?” Dirga menoleh lagi, celah pintu yang terbuka membawa suara ramai di luar sana menyapa pendengaran Eldra. “Thanks.” “Thanks to you too. Terima kasih karena sudah jujur dan melibatkan Papa.” *** Eldra beralih ke lemari pakaian di sudut kamarnya. Handuk berwarna navy masih melilit di pinggangnya, tetesan air pun masih jatuh dari ujung-ujung suarainya. Ia mencari jas yang akan ia kenakan. Hari ini ia harus menghadiri acara resepsi pernikahan sepupunya, Bumi yang menikah tiga bulan lalu di Provence. Ia menilik setelan jas serba hitam dengan kening berkerut. Jas itu terlihat elegan terbuat dari bahan linen blend yang begitu nyaman namun tak mudah kusut saat dikenakan. “Semoga ngga ada yang bikin mood ambyar, ngga ada yang usil nanya kapan kawin!” ucapnya, merapal mantra. Keluarganya memang begitu hangat dan pengertian. Namun, tidak semua di keluarga besar memiliki karakter yang sama. Ada saja yang tetap merasa paling sok perhatian, padahal kehadiran mereka saja terasa begitu mengganggu. “Bang? Masih lama?” tanya Anne yang barusan mengetuk pintu kamarnya. “Lima menit lagi turun,” jawab Eldra. “Yang lain sudah siap.” “Oke!” seru Eldra. Ia mematut dirinya lagi, memerhatikan bagaimana setelan itu membungkus tubuhnya. Tentu saja, ia tampak gagah. Tak lagi menunda waktu, Eldra pun bergegas meninggalkan kamarnya, menyusul orang-orang terkasihnya yang sudah siap berangkat bersama menuju venue walimahan. “Wiiih Abang Eldra,” ujar Arna seraya bertepuk tangan, tampak kagum. “Untung akadnya sudah di Provence. Coba kalau di sini juga, bisa ketuker mempelainya,” seloroh Dirga. “Dari bajunya juga ketauan Pa siapa mempelainya,” kekeh Eldra. “Anak Mama, meuni kasep pisan,” puji Andien kemudian. Diam-diam Eldra tinggi hati namun di wajahnya hanya terukir senyum canggung. “Sudah siap?” Eldra mengangguk. Ia melipat dasi yang sedaritadi digenggamnya, menyisipkan ke saku. “Tinggal pakai sepatu, Ma.” “Papa nyalain mobil kalau gitu,” tanggap Dirga. “Abang aja yang bawa, Pa.” “Oke.” Sementara di sebuah kamar hotel yang ballroom-nya menjadi tempat perhelatan acara malam itu, suara senandung merdu mengisi ruang. Sofi mematut dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya sempurna. Gaun panjang berwarna mauve lembut membalut tubuhnya dengan anggun. Kain tulle tipis yang melapisi keseluruhan gaun menciptakan efek dramatis yang lembut, seolah mengikuti setiap gerakan tubuhnya. Potongan V-neck yang menyilang di bagian d**a memberikan kesan elegan tanpa berlebihan, sementara detail ikat pinggang berhiaskan ornamen kristal kecil menambah sentuhan mewah dan mempertegas siluet rampingnya. Roknya jatuh mengembang ringan hingga menyentuh lantai, menghadirkan aura klasik dan romantis. Surai Sofi ditata simpel, beberapa helai dibiarkan terurai membingkai wajahnya. “Kak, ayo?” ajak Amanda yang baru saja menuntaskan polesan lipstiknya. “Sudah harus kumpul di ballroom nih." “Lo sudah?” balas Sofi. “Sudah.” “Oke.” Sofi menyambar clutch yang warnanya senada dengan gaun. Ia memeriksa isinya, memastikan tak ada yang tertinggal. Namun, bias cahaya lampu notifikasi membuatnya penasaran. Sembari melangkah menuju pintu, Sofi membuka layar ponselnya, memeriksa bilah pemberitahuan. Sebuah nomor asing yang mengiriminya chat pribadi menyita perhatiannya. Sofi membuka pesan itu, sederet kalimat yang terpampang disana langsung membuat sekujur tubuh Sofi menegang. +628167891xxxx: Apa kamu tau tunanganmu adalah seorang pembohong? Siapkah kamu kalau ternyata dia menyimpan rahasia besar yang sangat kamu benci? Sofi bergeming, tak membalas sama sekali. Ia sungguh berharap, orang itu salah target. Namun, chat berikutnya membuat jantung Sofi seketika mencelos. +628167891xxxx: Aku serius, Sofiya Elyna Dewantara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN