Kamu Meremehkan Saya?

2503 Kata
"Kamu meremehkan saya?" tanya Shaka dengan nada dingin dan itu jelas membuat Anya panik juga. Pembicaraan yang mulanya santai saat Shaka menanyakan pendapat soal bangunan ruko ini, tiba-tiba sudah berubah menjadi sedikit horor. Hanya Demian yang bisa memprediksi ini. Tanpa hitungan matematika, tanpa banyak analisa, tanpa ramalan BMKG, Demian dengan mudah menebaknya, yang satu usil dan hobi memancing, dan yang satunya dengan raut wajah polos menjawab dengan spontan, sesuai dengan isi kepalanya saat itu tanpa penyaringan sama sekali, klop kan? Tidak heran kalau sahabatnya ini ujung-ujungnya kesal, emosi, lalu kadang diam seperti orang merajuk, sementara asistennya sibuk klarifikasi soal ucapannya dan minta maaf. Tapi Demian juga sering memanfaaatkan suaasana supaya jadi ramai dengan memancing Anya. "Duh, maaf, Pak. Saya benar-benar nggak maksud gitu," jawab Anya, dia terlihat sedikit gugup. "Makanya tadi saya nanya, memangnya Pak Shaka ngerti ilmu arsitek? Bapak kan dokter, harusnya bikin sehat orang sakit, bukan benerin bangunan," ucap Anya. Demian maju mendekat, "Ini karya pamannya Pak Shaka, Paman Juna namanya. Pak Shaka selalu memakai jasa Paman Juna untuk semua property-nya karena memang sudah sangat cocok dengan design yang ditawarkan," sela Demian sebelum Shaka sempat merespons lebih jauh, "Tapi kalau memang dibutuhkan, Pak Shaka juga mampu mendesain, kok, Bos kamu ini banyak kebisaannya, CEO serba bisa lho ini," tambahnya dengan nada bercanda untuk meredakan ketegangan Anya. "Oh, Paman Juna itu yang istrinya orang Australia itu ya, Pak?" tanya Anya, mengingat informasi yang pernah didengarnya dari Dhevi.. Demian terkejut. "Kamu kenal Paman Juna, Nya?" tanyanya "Cuma pernah diceritain sama Adek, Pak. Waktu nikahan Adek, saya lihat orangnya, istrinya bule kayak tante Jeje, anak-anaknya kayak pak Shaka juga sih, bule-bule nanggung gitu." Anya benar-benar cari masalah. "Bule nanggung?" tanya Shaka dengan ujung nada bicaranya agak tinggi. "Eh iya, maksudnya indo, Pak." Hanya ingin bilang 'anak indo' saja, Anya punya istilah 'bule nanggung' yang lucu bagi yang mendengar dan membuat yang bersangkutan tidak senang dengan predikat itu. "Kok kita nggak ketemu waktu nikahan Adek ya, Nya?" potong Demian demi menyelamatkan suasana agar tetap kondusif, soalnya Shaka sudah mulai 'naik' lagi kelihatannya. "Ribuan orang Pak, saya sudah pusing lihat segitu banyak orang, gimana mau mengenali orang, pak Shaka aja saya nggak pernah lihat." "Kamu banyak kenal keluarga pak Shaka, ya? Saya aja belum banyak kenal juga, padahal sudah main dari SMA." "Tapi nggak semua juga kok, Pak, cuma orang tua sama kakak-kakaknya Adek aja, eh Eyang sama Popa juga. Ehm .. tante Jeje sama om Wika juga nggak sengaja kenal waktu pas saya nemenin Adek. Tapi kalo Pak Shaka saya baru kenal gara-gara kerja di sini, ehm tapi pernah nyicip coklat yang dibawa pak Shaka dari London," jawab Anya sambil tersenyum. "O gitu, jadi kamu pernah dikasih oleh-oleh coklat dari London sama Pak Shaka ?" tanya Demian salah pengertian. "Ngarang! Kapan juga gue ke London bawa coklat buat dia, kenal juga nggak," sahut Shaka cepat. "Eh bukan gitu ceritanya Pak," sanggah Anya cepat, dia tidak bilang begitu tapi Demian mengambil kesimpulan sendiri, tentu saja Shaka tidak mau mengaku. "Pak Shaka ngasih oleh-oleh coklatnya ke Adek, kebetulan satu waktu saya lagi main ke rumah Adek di Cipete, terus dia kasih saya coklat, katanya Pak Shaka yang bawa dari London, jadi bukan pak Shaka kasih oleh-oleh ke saya, Pak," jelas Anya lagi. "Ooo gitu, enak nggak coklatnya, kamu suka?" tanya Demian. "Enak pake banget, Pak. Saya belum pernah nyobain coklat kayak gitu di sini. Ada yang mint juga, rasa makan coklat pake Mentos." "Kalo kamu suka, nanti kalo ke London lagi, kamu bakal di oleh-olehin coklat sama pak Shaka." Shaka melirik tajam pada Demian sahabatnya itu mulai mengarang bebas dan membuatnya seperti berhutang oleh-oleh buat Anya. "Lo aja yang beli, bukannya lo mau cuti ke luar negeri tiga bulan lagi?" "Beda dong, Ka, Gue kan nggak ke London. Eh, Nya. Pak Shaka ini mudiknya ke Amerika atau Kanada. Terus rumah keduanya di Jepang, kamu bisa request oleh-oleh sama pak Shaka." "Nggak usah deh, takut." "Takut kenapa?" tanya Demian. "Takut kebiasaan," jawab Anya. Demian terkekeh, dia kira Anya mau bilang takut sama Shaka. Anya melirik sedikit ke Shaka, bosnya itu tampak menahan senyumnya walau gagal karena Anya masih bisa melihat senyum tipisnya. "Rasanya udah laper ya," ucap Demian yang melihat mood Shaka mulai membaik, "Kita lanjut makan siang dulu yuk." Anya mengangguk setuju karena ini memang sudah mau masuk waktunya makan siang. "Boleh, Pak." Shaka, yang sudah mulai cair lagi, mengiyakan usul Demian. "Lotek atau Mie kocok, Ka?" "Makan lotek di tempat biasa aja," jawab Shaka. "Ok," Demian menoleh ke Anya," Kamu tahu lotek nggak, Nya?" Anya mengangguk,"Tahu dong, Pak. Lotek, Mie kocok, Batagor, saya tahu semua." "Kali ini kita makan lotek langganan saya dan pak Shaka dari dulu, kamu pasti suka," ujar Demian sambil berjalan menuju mobil dan diikuti keduanya. "Sudah dibilang kalo dia suka semuanya," sahut Shaka. Demian terkekeh, sementara Anya memilih untuk diam saja kali ini, dia takut salah komentar lagi, Bosnya ini gampang sekali julid soalnya, dan dia suka tidak sadar sudah berkomentar apa. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju warung lotek yang cukup terkenal di Bandung, katanya Shaka dan Demian sering makan di sana. Warung lotek yang dituju oleh Shaka dan Demian ternyata seperti warung emperan, kiosnya kecil dan sangat sederhana sekali, tapi belum masuk jam istirahat saja, sudah tampak ramai orang mengantri. Anya sudah membayangkan cukup sulit mereka makan di sana, ternyata mereka hanya makan di mobil. Edo, sopir mobil mereka yang turun untuk membeli pesanan mereka. "Jangan lupa es cendolnya, Do." "Iya pak, berapa bungkus?" "Ya buat semua," jawab Demian yang tidak butuh persetujuan yang lain. Kalau tidak ada yang mau, dia yang akan menghabiskan semuanya. "Es cendolnya juga enak ya, pak?" "Enak, tapi cendolnya nggak ijo ya...tapi enak rasanya, cobain aja nanti." Anya mengangguk. "Bilang tuh sama asam lambung kamu, dia ngak di php in, tapi dibeliin makanan beneran, jangan pake ngambek terus jadi naik," ucap Shaka. Anya tersenyum malu - malu karena diingatkan lagi sama Shaka, ucapannya tadi. "Aslamnya bakal paham kalo udah dibikin kenyang pak, dia cuma perlu pembuktian , bukan janji bakal dibeliin makanan doang." "Kamu juga gitu nggak, Nya?" tanya Demian, "Gitu apa, Pak?" "Kayak si asam lambung, perlu bukti, bukan janji." "Saya sih fleksibel pak, dibikin asik aja. yang penting bikin saya kayak remote AC, kalo ilang, please dicariin, jangan di cuekin." "Eh ada yang Curhat, Dem. Emang sekarang lagi sesi curhat ya?" sindir Shaka sambil terkekeh.. "Curcol dikit lah Pak, jangan itung-itungan banget." Demian tertawa. "Saya kalo remote ilang, beli baru Nya, nggak bakal saya cariin." "Pak Shaka gitu juga?" tanya Anya. "Kalo saya pasti nyari..." "Alhamdulillah,, ada juga yang belain." "Nyari ganti yang baru maksudnya." "Elaah, Pak Shaka ngelawak juga nih." "Kamu lagian pake contoh remote segala, kan orang lain - lain menyikapi remote hilang, kalau saya sama pak Shaka lebih milih remote baru daripada nyariin yang hilang." "Duh tanda- tanda kalo saya ngambek dan nggak masuk kerja, bakal langsung di ganti ya, Pak?" "Ya iya dong, ngapain saya repot-repot," jawab Shaka. "Iya lagi...ngapain repot-repot," ucap Anya menyadari kekeliruan yang diucapkannya tadi. Obrolan mereka terjeda karena Edo sudah datang, dia membawa plastik yang berisi empat bungkus lotek dan ada es cendol juga. Tadinya Anya sempat bingung bagaimana cara memakan loteknya, soalnya tidak ada piring, hanya sendok plastik. Ternyata cara makannya memang di kertas pembungkus yang berwarna coklat yang sudah di alas daun pisang itu, lalu dipegang seperti memegang cone es krim, dan di sendok, seperti dicontohkan Shaka dan Demian, unik! Anya benar-benar tidak menyangka kalau para bosnya ini mau juga makan di emperan, Tadinya dia pikir hanya di tempat yang pantas untuk mereka, seperti resto ber-AC. Anya memang belum pernah makan lotek di sini, tapi menurut lidahnya ini enak sekali, tidak heran kalau warung lotek ini banyak pelanggannya, bahkan sekelas Shaka dan Demian merindukan makanan ini dan menyempatkan untuk mampir kalau ke Bandung. "Sebelumnya udah pernah makan lotek di mana, Nya?" tanya Demian sambil menikmati es cendol yang dijual di dekat tukang lotek, loteknya sudah habis. "Duh apa ya namanya, waktu itu temen kuliah yang ngajakin, Pak. Tapi saya nggak terlalu perhatiin sih. Tapi enak juga kok, warungnya jadul gitu." "Saya sama Pak Shaka langganan makan di sini sudah dari zaman SMA dulu." "Oh ya, seriusan waktu SMA sudah suka lotek, Pak?" "Memangnya kenapa kalau suka lotek dari SMA?" tanya Shaka penasaran, apa maksud pertanyaan Anya? Agak aneh di telinganya. "Kirain pas udah tua aja,Pak, kan jarang-jarang anak muda suka makanan daerah seperti ini, apalagi anak Jakarta." 'Uhuk..' Shaka sampai tersedak es cendolnya dan sempat batuk dibuatnya. "Maksud kamu yang tua tuh siapa?" tanya Shaka setelah batuknya reda, wajah putihnya terlihat sedikit memerah. Shaka sampai salah fokus, bukannya membahas lotek, malah memikirkan soal kata ' tua' yang cukup mengusiknya. "Pak Shaka." Untung saja cendol yang ada di dalam mulut Demian tidak tersembur keluar mendengar jawaban Anya. "Memangnya saya kelihatan sudah tua?" tanya Shaka, suaranya terdengar seperti tidak percaya diri dibuat Anya. "Nggak juga sih." "Kok kamu bilang saya tua?" "Kan