Bos Usil

2475 Kata
Pintu samping menuju taman dibuka dari luar, yang masuk dari sana tante Jeje bersama Yangti-nya Dhevi. Mereka masuk sambil ngobrol dan Yangti membawa paper bag coklat di tangannya. Tentu saja Anya langsung berdiri menghampiri untuk menyalami yangti sahabatnya itu, dia sangat mengenalnya. "Eh ada Anya, ya," sapa yangti yang kaget melihat ada Anya karena taante Jeje tidak bilang sejak mereka bertemu di luar tadi. "Iya, yangti," jawab Anya sambil tersenyum ketika mereka cipika cipiki. "Anya kan sekarang kerja di kantor abang, tante," jelas tante Jeje. "Oh iya ya, waktu itu Adek pernah bilang kalo Anya sudah jadi asisten pribadi, Abang." Demian dataang menghampiri dan ikut menyalami Yangti, setelah itu tante Jeje dan yangti ikut bergabung di meja makan. "Bang, yangti mau titip ya buat tante Dea. Ada barangnya yang ketinggalan kemarin waktu dia ke sini," ucap yangti sambil memperlihatkan paper yang dibawanya,"Charger mas Azki sama titipan aa' Owka," ucap Yangti memberitahu isi paper bag tersebut walau tidak mengeluarkan isinya. "Iya yangti," jawab Shaka. "Kalau nggak sempat mampir ke rumahnya, telepon aja, nanti sopir tante Dea yang ambil di tempat Abang." "Iya gampang, nanti kayaknya bisa mampir sebentar kok," jawab Shaka lalu menoleh kearah Anya," Nya, tolong dipegang titipan yangti." Anya mengambil paper bag yang diserahkan yangti kepadanya. Mereka sudah lupa soal yang menyindir dan orang yang tersindir tadi. "Titip ya, Nya." "Iya, yangti." Anya meletakkan paper bag itu di dekat tasnya supaya tidak ketinggalan. Anya tidak membawa apa-apa selain tote bag yang berisi dompet, ipad, mukena lipat super kecil, hp dan power bank, lalu pouch kecil berisi lipstick, bedak dan sunscreen. Kata Shaka dia tidak perlu membawa laptop, tapi Anya merasa tidak yakin soalnya Shaka suka dadakan, bisa saja tiba - tiba dia minta dibuatkan surat atau apapun yang dia butuhkan, sementara sekretarisnya jauh, makanya Anya membawa Ipad saja yang masih muat kalau dimasukkan ke Tote bag mahal miliknya, dan tentu saja tidak berat. Harap diketahui, ini tote bag mahal pertama yang dibelinya dengan uang gaji sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri, tahun lalu. Kalau beberapa tas mahal lainnya dia dapatkan dari Dhevi sebagai hadiah ulang tahun, lulus kuliah dan oleh-oleh dari Paris dulu. Sementara Anya dan Demian ngobrol dengan tante Jeje dan yangti, Shaka masuk ke dalam salah satu kamar yang ada di dekat meja makan, tadinya Anya tidak tahu Shaka mau melakukan apa di kamar itu, setahunya kamar Shaka di atas karena tadi dia turun dari sana. Tapi setelah keluar dari kamar tersebut, penampilannya berubah. Rambutnya yang tadi basah dan tidak disisir, sekarang sudah rapi seperti biasanya, kemejanya juga sudah dimasukkan sempurna ke celana yang dilingkari ikat pinggang kulit mahal berlogo mereknya, sudah pasti mahal. Penampilannya semakin sempurna dengan jam tangan mewah yang mungkin seharga mobil sejuta umat produksi Jepang. Anya tidak terlalu kaget kalau melihat Shaka memakai barang bermerek, selama bertahun-tahun dia sudah melihat apa yang Dhevi punya, kan mereka sama. Tidak ada barang- barangnya yang murah, mulai dari tas bermerek, sepatu, baju, jam tangan, hingga mobil keluaran terbatas. Tapi keluarga mereka ini memang bukan tukang pamer, mereka memiliki itu karena merasa nyaman memakainya dan kebetulan mampu membelinya. Tidak ada flexing-flexing di media sosial seperti yang dilakukan oleh orang kaya baru atau orang kaya tanggung seperti yang banyak beredar sekarang ini, dan jangan berharap menemukan barang kw, premium atau mirror di keluarga ini, bisa kecewa nanti. "Udah mau jalan sekarang, Bang?" tanya Tante Jeje melihat Shaka sudah siap. "Iya Bu." "Kalau kecapean atau kemalaman, nginep aja di Bandung," saran tante Jeje. "Waduh," Anya yang kaget, dia tidak punya persiapan untuk menginap. "Nggak bisa nginep, besok Abang ada meeting sama anak marketing, Bu. Ini cuma sebentar kok, paling juga habis ashar sudah jalan dari sana," jawab Shaka. Pfiuuh, Anya lega. Jangan sampai dia kena dua kali jebakan Batman, sudahlah tadi datang kepagian, masa dia harus ikut mendadak menginap juga? Bisa - bisa side A side B, dong. "Oh ya udah, hati-hati di jalan ya. Bilang sama Edo jangan ngebut-ngebut." "Iya Bu, Ibu mau dibeliin apa dari Bandung? Yangti?" Mendengar itu Anya jadi teringat mamanya, tadi pagi waktu pamit, dia sama sekali tidak menawarkan seperti ini, Ah kurang jadi anak berbakti nih gue. "Nggak usah, ibu lagi diet," jawab Tante Jeje lalu terkekeh kecil, dia seperti malu mengakuinya. "Yangti juga nggak usah, Bang. Tante Dea kan baru pulang dari sini, dia banyak bawa oleh-oleh makanan kemarin itu," tolak yangti. "Oh ya udah.." Shaka mencium tangan yangti dulu, setelah itu dia beralih ke ibunya, selain mencium tangan tante Jeje, Shaka juga mencium pipi kiri kanan ibunya itu lalu memeluknya, prosedurnya komplit juga rupanya. Anya yang tidak pernah pamit seperti itu mendadak insecure melihat pemandangan itu. Dia jadi ragu, yang salah prosedur pamit itu, dirinya atau Shaka sih? *** Hampir jam setengah sembilan pagi, akhirnya mereka meninggalkan halaman rumah keluarga Shaka dengan menggunakan mobil SUV mewah milik Shaka, Range Rover sport berwarna hitam metalik. Shaka sangat jarang memakai mobil SUV ini untuk bekerja. Mobil ini biasanya dipakai kalau ia sedang ingin hangout dan menyetirnya sendiri. Kalau untuk ke kantor sehari - hari, dia lebih suka memakai mobil sedan Mercy hitam atau BMW putih miliknya. Mobil yang dikendarai oleh Edo kini sudah naik ke jalan layang Antasari, jalanan ramai lancar, kecuali arah sebaliknya yang terlihat lebih padat. Tujuan mereka ke Bandung kali ini untuk memenuhi dua agenda, pertama meninjau tempat yang akan dijadikan kantor cabang untuk perusahaan alat kesehatannya dan kedua untuk bertemu partner bisnis baru di Bandung. Seperti yang Shaka bilang ke ibunya tadi, ini hanya sebentar, paling tambah satu tujuan lagi yaitu rumah tante Dea. "Nya, punya tempat makan favorit nggak di Bandung?" tanya Demian tiba-tiba. "Buat Anya semua makanan juga favorit, salah nanya lo," sahut Shaka mendahului Anya. Anya yang sedang melihat pemandangan kemacetan di flyover Antasari di arah berlawanan, sempat juga mencebikkan bibir bawahnya mendengar jawaban Bos yang duduk di sebelahnya ini. Walaupun jawaban itu benar, tapi setidaknya biarkan saja dia yang menjawab sendiri, tidak usah diwakili, sudah kayak kuis cerdas cermat aja mau jawab harus pake perwakilan. "Betul banget yang dibilang pak Shaka, saya itu penikmat semua makanan, mau ayam, ikan , daging, sayur lalap atau mateng, mau bayar atau gratis, tetap dinikmati Pak. Itu bentuk rasa syukur dapat makanan," jawab Anya agak berfilosofi. "Kan." "Yaudah sih pak, jangan pake kan..kan ...kan." Ingin rasanya Anya menjawab begitu, tapi mana berani. "Saya sama Pak Shaka kalo ke Bandung, selain urusan kerjaan...kulinernya juga. Tapi seringnya makanan jadul dan khas Bandung gitu, kadang ngemper, bukan ke resto mewah, nggak apa- apa kan, Nya? Kecuali sama rekan bisnis ya terpaksa ke resto," jelas Demian. "Perut saya fleksibel pak, ngemper atau resto bisa nerima, setelan pabriknya udah begitu, aman di semua keadaan. Memangnya Pak Shaka aman makan ngemper?" "Asal tempatnya jangan ada bau-bauan yang merusak mood, saya lebih milih makan di mobil kalo keadaannya kayak gitu." "Kalo ada bau-bauan berarti makanannya juga nggak enak dong pak?” "Bukan bau-bauan busuk aja maksudnya, tapi misalnya ada resto yang open kitchen, biasanya mereka masak goreng ayam atau pas lagi goreng ikan, kan asapnya tuh kemana-mana, saya nggak mau aromanya nempel di baju saya atau di rambut, Kayaknya nggak enak." Fix Pak Shaka ini pria metroseksual, mulai dari penampilan yang mengikuti trend masa kini, hingga alergi dengan bau-bauan yang akan menempel di bajunya dan bisa saja merusak penampilannya, nyusahin nih biasanya. "Ooo gitu." "Nanti kita juga ada mau makan di emperan, tapi kita makannya di mobil, bukan karena ada bau-bauan tapi lebih karena panas aja," ucap Demian. Nambah lagi nih, tadi masalah bau, sekarang masalah panas, terus kenapa harus ngemper? "Ya udah Pak, saya nanti ikut aja. Kalau saya nggak mau ngikut, nanti saya nggak diajak makan." Demian terkekeh kecil," Masa nggak diajak." "Anya nggak usah diajak, makannya banyak," celetuk Shaka tiba- tiba, dia memang hobi cari gara-gara. "Jangan gitu dong, Pak. Kita udah berapa kilometer perjalanan nih ngebahas makanan dan tempat makan, dari Antasari sampe Simatupang, lho. Asam lambung saya nggak bisa cuma diajak ngobrol PHP mau diajak makan gitu terus dia nggak bakal naik, pak, tetap naik dia kalo nggak diisi, tega amat." Shaka dan Demian sontak tertawa, Edo pun sampai ikutan. Ekspresi Anya memang seserius itu ketika menyampaikan protesnya. Apa yang diucapkan Anya itu kadang memang dari hati kecil, tapi entah kenapa kedua bosnya itu bisa tertawa terbahak-bahak kalau mendengarnya, mana sopirnya ikut-ikutan, lagi. "Asam lambungnya aja nggak bisa kena janji palsu ya, Nya, apalagi orangnya." "Nggak bisa pak, nggak tahu nih pak Shaka bisa-bisanya kepikiran nggak mau ngajak saya makan," jawab Anya atas tanggapan Demian. Lagi- lagi tiga pria dalam mobil itu tertawa. Perjalanan ke Bandung ditempuh dalam waktu dua setengah jam, tapi Anya hanya menikmati perjalanan itu satu setengah jam dalam keadaan terbangun, yang sisa satu jamnya dia tertidur saat kendaraan melintasi Tol Cipularang. Dia sangat mengantuk, apalagi yang dia dengar hanya suara musik, tidak ada pembicaraan sama sekali. Kepala Anya sempat tertunduk, kadang terkulai ke kaca jendela. Shaka sudah gemas melihatnya, apalagi yang punya kepala seperti tidak masalah walau terantuk ke kaca jendela. Shaka hanya melirik saja, dia tidak mau memberi perhatian terlalu berlebih, bisa - bisa sopirnya yang baru mulai ngobrol dengan Demian jadi berpikir macam - macam, soalnya tanpa sengaja kadang dia melihat ke belakang melalui spion tengah. "Anya, kita sudah sampai," panggil Shaka. Walau tanpa sentuhan, hanya panggilan sesingkat itu, tapi Anya sudah langsung bangun, tidurnya memang setipis itu. Anya melihat mereka baru saja masuk di daerah Pasteur, dia bahkan belum melihat gerbang tolnya. "Nggak bisa adem dikit dan pake musik ya, langsung tidur. Lap tuh ilernya," ucap Shaka lagi tanpa menoleh ke arah Anya. Tentu saja punggung tangan Anya reflek menyentuh sudut bibirnya hingga pipi, kering, tidak ada jejak basah sama sekali seperti yang dituduhkan Shaka barusan. Kalau diperhatikan, wajah Anya terlihat kesal sebenarnya sudah dikerjai oleh bosnya itu, kalau tadi beneran ileran, kan malu. "Saya tuh jarang ngiler Pak, kecuali capek banget. Ini kan Saya nggak capek, cuma gabut doang, mana selera musik yang dipasang tua banget, pasti lagunya mas Edo, deh," jawab Anya santai sambil menuduh Edo juga. Demian yang duduk di depan tertawa mendengar jawaban Anya. "Itu lagu bapak, mbak," jawab Edo. Anya melotot, dan dia tidak mau melihat ke arah Shaka, dia malah menoleh keluar jendela sambil mengutuk dirinya sendiri. "Jaga mulut, Anyaaa...astaga, kenapa sih gue!" rutuk Anya. Ada saja jawaban Anya yang membuat suasana jadi lucu. Tapi menurut Demian, sahabatnya juga kelewat usil, sekarang dia malah kena batunya, memangnya enak dibilang selera tua? Shaka memang tidak pendiam seperti ayahnya, aslinya dia usil tapi suka jaim di depan karyawannya. Mungkin karena Anya ini terlihat polos, ada pengecualian, Shaka suka mengganggunya dengan melemparkan kalimat agak provokatif dan membuat Anya kesal, tapi karena Anya menjawabnya santai, jadi terdengar lucu. "Lagu itu terkenal, enak aja kamu bilang tua." "Saya cuma ngeledek Mas Edo kok pak, lagunya enak ..malah bikin saya tidur," jawab Anya memilih mengalah daripada berdebat. Jangan sampai dia diturunkan di sini, si Titi lagi di Jakarta. Bukan dia tidak bisa pulang ke Jakarta sendiri, malas repotnya saja. "Kita langsung ke kantor ya pak?" tanya Edo. Dia bukan hendak melerai cikal bakal pertikaian bos dan asistennya, tapi dia memang sedang di lampu merah perempatan yang menentukan mau belok kiri atau belok kanan, tergantung tujuan. "Iya ke kantor dulu, terlalu cepat kalau mau makan siang sekarang," jawab Shaka sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. "Tapi sebelum jam dua belas kita sudah harus ke tempat makan itu, Ka. Kalau nggak, nanti keburu rame banget dan parkir susah. Takutnya lo jadi nggak bisa makan di mobil karena kejauhan dapat parkirnya," sahut Demian mengingatkan Shaka yang ingin makan di tempat favorit mereka dari dulu kalau ke Bandung. "Iya kita kan nggak lama di kantor, udah telepon Pak Hasan, kan?" "Udah, dia udah dari tadi kok nungguin kita di sana." "Hmm." Lampu lalu lintas berubah hijau, Edo membawa mobil yang dikemudikannya belok ke kanan, menuju Komplek Ruko tempat kantor cabang Royal Persada. Dia sudah hafal jalan menuju ke ruko tersebut karena sudah dua kali ke sana, pertama waktu bosnya ini survei ketika hendak membeli dan kedua setelah akhirnya ruko itu dibeli dan mau direnovasi. Selama direnovasi, Shaka memang tidak pernah ke sini, dia menyerahkan sepenuhnya kepada kantor arsitek Paman Juna, setelah dikabarkan jadi, baru lah dia ke sini sekarang. Dalam waktu beberapa menit saja mereka akhirnya tiba di Komplek Ruko yang cukup luas. Rata-rata ruko di sini dijadikan sebagai kantor, hampir tidak ada yang dipakai sebagai toko. Ketika Edo memarkirkan mobilnya di depan ruko yang cukup besar, tepatnya dua ruko yang dijadikan satu, Anya langsung mengambil kesimpulan bahwa inilah kantor yang mereka tuju, walaupun belum ada plang nama di sana. Suasana di sana tidak terlalu ramai oleh aktivitas para tukang, karena ini memang sudah di penghujung finishing, hanya sisa- sisa sedikit lagi dari penyelesaian keseluruhan. Ruko itu memang bukan bangunan baru, tetapi Anya tidak tahu kapan Shaka membelinya, mungkin sebelum dia bekerja di kantor Shaka. Yang jelas, sekarang ruko itu sudah melewati proses transformasi besar-besaran. Dibandingkan ruko-ruko di sebelahnya yang semuanya berbentuk standar, ruko milik Shaka terlihat mencuri perhatian. Desainnya jauh lebih estetik dan modern, seolah-olah bangunan baru yang berdiri di antara ruko lama. Modelnya menunjukkan sentuhan profesional, membuat Anya yakin ini bukan hasil renovasi asal-asalan. Ia tahu Shaka memang tidak pernah main-main soal bangunan. Selera pria itu selalu tinggi—wajar saja, dia si Mister Perfeksionis. "Menurut kamu bagus nggak ini?" tanya Shaka pada Anya ketika mereka sudah kembali ke lantai bawah setelah sempat mengelilingi lantai dua dan tiga. "Bagus banget, Pak. Ini pasti pakai arsitek kan, ya?" jawab Anya sambil mengamati detail bangunan yang menurutnya halus. Pasti Arsiteknya sudah tahu keinginan Shaka. "Iya, paham juga kamu soal ini, kirain ilmu kamu nggak nyampe kayak si pori-pori," jawab Shaka dan tentu saja dengan nada mengejek. Demian, yang sedari tadi asyik dengan ponselnya, menoleh ke arah mereka. Ia menyadari bahwa Shaka sedang memancing tanggapan lebih dari Anya, dan entah kenapa, ia merasa hal ini bisa memicu keributan kecil. Shaka seperti tidak kapok, nanti ujung-ujungnya dia akan keki sendiri mendengar tanggapan Anya. "Sebenarnya saya nggak paham-paham banget soal desain arsitektur, sih," ujar Anya jujur dengan nada polos. "Saya cuma nggak yakin aja kalau Pak Shaka yang merancang ini semua, kebagusan nggak sih ini? Lagian, nggak mungkin bisa juga, kan? Pak Shaka udah bener jadi owner aja, potongannya dah pas,” jawab Anya lalu terkekeh, jelas - jelas dia tidak yakin dengan kemampuan Shaka soal renovasi ini. Shaka langsung menatap Anya dengan ekspresi sinis, Anya menyadari itu, seketika tawanya mendadak hambar. "Tuh kan, salah lagi nih gue kayaknya," batin Anya yang mulai ketar ketir sendiri. Sementara itu, Demian buru-buru mengalihkan pandangannya, tentu saja dia berusaha menahan tawanya. Ia tahu Shaka akan kesal mendengar ucapan Anya tadi. Ibarat memancing ikan, Shaka malah mendapat ikan buntal beracun, dan sekarang ia terlihat sedang menyesal sudah memancing. "Syukurin, lo!" ucap Demian dalam hati. Dia tidak kasihan pada sahabatnya itu, memang suka cari gara- gara juga, sih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN