Kesabaran Diuji

2500 Kata
Anya sudah bergabung dengan om Dio dan tante Dea yang kini sedang duduk di ruang keluarga di rumah orang tua Dhevi ini, sementara Shaka dan Demian belum selesai shalat. Mama Dea meletakkan kue dan buah pencuci mulut di sana agar bisa dimakan sambil ngobrol. Mereka menceritakan soal Dhevi yang sedang dalam masa penyesuaian di Leeds bersama Rangga. Anya juga menceritakan seberapa sering Dhevi menelponnya, mereka biasa bertukar cerita soal keadaan masing-masing. Dhevi lebih tertarik mendengar bagaimana pekerjaan Anya dengan abang Shaka sekarang, sedangkan Anya penaasaran bagaimana kehidupan Dhevi di sana, juga kuliahnya. "Mungkin karena sudah lama hidup di luar negeri, dia nggak terlalu masalah juga dengan penyesuaian, apalagi Rangga bisa membuat Adek nurut," ucap mama Dea. "Ya pasti nurut lah, tante. Belum jadi suami aja dia udah nurut banget sama kak Rangga, Adek kan fans berat kak Rangga," jelas Anya dan membuat tante Dea dan om Dio tertawa. "Tante nggak berhenti bersyukur kalo mengingat Adek udah nikah dengan orang yang tepat, walau dramanya panjang banget." "Persis sama maknya, dramanya panjang juga, kan?" sahut om Dio yang membuat tante Dea tertawa. Anya ikut tersenyum saja, dia tidak terlalu paham, yang Anya lihat tante Dea agak lumayan 'normal' dibanding Dhevi, mungkin om Azki nih yang berulah, pikir Anya. Shaka dan Demian sudah selesai shalat dan berjalan menuju ruang keluarga. Anya bisa melihatnya karena kebetulan duduknya menghadap ke arah mushola, beberapa saat anya agak terdiam melihat Shaka, kenapa wajahnya abis shalat agak berbeda ya? Kayak wajah orang baek-baek. Hari ini sudah dua kali Anya dibuat terpesona oleh Shaka. "Sini, Bang," panggil tante Dea mengajak Shaka bergabung. Shaka duduk di sebelah om Dio, sedangkan Demian di sebelah Anya. Awalnya mereka membicarakan hal lain sebelum akhirnya om Dio menanyakan apa yang hendak Shaka bicarakan tadi. "Aku lagi coba bisnis baru, Om. Ada skincare sama bodycare dari Korea yang mau masuk ke Indonesia, aku sudah dapat hak pemasaran eksklusifnya di sini. Di sana mereka udah punya brand ambassador buat produk itu, tapi aku mau kita juga punya, versi Indonesia, sebenarnya buat mendampingi yang si BA Korea ini. Jadi rencananya produk yang aku pasarkan nanti mau launching kurang dari dua bulan lagi, Om. Karena ini produk kecantikan, Aku butuh pilihan brand ambassador artis, kira-kira bisa nggak ambil artisnya dari tempat Om Dio?" tanya Shaka. "Boleh aja, syaratnya apa?" "Aku mau minta beberapa kandidat untuk diseleksi. Karena ini produk kecantikan ya syaratnya cantik, dan bukan cuma terkenal aja, kalau bisa memang ada prestasinya seperti pernah menang lomba atau prestasi akademik juga bisa, citranya positif, pokoknya bisa ditonjolkan selain kepopulerannya." "Ada sih beberapa yang pernah menang lomba kecantikan terus jadi artis, yang mahasiswa berprestasi juga ada terus jadi artis, bahkan dokter juga ada." "Boleh Om, kapan ya aku ke kantor buat lihat fotonya aja dulu." "Kalau foto dan portofolionya nanti om suruh sekretaris aja yang kirim. Nanti akan dikirim beberapa kandidat terus tinggal pilih yang masuk persyaratan yang mana, setelah itu tinggal diseleksi langsung. Kalau mau ketemu nanti bisa di kantor atau kita atur lah, mau di kantor abang, di resto atau tempat lain, silahkan." Shaka mengangguk-angguk paham. "Butuhnya kapan? Soalnya nanti harus diatur dulu jadwalnya untuk ketemuan setelah dipilih kandidatnya. Schedule mereka kan kita juga yang pegan," tambah om Dio. "Kalau bisa sih bulan ini sudah ditentukan orangnya, jadi masih ada waktu tiga minggu ini untuk prosesnya. Sebenarnya Agak terlambat sih, karena waktu launching nanti mereka seharusnya sudah syuting iklannya dulu. Tapi bisa deh kayaknya, seenggaknya untuk iklan Banner aja dulu." "Buat syuting juga kita bisa cepet kalau mau." "Oh iya, ada untuk iklan juga Om?" "Ada dong, komplit A sampai Z nya. Mulai dari Talent nya sampai orang yang bekerja untuk syuting dan memproses menjadi sebuah iklan. Sebenarnya banyak loh model-model yang cantik-cantik, tapi memang nggak seterkenal para artis ya, budgetnya juga nggak setinggi artis." "Nggak apa-apa sih Om pakai artis, kita memang mau cari popularitasnya, bukan cuma cantik doang, yang dari korea kan juga artis." "Kalau cantik doang pakai Anya aja, memenuhi kriteria kok ini," sahut tante Dea dan membuat Anya kaget. "Nggak bisa tante, dia nggak bisa menyembunyikan pori-pori wajahnya," jawab Shaka sambil tersenyum. "Gue diem ya dari tadi, tapi lo mancing gue. Ntar lo kiceup sendiri sampai kesel kalo gue sahutin...hadeuuh, sabar Anya..sabar," ucap Anya dalam hati. Om Dio melirik Anya," Eh bisa juga nih, Anya mau nggak jadi model?" "Model apa om, model layanan masyarakat? Jadi pasien puskesmas cocok nih," tambaah Shaka lagi. Dia seperti memanfaatkan diamnya Anya. Om Dio tertawa, tentu saja diikuti yang lainnya. Anya pun hanya tersenyum, dia tidak ingin menanggapi sama sekali walaupun jiwanya meronta, rasanya ia ingin smash lompat karena terus-terusan diberi bola lambung oleh bosnya yang usil tapi baperan. Demian dari tadi terus-terusan melirik Anya, bukan karena naksir, tapi dia sedang menanti jawaban Anya, walau tidak tampak sedikitpun aksi membalas dari Anya. "Ya nggak dong, tapi om serius loh ini, Nya ... mau nggak? Nanti om suruh anak talent yang menghubungi." "Nggak dulu deh om, nanti bosku kalang kabut nggak punya asisten, kan susah nyari asisten kayak aku yang penyabar dan penuh perhatian gini, soalnya bosnya baperan." Kini Demian yang malah tertawa, dia suka jawaban Anya. Semua tertular dengan tawa Demian. Shaka ikut tersenyum, walau garing. Lima belas menit sebelum ke pertemuan selanjutnya mereka sudah pamit. Sudah disepakati Kalau Om Dio akan mengirimkan dulu beberapa foto kandidat sebagai calon brand Ambassador perusahaan Shaka ke Anya, tadi nomor kontak Anya juga sudah di simpan om Dio. Dari sekian banyak calon yang dikirim nanti, mereka bisa menyeleksi menjadi lebih kecil lagi sampai terpilih tiga orang sebagai calon utama. Setelah itu mereka akan mengatur pertemuan, persis seperti usul Om Dio di awal tadi. Shaka, Demian dan Anya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari rumah tante Dea, dalam waktu sepuluh menit saja mereka sudah turun di lobinya, itu menunjukkan saking dekatnya tempat pertemuan itu dengan rumah tante Dea. "Oh cafe ini?" "Sudah pernah kesini, Nya?" tanya Demian. "Sudah sama Adek, tapi saya lupa namanya .... makanya waktu dikasih tahu tadi saya nggak begitu ngeh, Pak," jawab Anya Demian menyebutkan nama pemesan tempat kepada pelayan yang menyambut mereka di pintu masuk, dan mereka langsung diarahkan ke tempat duduk dimana orang yang mau mereka temui sudah menunggu di sana. Pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih dua jam. Di sini peran Anya tidak terlalu banyak, dia hanya menyimak sambil menikmati minuman, ini memang ranah kedua bosnya ini, Anya tidak mengerti. Pukul empat sore mereka sudah meninggalkan Bandung untuk kembali ke Jakarta. Tidak seperti pergi tadi yang hanya dua setengah jam, kali ini mereka pulang memakan waktu hingga tiga setengah jam karena kemacetan di tol dalam kota. Mereka tiba di Jakarta jam setengah delapan malam. Shaka mengajak Demian dan Anya makan malam dulu di salah satu resto sebelum pulang, tepatnya di daerah Senopati, tidak jauh dari rumah Shaka. "Pak nanti dari sini saya boleh langsung pulang nggak?" tanya Anya. Dia bermaksud untuk memesan taksi dari tempat mereka makan sekarang, tidak ada gunanya juga dia ke rumah Shaka dulu, jaraknya aja cuman lima menit dari sini, kalau Demian memang harus ke rumah bosnya itu dulu karena mobilnya di sana. "Nanti bareng saya aja, Nya, saya kan ke arah Cirendeu, kamu bisa ikut sampe Pondok Indah, kan lebih dekat ke Pesanggrahan, biasanya banyak taksi daerah Pim," ucap Demian . "Jangan deh Pak, saya suka ngelunjak soalnya. Kalau sudah nggak terlalu jauh gitu, saya suka minta antar langsung ke rumah," jawab Anya yang tentu saja sambil bercanda. "Dia kan sudah biasa pulang malam sendiri, nggak usah ditawarin... Sudah ada peringatan bakal ngelunjak," sahut Shaka. "Maksudnya sekalian lewat. Kalau dari sini taksinya seratus ribu, kalau dari Pondok Indah Paling lima puluh, lumayan kali menghemat, terus lumayan juga saya ada temannya sampai setengah jalan." ucap Demian ke Anya. "Udah biarin aja, kan dia reimburse juga ongkos taksinya." "Nah bener tuh pak, jadi Pak Demian jangan khawatir ... ongkos taksi saya kan ditanggung sama Pak Shaka. Nanti - nanti sekalian ongkos pesawat untuk liburan ke Jepang atau Korea tolong ditanggung juga ya pak." "Kan..." ucap Shaka ke Demian, dia mau menunjukkan asistennya itu benar-benar ngelunjak. *** Hari ke tiga sejak pertemuan dengan om Dio, Anya sudah menerima foto profil artis - artis dibawah manajemen om Dio sebagai bakal calon Brand Ambassador produk Korea yang akan dipasarkan perusahaan Shaka. Tidak anggung-tanggung, ada sepuluh foto artis, Anya sampai insecure melihat kecantikan mereka. "Buset, makan apa sih mereka sampe kinclong begini? Kalo nanti gue jadi asisten Adek, gue bakal pake skincare yang bikin glowing juga deh, masa gue kalah?" gumam Anya sebelum mengirimkan foto tersebut ke Shaka dan Demian. Anya masih duduk manis di taksi online menuju kantor, foto-foto artis tersebut baru saja dia terima oleh sekretaris Om Dio. Dari sepuluh foto artis yang diterimanya, hanya tiga yang dikenalnya, maksudnya bukan kenal secara personal tapi pernah dilihatnya di TV walau Anya jarang sekali melihat acara TV lokal. Tapi diakui semuanya memang cantik-cantik, kalau disuruh memilih Anya juga bingung. "Terima kasih Pak," ucap Anya kepada sopir taksi online yang sudah mengantarkannya. "Sama-sama mbak." Anya menutup pintu mobil lalu masuk ke kantor melalui lobi. Masih jam setengah sembilan pagi. Para Bos biasanya belum ada yang datang. Paling cepat jam sembilan atau setengah sepuluh nanti mereka baru tiba. Hari ini Anya memang datang lebih cepat karena kemarin dia pulang normal, jam lima sore sudah keluar dari kantor karena Shaka sedang tidak enak badan. Sempat terpikir dia mendoakan bosnya itu sering-sering tidak enak badan supaya dia bisa pulang seperti pegawai lainnya, tapi urung dia lakukan.... "kasihan juga kalau Bosnya itu sakit, soalnya kemarin wajahnya sudah kayak ayam kegigit karet, banyak bengongnya." "Pagi Bu Anya," sapa satpam yang berjaga di depan pintu masuk. "Pagi Pak Seno," jawab Anya sambil tersenyum lalu berjalan menuju lift. Dia juga sempat tersenyum pada mbak-mbak resepsionis yang sedang bertugas. Anya menuju lantai tiga. Gedung ini memang hanya tiga lantai yang berfungsi sebagai kantor, dan di lantai empat, lantai paling atas hanya ada Rooftop setengah terbuka dengan banyak tanaman di dalam pot dan juga dilapisi oleh rumput sintetis, sengaja dibuat seperti Cafe yang Asri. Ruang yang tertutup hanya untuk tempat barista dan duduk di ruangan ber-ac untuk bersantai. Desain gedung yang tidak terlalu besar ini juga estetik seperti properti lain milik Shaka, konon hasil rancangan pamannya Shaka juga yang namanya paman Juna itu, Anya juga baru tahu. "Pagi Yun," sapa Anya pada sekretaris Shaka yang bernama Yuni. Posisi Yuni adalah posisi yang sempat diincarnya ketika melamar kerja di kantor ini, tapi kalah cepat dengan Yuni, makanya dia jadi asisten pribadi. "Pagi, Nya." "Bos belum datang kan?" "Belum, ini kan masih subuh," jawab Yuni sambil terkekeh. Yuni tidak heran kalau hari ini Anya datang pagi, biasanya dia datang sudah lewat dari jam sembilan bahkan sering jam sepuluh, biasanya karena dia bekerja hingga larut malam. Yuni sendiri tidak pernah lembur, jam lima sore dia sudah diperbolehkan pulang oleh Shaka karena kalau Shaka perlu apa-apa masih ada Anya. Anya duduk di kursinya, meja kerjanya berhadapan dengan Yuni walaupun kursinya kerap kali kosong, dia lebih banyak mengikuti Shaka keluar kantor, atau bahkan lebih banyak berada dalam ruangan Shaka.. Baru saja sepuluh menit Anya duduk di kursinya, masuk tanda panggilan masuk di hp-nya, dari Shaka. "Selamat pagi, Pak," jawab Anya cepat. Bosnya ini tidak suka kalau panggilannya lama baru diangkat. "Kamu ke rumah saya sekarang." "Tapi saya sudah di kantor Pak," jawab Anya, tentu saja maksud Anya kalau bosnya itu mau mengajak pergi sama-sama dari rumahnya, itu tidak perlu dilakukan karena dia sudah sampai di kantor lebih dulu, tapi ternyata dia salah sangka. "Saya nggak ke kantor, kamu sama Demian ke sini aja." "Oke baik Pak. Apa saya nunggu pak Demian biar sekalian jalan?" "Demian dari rumah langsung kesini." Lah bisa gitu. "Pak Demian sudah tahu, Pak?" "Sudah." "Oke, Pak." "Sekarang ya, jangan ngobrol dulu sama Yuni." Anya mendongak dan melihat ke arah Yuni yang rupanya sedang memperhatikannya, lalu Anya mencebikkan bibir. "Tapi boleh berdiri dulu kan pak? Soalnya saya lagi duduk, nih." "Ckk, buruan! Minta antar sopir kantor aja." "Oke Pak." "Kenapa. Nya?" tanya Yuni yang melihat perubahan wajah Anya ketika sudah menutup telepon, dia tahu itu telepon pasti dari Pak Shaka. "Belum ada sepuluh menit gue duduk di sini, nggak tahunya disuruh ke rumah karena bos nggak ke kantor, Apa susahnya coba nelpon gue satu jam yang lalu, kan nggak perlu jauh-jauh gue ke sini." "Pak Shaka baru bangun kali." "Nggak, suaranya seger banget ... nggak kayak serak orang bangun tidur," jawab Anya sambil memasukkan ponselnya lagi ke dalam tas. "Numpang Pak Demian aja nanti, Nya. Paling sebentar lagi datang." "Pak Demian sudah otewe ke sana, pasti Pak Shaka udah kasih tahu Pak Demian dari tadi, nyebelin banget kan? Kenapa gue baru dikasih tahu sekarang, coba?" Yuni tersenyum melihat wajah Anya. " Minta tolong dong, Yun, kasih tahu sopir kantor buat anterin gue ke Kebayoran." "Lo tunggu aja di bawah, gue teleponin sekarang," jawab Yuni. Ketika Anya hendak beranjak, terdengar bunyi telepon lagi dari dalam tasnya. "Apalagi nih, mau bilang batal, nggak jadi," gumam Anya sambil menebak tugas selanjutnya. Anya mengambil hpnya dari dalam tas, benar saja, Shaka yang menelpon. "Ya Pak." "Bilang sama Yuni berkas yang kemarin yang dia taruh di atas meja saya, suruh kasih ke kamu aja biar dibawa sekalian ke sini." "Oke Pak." "Kamu udah mau jalan belum?" "Ini baru berdiri, Pak." "Hmm. Jangan lelet." "Iya pak, ini saya sudah mau turun kok." "Berkas saya jangan ketinggalan." Anya menarik nafas pelan meredakan tensinya yang sepertinya sudah mulai beranjak naik, bosnya ini benar-benar menguji kesabarannya. "Iya Pak, Saya sekarang lagi di depan Yuni, saya bilang ke Yuni dulu ya pak supaya berkasnya disiapkan. Setelah itu saya baru menuju lift dan turun dari lantai tiga ini menuju lobi. Tadi Yuni sudah janji mau teleponin sopir kantor buat anterin saya ke rumah Pak Shaka, jadi nanti s saya bisa langsung jalan ke Kebayoran, Insya Allah saya bisa berangkat dari kantor ini kurang dari sepuluh menit lagi, mohon doanya supaya lancar di jalan ya, Pak, Aamiin." ucap Anya dengan bicara yang diperlambat dan intonasi diperjelas supaya bosnya puas mendengar rencana dan aksinya yang sangat terencana anti lelet. "Nggak perlu selengkap itu juga,buruan aja, saya tunggu!" Nada suara Shaka agak kesal. 'Klik' sambungan telepon diputuskan sepihak. "Baru gitu aja udah baper lagi, elah!" "Kenapa?" tanya Yuni. "Berkas yang lo tarok di meja Pak Shaka kemarin, suruh dibawa, Yun." "Lah kan sudah dibawa sama Pak Shaka kemarin sore, dia sendiri yang masukin ke dalam tasnya." "Aaah, gue nggak ngerti deh Bos lo. Bilang sendiri deh, Yun. Males gue." "Yeee, itu Bos lo juga kali, yang ditelepon kan lo, kasih tahu dong." "Udahlah lo aja yang bilang, 'Bos coba cek tasnya kemarin, saya lihat berkasnya sudah bos bawa', gitu." "Ya udah lo aja yang bilang, Nya, kan lo yang ditelepon." "Kalau dia nanya detail terus gue salah jawab, gue yang bakal dimarahin lagi, Yun. Apalagi gue kan nggak lihat dia masukin berkasnya ke dalam tas, lo yang liat. Udah, lo telepon aja pak Shaka. Lo tahu kan gue sudah menahan emosi dari tadi, gue juga manusia Yun, bisa emosi jiwa biar kata yang ngomong bos gue sendiri!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN