Cuma Mendongeng?

2702 Kata
Ketika mobil yang membawa Anya tiba di rumah Shaka, ia langsung menyadari bahwa mobil Demian sudah terparkir di sana. Sebenarnya, rasa kesalnya pada Shaka masih tersisa, kenapa dia harus sampai di kantor dulu baru dikasih tahu? Sedangkan Demian saja sudah tahu lebih dulu, tapi ya sudahlah, sudah kejadian juga dan dia harus mondar mandir. Satpam yang jaga di gerbang ternyata masih orang yang sama seperti saat ia pertama kali datang ke rumah ini beberapa waktu yang lalu, sebelum perjalanannya ke Bandung. Dengan cekatan, gerbang dibuka, dan mobil perlahan memasuki halaman. "Saya tunggu atau kembali ke kantor, Bu?" tanya sopir kantor yang mengantar Anya. "Saya belum tahu, nih. Sebentar ya, saya tanyakan dulu ke Pak Shaka," jawab Anya sambil membuka pintu mobil. "Baik, Bu," jawab sopir sopan. Anya turun dari mobil. Kini, ia sudah hafal jalan menuju pintu masuk tanpa perlu diantar satpam lagi. Ketika ia sampai di depan pintu masuk, seorang asisten rumah tangga langsung menyambutnya. Sepertinya kedatangannya memang sudah diberitahukan sebelumnya. "Abang sudah menunggu di atas, Mbak," ujar si ART, yang wajahnya sudah pernah ia lihat pada kunjungan sebelumnya. "Boleh minta tolong diantar nggak, Mbak? Saya belum pernah ke atas soalnya," pinta Anya. Tentu saja maksud Anya bukan tidak tahu cara naik keatas, jelas-jelas tangga sangat terlihat dari tempatnya berdiri, tapi dia takut nyasar kalau sudah sampai diatas nanti, iya kalau langsung bertemu bosnya itu, kalau harus mencari keberadaannya dulu, bagaimana? Anya kan hanya paham tata letak lantai bawah rumah ini. Namun, ia tak yakin soal lantai atas. Yang ia ingat, Shaka dulu turun dari atas saat menyambutnya, eh sebentar, apakah mereka akan bekerja di kamar Shaka? "Silakan, saya antar, Mbak," jawab ART dengan ramah. "Oh iya, mbak,” jawab Anya sambil menaiki anak tangga mengikuti si mbak yang dia belum tahu namanya ini. "Tante Jeje lagi dimana, mbak, di studio?" tanya Anya, mencoba berbasa-basi, dari tadi dia tidak melihat keberadaan ibunya Shaka itu. "Nggak ada, mbak. Ibu lagi ke rumah Eyang di Jogja," jawab ART itu. "Eyang?" Anya bertanya, bingung. Ia belum sepenuhnya paham silsilah keluarga Shaka, yang ia tahu, Shaka adalah cucu dari aki dan nini, kakak dari eyangnya Dhevi. Kalau yang disebut eyang oleh ART ini, apakah mungkin keluarga dari pihak tante Jeje yang tinggal di Jogja? Wajah Shaka yang terlihat berdarah campuran jelas berasal dari Tante Jeje. Namun, ia belum tahu siapa di keluarga tante Jeje yang membawa garis keturunan asing—apakah dari ayah atau ibunya? Ketika mereka sampai di lantai atas, Anya mendapati suasana hening. ART menunjuk ke arah salah satu pintu yang tertutup. "Ruang kerjanya di pintu yang ujung sana, Mbak. Kalau pintu yang tengah itu, kamar Abang," jelas ART itu sambil menunjuk lagi salah satu pintu lainnya. Tidak salah kalau Anya minta diantarkan, soalnya ada beberapa pintu di lantai dua ini, bisa salah masuk dia nanti. "Yang itu kan kamar kerjanya?” tanya Anya memastikan sekali lagi pintu yang ditunjuk ART tadi. "Iya, itu kamar kerja abang." "Pak Demian sudah di sana?" tanya Anya. "Sudah dari tadi, Mbak," jawab ART itu. "Owh oke, makasih, Mbak." "Sama-sama," lalu ART itu meninggalkan Anya. Dengan langkah ragu, Anya berjalan menuju pintu yang ditunjuk. Ia sebenarnya merasa sungkan untuk mengetuk, apalagi langsung membuka pintu, tapi akhirnya ia mengetuk tiga kali. "Kalo gini, suka nggak, Ka?" "Kurang." "Atau gini?" "Nggak mau." "Nggak maunya kenapa?" "Kurang aja rasanya." Anya bisa mendengar obrolan itu dari balik pintu. "Lagi ngapain ya mereka?" pikir Anya cemas. Kekhawatirannya muncul begitu saja. Meski tahu ini hanya kekhawatiran tak berdasar, ia tak bisa mengabaikan pikiran bahwa apa saja bisa terjadi di zaman sekarang. Dua pria dewasa dalam satu tempat yang sepi itu bisa saja terjadi hal-hal yang tidak senonoh, soalnya sekarang sudah zaman edan. Anya mengetuk lagi pintu itu tapi dengan lebih keras, masa bodoh kalau mereka terganggu. "Pak, maaf ganggu, udah selesai belum?" tanya Anya yang berusaha sopan. Dia sudah membayangkan ada yang bermesraan di dalam sana. Pintu sedikit terbuka, dan Demian lah yang membukanya. Anya baru sadar bahwa pintu itu sebenarnya tidak tertutup rapat sejak tadi, pantas saja dia bisa mendengar percakapan keduanya. Barusan Demian membuka pintunya tidak terlalu effort, sangat mudah sekali hingga Anya kaget. "Masuk, Nya," ucap Demian sambil membuka pintu lebih lebar lagi. "Makasih, Pak." "Kamu bilang apa tadi?" tanya Shaka ketika melihat Anya masuk. Ia duduk di kursinya dengan ekspresi serius. "Bilang apa, Pak?" balas Anya bingung tapi sambil mengambil duduk di sofa yang ada walau tanpa disuruh. "Tadi, sebelum masuk, kamu bilang apa? Saya bisa dengar dari sini." "Bisa dengar kok nanya?" "Oh, saya cuma nanya, 'udah selesai atau belum'," jawab Anya, ia mulai merasa canggung karena konteks bicaranya sesuai dengan pikiran buruknya tadi. "Udah selesai, apa maksudnya?" Shaka menatapnya tajam. Pada bagian ini Anya sudah salah tingkah, masa dia bilang kalau dia tadi memikirkan yang tidak - tidak tentang mereka berdua? Cari mati namanya. Anya sempat melirik ke arah Demian. Tapi Demian terlihat sibuk memeriksa berkas di atas meja Shaka, dia tidak terlibat dalam percakapan sama sekali. Tapi yakinlah, itu hanya akting Demian saja, dia tahu ini akan jadi bahan keributan mereka berdua lagi kalau Anya tidak bisa menguasai keadaan, soalnya dari awal Shaka sudah pasang wajah serius. Anya semakin gelagapan karena sempat mengharapkan bantuan Demian. Ia sebenarnya ingin menjelaskan, tetapi takut salah bicara. Mau berbohong, tapi rasanya tidak bijak juga. "Uhm... saya kira, anu..." katanya gugup. "Anu apa? Bicara itu yang jelas," desak Shaka. "Saya kira Pak Shaka dan Pak Demian sedang membicarakan sesuatu yang rahasia. Takutnya saya mengganggu atau tidak berkenan kalau ikut masuk," jawab Anya akhirnya. berbohong, itu yang sempat dipikirkan Anya dan langsung membuat dadanya plong seketika. Nggak apa-apa deh bohong, ntar tinggal minta ampun sama Allah, kalo minta maaf sama orangnya nanti aja pas lebaran. Anya yang menjawab, Demian yang lega, aman. Shaka menatap Anya, tapi tidak emosi "Nggak perlu terlalu formal begitu, kan tadi di telepon saya sudah bilang supaya kamu langsung naik ke atas aja, maksudnya langsung masuk ke sini. Saya sama pak Demian memang lagi diskusi soal foto dan data yang kamu kirim tadi." Anya mengangguk, ia merasa lega. Setidaknya, situasi ini tidak se 'horor' yang ia bayangkan, bosnya bukan member 'Hompimpa', Alhamdulillah. "Coba kamu lihat sini. Saya dan Pak Demian sudah memilih lima besar. Nah, sekarang mau dikecilkan lagi jadi tiga besar. Gimana menurut kamu?" tanya Shaka. Anya berdiri dan mendekat, lalu mulai memperhatikan artis pilihan para atasannya itu di Ipad yang disodorkan Shaka. Itu semua foto kirimannya tadi pagi. "Sejujurnya saya bingung, Pak," ujar Anya ragu. "Dari tadi saya sudah lihat foto-foto mereka, semuanya cantik. Kalau ditanya seperti ini, saya sebenarnya nggak tahu harus jawab apa." Shaka tersenyum kecil. "Ini sudah kami pilih lima. Coba kasih pendapat kamu. Apa aja yang ada di kepala kamu, deh," desaknya. "Saya malah ingin tahu pendapat Pak Shaka dulu," balas Anya sambil menatap Shaka. "Loh, kok malah pendapat saya? Kan saya nanya kamu," jawab Shaka dengan nada bercanda. "Ya, maksud saya, semua ini kelihatannya cantik dan rata, Pak. Jadi, waktu Pak Shaka dan Pak Demian memilih lima besar ini, dasarnya apa? Supaya saya bisa melihat dari sudut pandang yang sama." Shaka mengangguk. "O gitu. Seperti yang kamu bilang barusan, wajah mereka memang cantik semua. Tapi, kalau lebih diperhatikan lagi, ada yang senyumnya lebih tulus atau nggak. Selain itu, kami juga mempertimbangkan data pendukung. Misalnya, Dona Alamanda ini, dia pernah jadi perwakilan Indonesia di festival musik internasional. Lalu ada Juwita, lulus kuliah dengan predikat c*m laude. Ada juga Mita Larissa, pernah menang penghargaan Putri Berkepribadian sekaligus mendapat Piala Artis Berbakat. Dua lainnya juga punya prestasi, kok." Anya mengangguk sambil mendengarkan penjelasan Shaka, matanya menelusuri wajah-wajah di iPad itu. "Udah bagus nih, Pak, pilihannya. Langkah selanjutnya apa?" "Wawancara dan lihat penampilan mereka, juga cara bicara mereka. Nanti kamu ikut, ya." "Kapan, Pak?" "Kamu hubungi pihak kantornya Om Dio. Tanyakan waktu untuk bertemu dengan para kandidat ini. Di sini aja, ya." "Di rumah ini?" "Eh saya lupa, di kantor maksudnya. Saya ingatnya ini di kantor," jawab Shaka sedikit terkekeh ketika menyadari kekeliruannya. Ruang kerja Shaka ini vibes-nya memang rasa di kantor. Layoutnya mirip seperti ruang kerjanya di kantor, tapi ini versi lebih kecil. "Baik, Pak. Jadi mereka yang menyesuaikan waktu kita atau kita yang menyesuaikan jadwal mereka, Pak? Kalau saya nanya ke kantor Om Dio, berarti kita yang akan menyesuaikan jadwalnya mereka, ya?" tanya Anya, mencoba memastikan. "Jadwal saya gimana?" tanya Shaka, menatap Anya. Anya segera mengeluarkan ponselnya. "Minggu depan, Pak Shaka cuma ada waktu Kamis setelah makan siang. Dari jam dua ke atas kosong dan sebelum Jumatan." "Ya udah, kamu atur aja, kalo bisa hari kamis itu aja, Jumat pagi saya kosongin." "Baik, Pak," balas Anya sambil mulai mengetik pesan kepada tim dari kantor Om Dio untuk menjadwalkan pertemuan. Anya mendadak ingat sesuatu, soal dokumen tadi, dia lupa menanyakan ke Yuni lagi apakah benar dokumen yang ditanyakan Shaka tadi benar-benar sudah dibawanya pulang dari kemarin atau tidak. "Pak, tadi Yuni bilang ke saya kalo dokumen yang bapak titip tadi sudah Pak Shaka bawa pulang kemarin sore," ucap Anya. "Iya, Yuni sudah bilang tadi." "Oh ya, satu lagi, Pak, itu mobil kantor nungguin di luar. Saya balik ke kantor lagi atau nggak?" tanya Anya, ia sedikit ragu. "Ngapain ke kantor lagi? Saya aja nggak ngantor," jawab Shaka santai. "Kalau gitu, saya suruh sopirnya balik ke kantor sekarang ya, Pak," ucap Anya sambil bersiap berdiri. "Kamu mau ke mana?" tanya Shaka, bingung. "Mau bilang ke sopirnya langsung, Pak, saya mau turun." "Telepon aja, ngapain turun naik." "Eh, saya nggak nyimpen nomornya, Pak," aku Anya. Jangan kan nomor teleponnya, nama supirnya saja Anya tidak tahu. entah kenapa dia tidak menanyakannya tadi, padahal mereka sempat ngobrol juga sebentar. Shaka langsung meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Anya terkejut. "Pak Shaka punya nomor telepon sopir kantor? Kok saya nggak punya, ya?" tanyanya spontan. Ia terkesan dengan perhatian Shaka sebagai seorang CEO yang mau menyimpan nomor sopir kantor yang bahkan dia belum tentu ingat wajahnya. Shaka tidak menjawab tapi hanya memamerkan aksinya saja. "Halo, Do ... itu ada sopir kantor di bawah, suruh pulang aja ke kantor, bu Anya nggak balik lagi ke kantor." Tapi ketika Shaka menutup telepon, Anya menyadari sesuatu. "Oh, ternyata nelpon Edo, sopir pribadinya sendiri, ah mana keren kalo itu," gumamnya dalam hati sambil tersenyum kecil, ia menarik kembali kekagumannya, itu mah biasa aja...nggak ada istimewanya! *** Anya dan Demian diajak makan siang di rumah Shaka, memang tidak ada agenda pergi hari ini. Ketika sedang menikmati makan bersama di ruang makan bawah, Anya tiba-tiba teringat untuk bertanya keadaan Shaka yang sedang sakit, sampai-sampai tidak ke kantor hari ini. "Pak Shaka sakit apa, Pak?" Anya memandang Shaka yang tampak sehat-sehat saja, tidak seperti orang sakit pada umumnya yang terlihat lemas atau kurang semangat makan. Kalau kemarin iya, dia tidak banyak bicara seperti sekarang. Shaka tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Anya, "Pulang kantor kemarin kepala saya pusing. Hari ini sih sudah baikan, cuma kayaknya masih agak capek, makanya saya memutuskan kerja dari rumah aja," jawab Shaka. Dia tahu maksud pertanyaan itu, Anya pasti heran kenapa dia tidak ke kantor hari ini padahal dia terlihat segar bugar. "Sudah ke dokter, Pak?" tanya Anya dengan nada khawatir. Shaka menahan tawa. "Banyak dokter di dekat sini. Tinggal pilih saja," jawabnya santai. Anya mengerutkan kening. "Oh, di dekat sini ada klinik ya?' tanyanya polos, tanpa menyadari keanehan ucapannya. Padahal dia tahu betul bahwa Shaka dan keluarganya semuanya dokter. Namun, dalam obrolan serius, kadang-kadang otak memang bisa sejenak jadi blank. Demian yang duduk di seberang Anya langsung menimpali, "Ckkk, kamu kurang tidur ya semalam? Kok kayak error gitu?" "Nggak kok, Pak, Saya tidur nyenyak banget, memangnya kenapa, Pak?" Anya balik bertanya, bingung dengan komentar Demian. "Kan kamu tahu yang kamu tanyain ini seorang dokter," jawab Demian sambil memutar bola matanya, seolah tak percaya dengan kebingungan Anya. Anya terdiam sejenak, lalu menepuk jidatnya. "Oh astaga, iya! Pak Shaka tuh dokter ya. Terus Om Wika juga dokter." Shaka tertawa kecil, sementara Demian melanjutkan dengan nada menggoda."Anya error." Yang dituding error tampak santai, memang dia salah. "Kamu keluar dari pintu itu, kamu bisa langsung lihat rumah yang di tengah, ada dokter juga, namanya dokter Oriana. Geser sedikit ke sana ada dokter lain, kan di rumah paling ujung itu ada dokter Nino, dokter Dharren, dokter Dhannis... Semua dokter. Ngapain saya ke klinik?" Anya tertawa malu. "Itu herannya, kok saya bisa lupa, ya?" ujarnya sambil menyesali kekhilafannya. "Soalnya sahabat kamu tuh bukan dokter. Jadi otaknya nggak langsung nyambung," canda Shaka, yang langsung direspons dengan tawa ringan Demian. Anya mencoba membela diri. "Tapi kan saya kenal sama Mas Dharren dan Mas Dhannis juga. Memang lupa aja sih, kalau mereka juga di lingkungan ini, Pak. Lucu juga ya, di sini semuanya dokter. Kalau ada yang sakit, saling mengobati, gitu ya?" tanya Anya dengan senyum lebar. Shaka menggeleng pelan, ikut tersenyum mendengar rasa penasaran Anya. Demian menambahkan dengan nada bercanda, "Pak Shaka kalau sakit sembuh sendiri, Nya. Penyakit juga males lama-lama di badan di badannya." "Wah, enak banget ya," balas Anya sambil tertawa. Suasana makan siang itu terasa santai dan penuh canda. Mereka memang hanya bertiga di rumah karena Tante Jeje baru saja berangkat pagi tadi ke Jogja untuk kunjungan rutin ke orang tuanya setiap satu bulan sekali. Shaka menceritakan lebih komplit dibanding ART tadi. Dia juga bilang kalau ibunya itu dijadwalkan pulang besok, jadi hanya perjalanan untuk satu malam saja. Shaka juga sempat bercanda dengan mengatakan kalau ibunya sulit untuk pergi lama karena Ayah bucinnya tidak bisa ditinggal lama-lama. Ibunya bisa pergi keluar kota atau keluar negeri tanpa Ayahnya hanya untuk alasan orang tua dan pemeriksaan kesehatan saja. "Jangan - jangan kalo sudah punya istri, lo bakal kayak ayah lo tuh, Ka," ucap Demian meledek Shaka. Shaka tertawa," Bucin itu nggak genetik bro, gue nggak bakat. Kadang pengen gue bujuk ibu gue buat kabur kemana kek gitu, seminggu aja, biar Ayah gue kalang kabut, haha, kan kocak tuh." Anya ikut tersenyum mendengarnya. "Jangan gitu, Pak. Kasihan Ayahnya. " "Abisnya kasihan lihat ibu saya nggak bisa bergerak." "Memangnya tante Jeje protes?" "Ya nggak, sih." "Tapi saya nggak yakin kalo Pak Shaka nggak bucin. Walau nggak genetik tapi kalo lihat orang tuanya begitu dari kecil, bukannya jadi niru?" "Saya aja gemes lihat Ayah saya, pengen saya kerjain aja rasanya. Kakek buyut saya juga dulu gitu, waktu Amuy sakit dan menjelang meninggal, tangannya dipegang terus kayak ada lemnya. Mana nangis terus. Saya pikir, kok laki-laki lemah banget." "Sampe begitu nya, Ka? Lo nggak pernah cerita. Gue cuma tau Amuy lo sakit terus meninggal. Nggak lama Apuy lo nyusul." "Itu Apuy gue tumbang, Dem. Langsung drop setelah Amuy meninggal. Sampe sekarang gue ngga ngerti konsep laki sampe segitu terpuruknya." "Itu karena lo belum merasakan jatuh cinta kayak Apuy atau kayak bokap lo." "Kalaupun gue jatuh cinta sedalam itu suatu hari nanti, kayaknya gue lebih mengedepankan logika deh. Kasihan nggak sih lihat nyokap gue cuma di rumah aja. Pernah sih kerja, tapi ya gitu, susah deh gue nyeritainnya. Mana Ibu gue udah nggak ada anak yang mau diurusin lagi di rumah, tapi mau pergi-pergi juga nggak boleh, paling dia main di studio, kalo nggak nge-mal sama Nini...terbatas banget." "Ya lo kasih cucu lah biar Ibu lo ada mainan di rumah." "Lo nyuruh gue ngasih cucu kayak gampang banget ya, lo sendiri gagal melulu." Demian tertawa, matanya melihat ke Anya yang hanya diam saja. "Kenapa, Nya?" Anya sedang mencerna cerita Shaka. Dia tidak bisa membayangkan memiliki pria bucin seperti Ayah dan kakek buyut yang diceritakan Shaka tadi. Memang pria- pria di keluarga mereka ini tampan dan kaya raya, tapi apa rasanya memiliki suami yang tidak mengizinkan istrinya punya keinginan untuk pergi sendiri, seperti dibatasi gitu? Anya tidak melihat itu pada Dhevi, mungkin karena Dhevi wanita, beda dengan pria di keluarganya ini. Tapi Pak Shaka boleh juga cara berpikirnya, sangat beda dengan ayah dan buyutnya, top lah pak Shaka. "Nggak, Pak. Saya lagi membayangkan ... bagaimana kehidupan pria bucin dan pasangannya, yang saya dengar banyak wanita mendambakan pria pucin untuk menghindari perselingkuhan, ternyata masalahnya beda lagi ya, kayak dikekang." "Kamu jangan dengerin omongan Shaka soal itu, Dia aja nggak pengalaman pake sok-sok kasihan sama ibunya. Padahal ibunya bahagia-bahagia aja kayaknya." Anya menoleh ke Shaka dengan tatapan sulit dimengerti, "Ooh, jadi dari tadi pak Shaka bilang nggak mau jadi bucin, lebih mengedepankan logika atau bucin itu nggak genetik, cuma mendongeng?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN