Pagi ini, Anya tiba di kantor tepat pukul setengah sembilan. Sejujurnya, ia bisa datang lebih siang karena Shaka, bosnya, akan terlambat masuk. Katanya, ia mau mencukur rambut dulu, dan tukang cukurnya baru datang jam sepuluh pagi. Jadi, kemungkinan besar Shaka baru tiba di kantor setelah makan siang. Demian, juga sedang menghadiri pertemuan dengan klien di luar kantor. Dengan situasi seperti ini, Anya sebenarnya tidak punya pekerjaan mendesak. Namun, ia memilih untuk datang pagi-pagi supaya bisa mengerjakan laporan hasil pengamatannya pada kandidat brand ambassador kemarin. Anya ingin menyusun laporan itu secara detail agar nanti tidak perlu menjelaskan panjang lebar saat presentasi.
"Lagi ada kerjaan, Nya? Tumben datangnya pagi banget,” tanya Yuni, dia baru kembali dari membeli kopi di kafe rooftop. Tadi, saat ia ke atas, Anya belum terlihat, jadi ia agak terkejut melihat Anya sudah ada di meja kerjanya.
"Mau nulis laporan hasil audisi kemarin," jawab Anya sambil tetap fokus mengetik.
"Sudah ditentukan siapa yang terpilih, Nya? Cepat banget."
"Belum. Ini gue baru mau bikin laporan hasil pengamatan gue. Nanti Pak Shaka sama Pak Demian yang nentuin berdasarkan pengamatan mereka kemarin dan laporan gue."
"Oh, gitu. Selanjutnya prosesnya gimana, Nya?"
Anya menghentikan kegiatan mengetiknya untuk menjelaskan ke Yuni yang sepertinya sangat penasaran.
"Dipilih tiga kandidat terbaik dulu, terus diseleksi lagi sampai dapat satu."
"Feeling lo, siapa yang bakal menang, Nya?" tanya Yuni. Benar juga pikiran Anya, Yuni memang sangat penasaran.
Anya tersenyum tipis. "Hmm, menurut gue Juwita sama Mita punya peluang besar. Soalnya kemarin gue lihat mereka jawab pertanyaan Pak Shaka dengan percaya diri. Tapi ya, itu cuma dari sisi gue aja. Untuk kriteria lainnya kan belum bisa dinilai. Kalau soal cantik, berprestasi, multi-talenta, menurut gue Mita lebih unggul. Semoga aja kalau dia terpilih, dia bisa amanah."
"Kalau gue disuruh kayak lo, kayaknya nggak bisa deh. Buat gue semua cantik dan hebat," keluh Yuni.
Anya tertawa kecil. "Lah, kan gue udah bilang. Kalau nggak cantik, mereka nggak akan lolos audisi ini. Gimana sih lo? Makanya jangan kebanyakan ngopi. Kopi gula aren lagi. Kalau mau tuh Americano aja, biar nggak kebanyakan gula."
"Gue belum bisa nelan Americano. Lagian gue suka kopi yang manis-manis gini," ucap Yuni membela diri lalu menyeruput kopinya.
Anya hanya terkekeh mendengarnya dan kembali fokus mengetik.
"Pak Shaka datang siang, ya?" tanya Yuni lagi sambil membereskan berkas yang ada di mejanya.
"Iya, katanya mau potong rambut dulu. Emangnya dia potong rambut di rumah, ya? Dia punya barbershop atau gimana sih?"
"Mana gue tahu. bukannya lo yang pernah ke rumahnya?"
"Pernah sih, tapi gue nggak tahu ada apa di dalam rumahnya, apa ada barbershop juga. Pak Shaka tadi cuma bilang tukang cukurnya baru datang jam sepuluh. Udah, gitu doang. Gue nggak nanya-nanya lebih jauh. Ntar dibilang kepo lagi."
"Lah, emang kepo, kan?" goda Yuni.
"Iya sih, tapi maksudnya jangan ketahuan banget dong," jawab Anya sambil tersenyum simpul dan terus mengetik, walau diajak ngobrol tapi dia tidak terganggu sama sekali.
"Rumahnya gede banget, ya? Gue denger dari sopir kantor kalau rumahnya gede banget."
"Iya, gede, tapi isinya cuma tiga orang: Pak Shaka, ayahnya, sama ibunya. Gue rasa, jumlah pembantu dan sopirnya lebih banyak daripada keluarganya," ujar Anya sambil terkekeh.
"Pak Shaka nggak buka kos-kosan di rumahnya, ya? Biar gue pindah kos ke sana," canda Yuni.
Anya menghentikan lagi mengetiknya karena tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Yuni.
"Kalau Pak Shaka buka kos-kosan, emang lo sanggup bayarnya?" tanya Anya sambil menyangga dagunya dengan telapak tangannya.
"Ya, mungkin kalau sekretaris dikasih subsidi sama Pak Shaka," balas Yuni sambil tertawa kecil.
"Jangan harap. Gue aja cuma dapat diskon lima puluh persen buat skincare yang mau di launching ini. Padahal jelas-jelas gue asisten pribadinya. Gratis kek," keluh Anya.
"Ya, lo juga tahu diri dong, gue cuma kos aja cuma minta diskon. Udah bagus lo dikasih diskon skincare. Kalau lo jadi brand ambassador-nya, baru deh gratis, plus dibayar gede lagi."
"Iya juga, ya. Enak banget tuh yang jadi brand ambassador. Dapat produknya terus," gumam Anya.
"Tapi itu dipakai nggak sih sama mereka?" Yuni bertanya penasaran.
Anya mengedikkan bahu. "Kurang tahu juga gue."
"Kalau nggak dipakai, mending kasih kita aja ya, Nya," kata Yuni sambil terkekeh.
"Dih, ogah. Masa lepehan brand ambassador diambil? Gengsi dong," balas Anya sambil mencebikkan bibirnya..
Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Anya berbunyi. Nama Shaka muncul di layar. Anya segera menjawab panggilan itu.
"Selamat pagi, Pak," sapa Anya ramah.
"Pagi. Kamu di mana, Nya?" tanya Shaka.
"Sudah di kantor, Pak," jawab Anya.
"Rajin amat," komentar Shaka.
"Biar gajinya nggak dipotong, Pak," balas Anya sambil melirik Yuni yang langsung memutar bola matanya mendengar jawaban itu.
Yuni sebenarnya kagum melihat bagaimana Anya bisa berbicara santai dengan Shaka, bos mereka. Ia sendiri sering merasa gugup kalau harus berbicara dengan Shaka. Namun, melihat Anya, ia jadi berpikir, mungkin suatu saat ia juga bisa lebih santai menghadapi bos mereka.
"Selama kamu terus ngeledek saya, tetap saya potong."
"Nggak pak, kapok. Maaf ya pak, janji saya akan lebih menjaga lisan saya," jawab Anya serius.
"Saya nggak percaya."
"Beneran, Pak."
"Kita lihat saja nanti."
Jeda sejenak.
"Pak Shaka nelpon saya kenapa?"
"Tolong reservasi resto Sailerma dong."
"Buat kapan, Pak?"
"Hari ini."
"Berapa orang, Pak?"
"Tiga."
"Oke, Pak."
"Kamu minta antar sopir kantor aja."
"Oh saya ikut?"
"Iya, Demian nanti nyusul, dia sekarang lagi di Senayan."
"Baik, Pak."
"Makasih."
"Ya, Pak, sama- sama."
Anya memutus sambungan telepon tersebut.
"Gue harus buru-buru nih," gumam Anya.
"Kenapa, Nya?"
"Bos ngajak gue sama pak Demian makan siang di resto, pasti dia mau bahas soal si BA ini, gue kelarin kerjaan gue dulu deh, Yun."
"Ya kerjakan cepat, ini sudah mau jam setengah sepuluh lho.'
"Titip sopir kantor setengah dua belas di lobi ya, Yun."
"Sip."
Di resto Sailerma...
Tidak mudah memilih tiga dari lima kandidat, meski hanya tinggal menggugurkan dua orang saja. Proses diskusi antara Shaka dan Demian berlangsung alot, bahkan sampai membahas detail-detail kecil. Apalagi, catatan yang dibuat oleh Anya memberikan poin plus-minus dari masing-masing kandidat. Sebagai seorang wanita, pandangan Anya dinilai netral karena ia tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap para kandidat.
Meski semua pendapat Anya sudah dituangkan dalam catatan tersebut, Shaka dan Demian tetap meminta pendapat langsung darinya. Padahal, Anya sengaja membuat catatan itu secara rinci agar tidak perlu ditanya-tanya lagi.
"Memang kemarin Ervina senyumnya kelihatan kurang tulus?" tanya Shaka kepada Anya.
"Kalau menurut pengamatan saya, iya, Pak. Yang saya lihat itu seperti senyum yang dipaksakan, kayak cuma buat cari perhatian saja. Walaupun, hampir semua kandidat senyumnya memang terasa dipaksakan, maksudnya jadi terkesan berlebihan," jawab Anya dengan nada tenang.
"Hmm," gumam Shaka sambil mengamati lagi foto Ervina dan catatan yang ditulis Anya.
"Rata-rata mereka ngobrolnya seperti sedang berada di depan wartawan," tambah Anya. "Mereka kayak berusaha menutupi kekurangan dan tampil sempurna, jadi nggak kelihatan seperti diri mereka yang sebenarnya."
"Kalau yang apa adanya tuh kayak kamu. Tapi kamu nggak bisa jadi pilihan Ambassador, karena kamu bukan artis," sahut Demian sambil tersenyum.
"Dan juga karena nggak bisa nutupin pori-pori, Pak," balas Anya sambil nyengir.
Shaka hanya bisa tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala, menahan tawa.
"Gimana, Dem? Ervina, coret?" tanya Shaka, kembali serius.
"Coret aja," jawab Demian tanpa ragu.
Shaka langsung membuat garis tegas melintasi nama Ervina di daftar mereka. Dicoret.
Dengan begitu, sudah ada dua nama yang dicoret. Nama pertama adalah Dona, dan sekarang Ervina. Kini yang tersisa hanya Talita, Juwita, dan Mita. Ketiganya dianggap memenuhi spesifikasi untuk menjadi Brand Ambassador produk skincare mereka. Kulit mulus tanpa pori-pori, tubuh proporsional, prestasi yang mentereng, dan popularitas menjadi poin utama penilaian. Dalam menentukan pilihan ini, Shaka dan Demian harus sangat teliti, mengingat kemampuan para kandidat yang hampir setara. Tanpa mereka sadari, peran Anya cukup signifikan karena nasib para kandidat sedikit banyak bergantung pada evaluasi tertulis darinya.
Mereka menyelesaikan diskusi itu dalam waktu dua jam. Setelah makan siang bersama, mereka sempat mampir ke sebuah coffee shop untuk melanjutkan pembahasan ini. Saat jam menunjukkan pukul empat sore, mereka kembali ke kantor.
Tadinya, Shaka sempat berpikir untuk langsung pulang. Namun, setelah mengecek ke Yuni, sekretarisnya, ternyata masih ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani. Kebetulan, kantor lebih dekat dari coffee shop tempat mereka duduk tadi, jadi Shaka memutuskan untuk mampir. Rencana yang awalnya hanya makan siang biasa pun berubah menjadi sesi kerja yang cukup produktif.
Sesampainya di kantor, pekerjaan Shaka ternyata bertambah. Dua kepala bagian meminta waktu untuk bertemu langsung dengannya. Mereka ingin memaparkan beberapa hal penting yang baru saja terjadi di divisi masing-masing. Shaka dan Demian pun terlibat diskusi serius yang berlangsung cukup lama, membahas laporan dan mencari solusi atas beberapa permasalahan.
Saat adzan Maghrib berkumandang, urusan dengan kepala bagian akhirnya selesai. Bahkan, Yuni, sekretaaris Shaka, sudah pulang lebih dulu. Namun, Shaka yang sering membuat keputusan spontan tiba-tiba meminta Anya memesan makan malam untuk mereka bertiga. Alasannya sederhana, ia ingin makan dulu sebelum pulang karena jalanan pasti sedang macet-macetnya. Padahaal Anya berharap nasibnya akan seperti Yuni, diperbolehkan pulang sekarang.
"Nya, tolong pesankan makan malam untuk kita bertiga. Apa saja yang enak, tapi jangan terlalu berat,"ujar Shaka sambil menggulung lengan bajunya hingga sedikit di bawah sikunya.
"Iya, Pak. Ada preferensi makanan tertentu?" tanya Anya dengan profesional, walau pikirannya sudah di rumah.
"Yang penting nggak bikin ngantuk," jawab Shaka sambil tersenyum kecil.
"Nggak bikin ngantuk, apa ya?" Anya menoleh ke arah Demian,"Ada ide, Pak?" tanya Anya.
"Sop Kambing atau sate kambing."
"Hah, apa hubungannya, Pak?"
Anya benar-benar tidak paham konsep kambing sebagai penahan tidur layaknya kopi.
"Di dekat sini nggak ada yang enak, sop buntut aja," jawab Shaka.
"Owh oke."
"Suruh Edo aja."
Anya mengiyakan saja, tapi dia tidak menyuruh Edo, dia langsung memesan melalui aplikasi ojek online, "Dia mana paham yang beginian," ucap Anya dalam hati.
Setelah salat Isya, kurang lebih pukul setengah delapan malam, makan malam akhirnya dimulai di ruang kerja Shaka. Suasana yang tadinya serius ketika lapar, sudah mulai mencair disaat kenyang. Mereka membahas berbagai topik, dari hal serius hingga candaan ringan. Namun, Anya terlihat sangat menjaga sikapnya.
Anya memilih kata-katanya dengan hati-hati, takut kelepasan bicara lagi seperti beberapa waktu lalu. Ia merasa harus 'jaga image' di depan Shaka kalau gajinya tidak mau dipotong, seperti janjinya tadi pagi, meskipun terkadang suasana cair itu menggoda dirinya untuk berucap lebih. Tahan Nya, tahan.
Demian yang duduk di sebelah Shaka menyadari tingkah laku Anya yang terlihat menahan diri. Sesekali ia melirik Anya dengan senyum simpul. Shaka pun tidak ketinggalan memperhatikan ekspresi Anya, yang tampak berusaha keras menjaga lisannya.
"Kamu kenapa, Nya? Kok tegang banget?" tanya Shaka sambil mengaduk teh hangatnya, dia sangat paham mengaapa Anya begitu, tapi dia senang saja menggoda asistennya yang sedang jaim itu.
"Enggak, Pak. Saya biasa saja kok," jawab Anya sambil tersenyum tipis.
Demian menahan tawa. "Biasa apanya? Dari tadi kamu nggak berani bicara banyak."
"Masa sih, Pak? Dari tadi sayaa ngomong terus kok."
Shaka tertawa kecil, menikmati ekspresi Anya yang sedikit tersiksa karena harus menjaga wibawanya. Ia tahu betul penyebabnya—teleponnya tadi pagi, di mana Anya berjanji akan lebih berhati-hati bicara.
"Tenang aja, Nya. Santai sedikit. Makan malam ini bukan rapat resmi," ujar Shaka sambil menyodorkan semangkuk emping ekstra dari tempat sop buntut tadi ke arah Anya.
Suasana pun perlahan menjadi lebih santai. Namun, Anya tetap berhati-hati, meskipun kini ia mulai tersenyum lebih lepas, setidaknya tidak lagi terlihat seperti orang yang sedang diinterogasi.
Ketika malam semakin larut, merekapun turun ke lobi untuk bersiap meninggalkan kantor.
"Kamu mau pulang naik taksi dari sini atau dari Pondok Indah?" tanya Demian. Maksudnya tentu saja kalau dari pondok Indah berarti Anya ikut dengannya separuh jalan.
"Dari sini saja, Pak. Sama saja," jawab Anya.
"Kamu ikut saya saja. Nanti pulangnya sama Edo," perintah Shaka tegas.
"Nggak usah, Pak. Kasihan Edo bolak-balik. Saya naik taksi dari sini saja. Masih ramai, kok," tolak Anya sopan.
"Kamu menolak perintah saya?" nada Shaka terdengar serius, seolah memanfaatkan posisinya sebagai bos.
Anya, yang tidak ingin mencari masalah lain, memilih segera mengalah. "Iya, deh, Pak. Maaf."
Demian, yang mendengar percakapan itu, ikut berseloroh, "Kamu menolak ajakan saya, tapi tidak menolak perintah Shaka. Pilih-pilih banget."
Anya tertawa kecil. "Kalau ajakan masih bisa saya tolak, Pak. Tapi kalau perintah Pak Shaka, mana berani saya tolak. Takut dosa, katanya kan kita nggak boleh melawan orang tua."
Demian tertawa terbahak-bahak, sementara Shaka melirik tajam ke arah Anya dengan tatapan kesal .
Kenapa, Pak?" tanya Anya polos, tapi dia merasakan bosnyaa marah.
"Kebiasaan!" desis Shaka sebelum berjalan mendahului. Sesaat kemudian, ia sudah berdiri di samping mobil yang dikemudikan Edo, sopirnya.
"Pak Shaka kenapa ya, Pak?" tanya Anya ke Demian.
"Nggak kenapa - kenapa, mungkin udah capek, buruan ke sana sebelum macan ngamuk," ucap Demian diiringi senyumnya.
Anya yang masih belum paham apa penyebab Shaka berubah mood dalam sekejap, membuatnya buru-buru menyusul Shaka ke mobil.
Di dalam mobil, suasana hening. Anya merasa Shaka masih kesal, meskipun ia sendiri bingung apa salahnya.
***
Karena tadi malam dia pulang sampai rumah sudah cukup larut, pagi ini Shaka mengizinkan Anya untuk masuk lebih siang, tepatnya setelah jam makan siang karena dia juga rencananya baru akan datang setelah jam istirahat, "Saya ada kerjaan di luar," begitu isi pesan shaka tadi. Tapi Anya tetap diminta untuk follow up semua rencana mereka tadi malam walaupun dilakukan dari rumah.
Pertama Anya menanyakan jadwal dulu kepada pihak manajemen, Kapan artis mereka yang beruntung terpilih menjadi kandidat tiga besar brand Ambassador perusahaan Shaka itu, libur. Setelah itu baru Anya reservasi tempat di salah satu restoran yang memiliki ruangan VIP terbaik yang bisa menampung sepuluh orang. Setelah itu baru dia mengabarkan manajer pribadi artis tersebut dan kantor manajemennya juga soal pertemuan ini, lengkap dengan permintaan Shaka tadi malam yaitu soal dress code sopan dan resmi. Tentu saja anya menambahkan, harus sesuai dengan tempat mereka makan.
Itu dilakukan Anya dengan cepat, dia tinggal menghubungi via telepon. Dalam waktu setengah jam semua sudah beres dan dia langsung melaporkan ke Shaka. Walaupun dia sudah melaporkan langsung via telepon, tetapi dia juga mengirimkan pesan di WA dan email Shaka untuk back up supaya Bosnya itu tidak berulang-ulang menanyakan lagi hal itu kepadanya, setidaknya itu tujuan Anya.
Anya mengamati lagi foto-foto para artis yang sudah terpilih menjadikan kandidat tiga besar itu. Dari tiga orang itu hanya Juwita yang umurnya sudah 25 tahun, sedangkan Mita dan Talita seumur dengan Anya.
"Harusnya Kak Chia juga begini kalau tetap meneruskan karirnya di dunia keartisan, pasti dia juga ngetop banget. Sayang karirnya babak belur karena berhadapan dengan Dhevi," gumam Anya sambil tersenyum, dia sedang mengingat nasib kakak kelasnya yang ketiban sial bertahun -taahun yang lalu karena membully cucu dan keponakan pemilik manajemen artis yang menaunginya. Karirnya seketika hancur dan tidak tertolong lagi sampai sekarang. Namanya sudah tidak pernah terdengar lagi sesudah kejadian malam naas itu.
"Kok belum jalan, Nya?" tanya mama Anya yang melihat anaknya santai saja, mandi juga belum padahal sekarang sudah jam sembilan pagi.
"Semalam lembur, bos suruh datang siang abis jam istirahat, Ma," jawab Anya.
"Kemarin itu lembur juga, tapi nggak masuk siang."
"Ini pak Shaka ada perlu juga, dia baru datang siang katanya."
"Kok kamu nggak ikutan? Bukannya semua urusan dia kamu yang pegang, Nya? Kalau asisten pribadi itu sampe urusan pribadinya juga kamu urus, kan?"
"Aku asisten pribadi tapi yang mengatur urusan pak Shaka di bidang bisnisnya, jadi urusan kantor."
"Bukannya dia sudah punya sekretaris juga?"
"Ya punya, tapi dia pilah lagi kerjaannya, Yuni itu standby di kantor, kalo Aku ikut kemana pak Shaka pergi," jelas Anya.
"Lebih enak mana itu, Nya?"
"Aku lebih senang jadi asisten pak Shaka, Ma. Boring juga di kantor terus kayak aku dulu waktu masih online melulu."
"Pintar - pintar membawa diri, jangan sampe nggak disenangi bos hara-gara kelakuan."
"Iya, aman," jawab Anya.
"O ya Ma, Jumat malam aku sama pak Shaka dan pak Demian ada acara makan malam di resto Pacific, mau ada pemilihan brand Ambassador disana, kayaknya aku bakal pulang malam banget," tambah Anya.
"Diantar lagi nggak pulangnya?"
"Harusnya ya, tapi nggak tahu deh. Apes- apesnya pake taksi online deh."
"Tapi mama nggak yakin kamu dibiarkan pulang sendiri. Eh Nya, kepikiran nggak kalo bos kamu itu naksir kamu."
"Nggak, mama jangan ngadi-ngadi, udah ah, aku mau mandi."
Anya berdiri dari kursinya dan langsung berjalan untuk masuk ke kamarnya, dia malas pembicaraan seperti ini. Sedangkan mamanya malah tertawa setelah menggoda anaknya.
"Bisa aja, Nya...drakor ada tuh yang ceritanya gitu, kamu nggak ngiler lihat bos ganteng kamu itu?" teriak mama Anya dari luar kamar Anya.
"Nggak bakal, orangnya super ajaib, Ma," jawab Anya dari kamarnya.
"Ah palingan kamu yang ajaib, nggak mungkin kakak sepupu Adek itu ajaib."
Anya membuka pintu kamarnya, dia tidak puas hanya sahut-sahutan dengan mamanya.
"Beneran ini, Ma. Dia lebih ajaib dari Adek. Ganteng tapi baperan, untung gajiku gede, kalo nggak udah gila aku di sana."
"Kamu atau dia yang jadi gila?"
Sepertinya mama Anya sangat paham sama karakter anaknya ini.
"Mama lebih belain pak Shaka daripada anaknya sendiri?"
"Awas jatuh cinta, mama curiga sih ini."
"Ckk ... mama kenapa sih, orang nggak ada apa-apa juga."
Anya jadi malas bicara sama mamanya yang menurut Anya asal menebak dan salah.
Mama Anya tidak menjawab lagi, tapi malah meneruskan tawanya sebelum akhirnya berlalu masuk ke kamarnya , sedangkan Anya masih berdiri di depan kamarnya menatap sinis pada mamanya yang masih menertawakannya itu.