Pak Shaka memang jauh lebih tua daripada saya." "Demian nggak kamu sebut." "Yaa... sama aja sih, Pak," jawab Anya pelan dan terdengar ragu-ragu, tapi tetap saja tidak membuat Shaka senang. "Gimana sama aja?" tanya Shaka dengan gumaman, tatapannya beralih ke es cendolnya, dia masih tidak terima dibilang 'tua'. Anya melirik Demian, minta bantuan maksudnya, tapi Demian seperti tidak peduli. Dia membiarkan Anya 'tersiksa' dengan ucapannya sendiri. "Maaf ya Pak, saya nggak ada maksud meledek," jawab Anya mengalah. Memang betul, dia itu sudah jujur. Maksudnya tadi, dibanding masa SMA dulu, tentu saja usia Shaka dan Demian sudah tua sekarang. Cuma salahnya dia hanya menyebut nama Shaka, sepertinya itu jadi masalah besar. "Hmm." Hanya itu tanggapan Shaka, dia benar - benar tidak terima dibilang tua, tadi dibilang selera musiknya tua, sekarang Anya malah terang-terangan bilang dia tua, kan keterlaluan. *** Setelah makan siang, masih ada waktu sekitar dua jam lagi sebelum bertemu dengan rekan bisnis Shaka. Dia memutuskan untuk mampir ke rumah tante Dea tanpa menelponnya, istilahnya kalau ada ya syukur kalau tidak ada di rumah ya suda. Selain mengantarkan titipan dia juga hendak menumpang shalat. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan yang hanya beberapa menit itu, antara kenyang dan perasaan kesal mungkin masih ada. Anya tidak tahu apakah bosnya ini tipe pendendam, tapi aura mencekam itu sangat terasa, dia jadi menyesal sudah mengeluarkan kata tua tadi, Mungkin lain kali dia tidak akan menyebutkan ini lagi karena ternyata bukan hanya wanita yang sensitif dengan kata itu, pria juga. Mereka sudah sampai di depan pagar rumah orang tua Dhevi. Anya sangat familiar dengan rumah ini karena sudah beberapa kali ke sini, bahkan menginap. Dan ternyata tante Dea ada di rumah, terlihat dari mobil yang biasa dipakainya ada di garasi. "Lagi ada tamu kayaknya?" ucap Shaka sebelum turun dari mobil, dia menebak begitu karena di depan mobil mereka ada mobil lain dengan plat nomor Jakarta. "Bukan salah satu mobil Tante Dea, Ka?" tanya Demian. "Kayaknya bukan, mobil Om Azki bukan Mercy yang jenis ini," jawab Shaka. Mereka pun turun dari mobil dan langsung menuju pintu masuk samping, Shaka sudah biasa masuk lewat pintu itu, lagipula kalau masuk dari depan takutnya tamunya sedang duduk di sana.. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Ternyata benar ada tamu yang tidak lain adalah om Dio, saudara kembar tante Dea. "Eh ada Om Dio," ucap Shaka lalu menyalami adik tante Dea itu. "Iya, bang." Mereka semua bersalaman, di sini hanya Demian yang tidak mengenal Om Dio, sedangkan Anya kenal dengan semuanya. "Loh kok ada Anya?" tanya om Dio yang tidak tahu kalau Anya sudah bekerja pada Shaka. "Anya kan sekarang jadi asisten pribadi abang," jawab tante Dea. "Oh gitu, pasti kerjaan Adek deh, Nepotisme, kan?" tuduh Om Dio.. "Siapa lagi?" jawab Shaka yang secara tidak langsung mengiyakan tuduhan itu. Anya mendekat ke arah mama Dea untuk memberikan titipan dari yangti. "Ini ada titipan dari yangti, Tan." "Oh ya makasih ya, Nya ," jawab mama Dea sambil mengeluarkan isi paper bag itu , ada charger laptop dan baju kaos yang terlihat masih baru. "Ketinggalan ?" tanya om Dio. "Iya ini chargernya Mas azki, terus ini baju golf, dibeliin sama Owka pas lagi terbang ke Jepang," jelas mama Dea lalu menyimpan kembali barang-barang tersebut ke dalam paper bag nya dan meletakkannya di atas meja kecil di belakang meja makan . "Makan yuk," ajak mama Dea, karena saat ini mereka duduk di meja makan sedang menikmati makan siang. Walaupun tidak berniat makan, Shaka, Demian dan Anya ikut Duduk di sana. "Habis makan lotek, Tan, kenyang banget," tolak Shaka. "Nggak ngajak-ngajak sih, bang," ucap Om Dio. "Ya Aku nggak tahu Om ada di sini, kalau tahu pasti aku ajak, tapi ngemper Om." "Ngemper juga nggak apa-apa. Jangan bilang kalau ke Bandung cuman mau makan lotek." Shaka terkekeh. "Nggak Om, aku habis survei kantor cabang di sini, abis direnovasi soalnya." "Wah sudah mau buka cabang di sini?" "Iya, Om." "Kenapa nggak minta Juna aja yang renovasi?" "Iya itu dari kantor paman, dan lagi finishing, makanya aku lihat. Kebetulan aku juga mau ketemu partner bisnis di sini, dua jam lagi," jawab Shaka. "Beneran nih nggak mau makan?" tanya Tante Dea sekali lagi. "Nggak usah Tan kenyang banget." "Nyomot apa kek, nih dessert-nya aja." "Anya aja deh, ususnya panjang." jawab Shaka. Anya hanya tersenyum, dia tidak mau menjawab lagi, takut salah seperti tadi. Apalagi sekarang ada keluarganya, bisa-bisa Anya kena triple julid. "Ayo, Nya ... mewakili abang." "Nanti aja Tante, aku mau numpang shalat dulu." "Oh ya udah, mau di mushola atau di kamar Adek?" "Di kamar Adek aja Tante, sekalian mau ke toilet." "Ya udah nyalain aja ac-nya. Bawa mukena nggak?" "Bawa tante," jawab Anya sambil berdiri. Ketika Anya sudah berdiri dan beranjak dari meja makan, Shaka pun mulai menggulung lebih tinggi lagi tangan kemejanya hingga siku karena dia ingin berwudhu juga, tapi dilakukan perlahan karena masih sambil ngobrol dengan om Dio. "Om Dio sendirian ke Bandungnya?" "Sama supir, ada Zico juga." Zico ini statusnya mirip dengan Demian. Hanya saja om Dio tidak punya asisten seperti Anya. "Mana om Ziconya?" tanya Shaka yang hanya melihat om Dio sendirian. "Dia makan siang sama klien, kalo om mau makan makanan tante Dea aja." "Oalah..." "Mau menghemat dia, Bang." Om Dio tertawa. "Kok om Dio nggak ikut lunch sama klien?" "Om tadi sudah dealing sama atasannya, giliran Zico yang ngobrolin ngomongin teknis sama wakilnya, om nunggu di sini, abis makan kan bisa selonjoran dulu," jelasnya. Shaka tersenyum. "Nginap, Om?" "Nggak. Paling jam dua an pulang. Om ada acara lagi abis maghrib nanti." "Oooh, kami juga pulang sore ini." "Abang sama Demian mau shalat juga?" tanya tante Dea yang melihat Shaka seperti sudah siap-siap tapi masih saja ngobrol sama om Dio. "Iya, Tan." "Di mushola aja ya, Bang." "Iya, Tan." Shaka sebenarnya juga punya kamar di sini, maksudnya kamar Ayah dan Ibunya, tapi di Paviliun, agak lumayan jauh kalau dari meja makan ini, sedangkan mushola kecil berada tidak jauh dari ruang keluarga, tentu saja tante Dea menyarankan di mushola saja, Om Dio juga shalat disana tadi. "Om Dio nggak buru-buru kan?" "Nggak, kenapa?" "Nanti aku mau ngobrol sebentar ya, soal kerjaan," ucap Shaka sambil berdiri. "Ya, boleh," jawab Om Dio lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN