Pagi-pagi sekali, Anya sudah tiba di Kebayoran, tepatnya di depan rumah bosnya. Hari ini rencananya ia akan pergi bersama Shaka dan Demian ke Bandung untuk menyelesaikan dua pekerjaan, survey calon kantor cabang dan bertemu partner bisnis baru. Mereka tidak akan menginap, jadi semuanya harus selesai dalam satu hari.
Ini pertama kalinya Anya mengunjungi rumah Shaka. Meski sudah sering ke Kebayoran dan bahkan pernah menginap di rumah eyangnya Dhevi, tapi ia belum pernah masuk ke rumah Shaka sama sekali. Saat tiba tadi, ia sempat kebingungan memilih pintu masuk yang benar. Rumah keluarga Shaka dan Dhevi memang berjajar tiga dengan rumah uwak mereka, bahkan halaman belakang mereka menyatu. Meskipun Shaka sudah mengatakan rumahnya berada di paling ujung dan berlawanan dengan rumah eyangnya Dhevi, Anya tetap saja merasa ragu.
Setelah turun dari taksi online, Anya langsung bertemu dengan satpam yang bertugas di pintu kecil untuk pejalan kaki.
"Selamat pagi, Bu," sapanya ramah tapi nada suaranya tegas.
"Pagi juga pak, ini rumah pak Shaka, kan?"
"Iya betul."
"Hmm... saya mau ketemu Pak Shaka, sudah janji sebelumnya," jawab Anya.
"Bu Anya, ya?" balas satpam tersebut.
"Iya," jawab Anya lega. Setidaknya Shaka tidak lupa menitip pesan kepada satpam bahwa ia akan datang. Terbayang jika Shaka lupa, mungkin ia harus menjelaskan dulu siapa dirinya dan juga keperluannya, dan pasti dia harus menunggu konfirmasi dulu dari dalam boleh masuk atau tidak. Untung saja semuanya tidak terjadi.
Satpam mempersilakan Anya masuk, tapi ia malah tetap berdiri di depan pos satpam.
"Langsung saja, Bu, ke dalam," ucap satpam itu lagi.
"Bisa antar saya, Pak? Saya belum tahu rumahnya, takut nyasar," pinta Anya dengan nada ragu. Melihat besar bangunan dihadapannya kini, Anya tidak yakin masuk tanpa bantuan satpam, masa dia harus pakai google maps?
"Oh, baru pertama ke sini ya, Bu?" tanya Satpam itu sambil tersenyum.
"Iya, Saya pernahnya ke rumah paling ujung sana, rumah Adek," jawab Anya singkat sambil menunjuk ke arah rumah eyang Nino.
"Owh rumah Adek. Mari, Bu, ikut saya."
Anya mengikuti langkah satpam muda itu menuju pintu samping, sepertinya jalur yang mereka lewati ini bukan tempat tamu resmi.
"Pak Demian sudah datang belum, Pak?" tanya Anya sambil melirik sekeliling. Ada enam mobil di sana, tetapi tidak ada satu pun yang ia kenali sebagai milik Demian, sopirnya juga tidak ada.
"Belum, Bu. Ibu yang pertama datang."
Anya lega dengan jawaban itu, setidaknya dia tidak terlambat.
Satpam mengantarkan Anya melewati garasi. Anya mencoba mencatat dalam ingatannya. Dari luar, rumah ini memiliki tata letak yang mirip dengan rumah eyang Dhevi yang hanya berjarak satu rumah dari sini. Anya tidak tahu bangunan mana dulu yang dibangun, tapi salah satunya pasti terinspirasi dengan bangunaan sebelumnya. Sampai di pintu masuk, Anya dititipkan kepada ART untuk diantar masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, di dalam rumah tepatnya di ruang makan, Om Wika dan istrinya, Tante Jeje, sedang sarapan. Mereka adalah orang tua Shaka. Tante Jeje menoleh pertama kali saat menyadari pembantunya masuk diikuti Anya, asisten pribadi anaknya yang dia kenali juga sebagai sahabat Dhevi, keponakan suaminya.
"Eh, Anya sudah datang," sapa Tante Jeje hangat.
"Iya, Tante," jawab Anya sambil mencium tangan Tante Jeje, lalu cipika-cipiki. Ia juga menyalami Om Wika yang ikut berdiri menyambutnya sebelum kembali duduk.
"Sarapan dulu, yuk. Abang Shaka pasti belum bangun, kebiasaan banget abis subuh tidur lagi."
Anya menanggapi dengan senyuman, soalnya dia juga sering melakukan itu kalau weekend.
"Bukannya ke Bandung jam delapan, ya?" kata Tante Jeje.
Nah, kali ini tentu saja Anya terkejut. Ia diminta datang pukul setengah tujuh karena Shaka bilang mereka akan berangkat pukul tujuh. Tapi, kenapa Tante Jeje mengatakan pukul delapan? Anya mulai merasa tidak nyaman, seperti ada yang salah. Kalau memang berangkat jam delapan, tidak heran kalau Demian belum datang. Anya mendesah dalam hati. Namun, Anya tidak sempat memikirkan lebih jauh karena Tante Jeje sudah memaksanya bergabung untuk sarapan, meski awalnya ia merasa canggung juga, tapi menolak dia lapar, tidak menolak kesannya mau-an.
"Hmm .. kurang tahu tante, tapi aku disuruh datang setengah tujuh," jawab Anya netral.
"Ooh."
Ada nada maklum dalam jawaban tante Jeje barusan.
Akhirnya, Anya benar-benar duduk bertiga bersama orang tua Shaka, dan tante Jeje memaksanya lagi untuk ikut sarapan. Ia memang belum sarapan, jadi ajakan itu datang pada saat yang tepat. Akhirnya ia pun mau ikut menikmati makanan yang disajikan.
"Gimana kerja sama Abang Shaka? Betah nggak? Ini sudah satu bulan, ya?" tanya Tante Jeje.
"Betah, Tante. Sebenarnya sudah lewat sedikit dari satu bulan," jawab Anya sambil tersenyum.
"Eh nggak berasa ya."
"Berasanya pas gajian, tante," jawab Anya masih dengan senyumnya, apalagi mengingat jumlah gajinya.
"Wah udah gajian, abang nggak pelit kan?"
"O, nggak," jawab Anya cepat, "Bahkan gajinya sangat bagus," tambah Anya lagi.
"Syukur deh, tante takut kalo abang pelit."
"Nggak kok."
"Udah satu bulan tapi Anya nggak pernah ke sini. Kalo asisten pribadi abang kan harusnya sering kesini, Demian yang jadi wakilnya aja sering kesini."
"Beda dong, Bu. Mungkin karena Anya wanita makanya abang maunya Anya ketemu di kantor aja,"sahut om Wika.
Anya hanya mengangguk setuju walau dia tidak pernah berpikir sejauh itu.
"Maksud aku kan biar mudah. Atau kalo memang urusan kerjaannya sampe malam, mendingan mereka kerja di rumah sini aja, jadi nggak pulang malam terus."
"Mungkin pekerjaannya harus keluar kantor kali."
Tante Jeje menoleh ke Anya yang masih mengunyah makanannya.
"Biasanya kalo sampe malam gitu karena ada kegiatan di luar kantor atau di kantor aja, Nya?" tanya tante Jeje.
"Kebanyakan di kantor sih tante, biasanya ada yang dibicarakan, terus kadang langsung dikerjakan."
Anya memang menjelaskan apa adanya. Mereka itu memang lebih sering di kantor saja.
"Tuh kan. Maunya jam lima sore kalian tuh pulang ke sini aja, lanjut aja ngobrol di sini sampai malam juga nggak apa-apa. Peralatan kantornya juga lengkap di ruang kerja abang," ucap tante Jeje. Ibunya Shaka ini sebenarnya khawatir dengan kesehatan anak tunggalnya yang sering sekali pulang malam, padahal pergi dari rumah sudah dari pagi.
"Aku nggak berani usul begitu, tante," jawab Anya sambil menarik sudut bibirnya.
"Nanti tante yang ngomong."
Percakapan mereka terus mengalir ringan. Ini baru kali kedua Anya bertemu dengan Om dan Tantenya Dhevi ini, obrolan mereka lebih banyak seputar perkenalan dan menggali informasi satu sama lain, seperti menanyakan Anya tinggal dimana, kuliah dimana, dan juga soal keluarga. Santai dan asik...tidak formal sama sekali.
Om Wika, yang sudah siap berangkat kerja ke rumah sakit Royal, meminta pamit lebih dulu dan minta maaf harus meninggalkan meja makan disaat Anya masih berhadapan dengan makanannya. Sekarang memang sudah hampir jam tujuh pagi, dia harus segera pergi.
"Maaf ya, Anya, Om duluan. Harus ke rumah sakit sekarang, lanjut aja sarapannya sama tante, ya," katanya sambil berdiri.
"Oh iya, Om. Hati-hati di jalan," jawab Anya sopan.
Sebelum pergi, Om Wika sempat mengingatkan tante Jeje, "Sayang, panggil Abang. Masa sudah jam segini belum keluar dari kamar? Kasihan Anya sudah nungguin."
"Iya, nanti aku panggil," jawab Tante Jeje.
Anya hanya tersenyum kecil. Ia tidak ingin menyela, meski sebenarnya ia mau bilang bahwa tidak masalah jika harus menunggu bosnya itu turun, soalnya ngobrol sama tante Jeje juga menyenangkan dan sarapannya juga enak.
Setelah mengantar suaminya ke teras, Tante Jeje kembali ke ruang makan dan memanggil salah satu pembantu untuk membangunkan Shaka. Pembantu tersebut segera naik ke atas.
"Kalau semua pergi kerja, Tante kesepian dong di rumah?" tanya Anya.
"Ya, sepi. Tapi kadang Tante pergi bareng Nini Priska atau yangti Sarah. Kalau di rumah, Tante lebih sering di studio," jawab Tante Jeje.
"Studio apa, Tante?"
"Studio gerabah. Tante suka bikin guci kecil, vas bunga, dan lainnya. Letaknya di belakang, dekat kolam renang."
"Oh, tante sudah lama suka kegiatan itu?" tanya Anya penasaran, belum pernah dia bertemu dengan orang yang punya hobi seperti itu, apalagi punya studio sendiri.
"Iya, sejak sebelum menikah tante sudah hobi mainan tanah liat itu. Setelah pindah ke sini, Yangpa, Eyangnya abang Shaka bikin studio itu. Tapi sempat terbengkalai lama karena Tante sibuk ngurus klinik Royal. Setelah nggak megang klinik lagi, baru Tante aktif lagi di studio. Kalau Anya, hobinya apa?"
Anya tersenyum canggung. Baru kali ini ada yang menanyakan hobinya, dan ia tidak punya jawaban pasti.
"Wah, kalau itu aku agak bingung jawabnya, Tante. Makan itu termasuk hobi nggak sih?" jawab Anya sambil tertawa kecil.
Tante Jeje ikut terkekeh. "Kalau kamu gendut, Tante percaya itu hobi kamu. Tapi masa orang langsing begini hobinya makan?"
"Habisnya, aku nggak punya hobi spesifik, Tante. Apa ya?" tanya Anya pada diri sendiri sambil coba mengingat apa yang pantas disebut sebagai hobinya.
"Mungkin travelling, tapi aku jarang juga jalan - jalan. Kalau ada yang ngajak sih senang dan suka lihat video-video orang lagi jalan - jalan gitu."
"Tante juga suka travelling, Anya suka kemana aja?"
"Nggak banyak tante, mungkin tepatnya hobi yang belum tersalurkan.."
"Nanti travelling sama tante."
"Wah pasti seru tuh, tapi...aku kan baru satu bulan tante, bisa cutinya masih sebelas bulan lagi."
"Itu juga kalo belum resign karena Adek sudah pulang," ucap Anya dalam hati.
"Nanti kalo ada destinasi menarik, tante pinjam Anya sama abang, masa nggak boleh ... pasti dia izinkan."
"Wah, jadi enak nih, ehm tapi jangan bilang aku yang mau ya, tante," ucap Anya pelan sambil tersenyum. Dia khawatir Shaka akan menuduhnya memanfaatkan ibunya.
"Kamu takut sama abang?"
Anya mengangguk.
"Kalo tante yang ngomong, abang nggak pernah nolak, dia usil tapi nurut sama tante."
Senyum Anya mengembang, "Enak nih kerja sama anak sholeh yang nurut sama ibunya, kalo pak Shaka galak-galak, kayaknya bisa banget gue ngadu kesini."
Pembantu yang tadi naik ke atas kembali turun dan melapor bahwa Shaka baru akan mandi.
"Sudah bilang kalau Anya sudah datang?" tanya Tante Jeje.
"Sudah, Bu," jawab pembantu tersebut.
"Ya sudah, terimaksih."
"Ya, Bu."
Pembantu tersebut pergi dari area ruang makan.
"Bener nggak sih perginya jam delapan?" Tante Jeje kembali bertanya kepada Anya, mungkin ragu dengan jawaban Anya tadi.
"Pak Shaka cuma bilang suruh datang jam setengah tujuh aja, Tante," jawab Anya yang konsisten dengan jawabannya, dia tidak enak kalau mengaku bahwa Shaka bilang mereka akan berangkat jam tujuh.
"Eh, Anya manggilnya Pak Shaka? Resmi banget. Panggil Abang aja, kayak Adek."
Anya tersenyum kikuk. "Sudah terbiasa manggil Pak, Tante. Aneh rasanya kalau panggil Abang. Lucu aja dengernya."
Kali ini Anya salah, yang lucu itu justru seperti sekarang, orang tuanya dipanggil Anya dengan panggilan Om dan Tante, giliran anaknya dipanggil, Pak, bukan sekedar lucu tapi malah ini yang aneh.
Setelah lebih lima belas menit menunggu sejak Anya tahu kalau Shaka sudah selesai mandi, kini suara langkah Shaka terdengar dari lantai atas. Anya agak menegang, dia berusaha menyembunyikan rasa canggungnya, ini pertama kali dia ke rumah Shaka, duduk di meja makan di rumahnya dan ngobrol sama ibunya, benar-benar canggung. Namun, saat ia melihat Shaka muncul di tangga dengan rambut basah dan kemeja yang belum terkancing sempurna, ada sesuatu yang membuat jantung Anya berdebar lebih kencang dari biasanya, sungguh aneh rasanya, mana harum banget lagi.
"Maaf, Saya telat," ujar Shaka yang ditujukan ke Anya dan dia terlihat santai sambil menarik kursi yang tadi diduduki oleh ayahnya.
Anya hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya tanpa suara sedikitpun. Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya, kenapa rasanya seperti ini? Dan kenapa, meski harus menunggu lebih lama lagi, gue nggak keberatan sama sekali?
Ckkk...apa-apan sih ini!
***
Shaka dilayani ibunya tanpa diminta. Tante Jeje mengambilkan minuman dan makanan untuk anaknya itu. Anya memperhatikan dengan takjub, rasanya dia dilayani seperti ini sampai kelas dua atau tiga SD. Dia ingat mamanya terus menerus mendengungkan kata 'mandiri' kalau Anya minta ini itu. Dan sekarang, di depan matanya ada pria matang sematang-matangnya sedang diambilkan segelas s**u dan roti bakar yang sedang diolesi selai oleh ibunya. Antara iri, kagum, dan ingin mengejeknya, ada semua di kepala Anya, tapi tentu saja dia tidak berani mengungkapkannya, bundir namanya.
"Kenapa kalau pergi jam delapan, Anya disuruh datang jam setengah tujuh sih, Bang?" tanya tante Jeje pada anak gantengnya yang wanginya mungkin membuat malaikat yang lewat akan menoleh karena terdistraksi dengan wanginya seperti mandi parfum.
"Eh apa iya?" tanya Shaka menunjukkan wajah kaget sambil menikmati roti bakarnya.
Cuiih, benar - benar palsu!
Anya hanya menunjukkan senyum tipis walau dalam hati meradang, dia lagi malas untuk menanggapi akting bosnya ini di depan ibunya. "Mana mungkin dia sampai lupa kalo dia nyuruh gue datang setengah tujuh, itu aja dia bilang sampai tiga kali supaya gue nggak telat, dasar bocah tua!" Tapi ya sudahlah, sudah kejadian juga. Anya hanya mengambil hikmah dari semua ini, setidaknya dia dapat sarapan yang berbeda hari ini.
"Ibu sih senang Anya datang lebih cepat, jadi kami bisa ngobrol, tapi kasihannya dia pasti harus buru-buru dari rumah, sementara abang enak - enakan tidur."
"Makasih banget lho tante, aku terharu dibelain kayak ini, lopyu tante Jeje."
"Nggak apa-apa, Anya santai kok orangnya."
"Kek di pantai ya, Pak! Enak banget tuh bacotnya."
Sarapan pagi Shaka tidak terganggu sama sekali walau ditegur ibunya. Dia tetap memasang wajah tenang dan menikmati sarapannya, tidak terburu-buru, padahal sudah jam delapan kurang seperempat. O ya, bahkan Demian juga belum tampak batang hidungnya. Anya benar -benar pasrah.
Penampilan Shaka pagi ini memang berbeda, selama ini kalau di kantor, Anya hanya melihat Bosnya itu selalu rapi, wangi dan fashionable, dia benar-benar CEO masa kini. Tapi baru saja Anya duduk satu setengah jam di ruang makan ini, ia sudah tahu ternyata sebelum pergi ke kantor, penampilan bosnya ini acak-acakan juga. Istilahnya pagi ini Anya melihat versi mentahan sosok Arshaka Narendra.
"Assalamualaikum," suara Demian memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa detik di meja ini.
"Waalaikumsalam."
Semua menoleh dan menjawab salam yang disampaikan oleh Demian yang baru saja datang dari pintu yang sama dengan Anya masuk tadi, tapi bedanya dia masuk sendiri, tidak ada yang mengantar. Anya melihat ke arah jam dinding yang ada di dekat meja makan, ternyata pukul delapan itu tinggal beberapa detik lagi, fix hanya dia yang disuruh datang jam setengah tujuh!
Demian menyalami tante Jeje dulu, lalu duduk di sebelah Anya.
"Sarapan dulu, Dem."
"Ya Tante," jawab Demian tanpa basa-basi, dia sudah menganggap di sini seperti di rumahnya sendiri, beda dengan respon Anya yang masih mau- malu dan canggung seperti tadi.
Demian mulai mengambil sarapannya dan disaat yang sama ponsel tante Jeje berbunyi, dan itu membuatnya beranjak dari meja makan lalu keluar menuju pintu samping ke arah taman.
Demian menoleh ke arah Anya yang duduk di sebelahnya,"Sudah makan, Nya?"
"Udah nambah dua kali pak, saya udah satu setengah jam di sini."
"Rajin amat."
Shaka berdehem.
"Lagi jajal peruntungan, Pak. Siapa tahu kalau datang lebih cepat bisa dapat rezeki, eh ternyata dapat sarapan gratis, enak lagi," jawab Anya sarkas, tentu saja ditujukan ke Shaka yang menyuruhnya datang setengah tujuh, dan dia seolah tidak mendengar deheman Shaka tadi.
"Serius?"
Wajah Demian agak kaget.
Anya mengangguk dengan tatapan sangat ingin meyakinkan Demian kalau dia tidak sedang berdusta.
"Serius dong, Pak. Saya paling takut bohong, dosa soalnya, apalagi sampai akting kaget pas lagi bohong."
Shaka hanya tersenyum tanpa melihat ke arah Anya, dia tahu sedang disindir asistennya itu.