Bab 14 - Dasar Pria Gila!

1339 Kata
Setelah melihat dan mendengar sendiri bagaimana interaksi Haris dengan Kumala, membuat Risa menyadari betapa Haris benar-benar pria yang Tuhan kirimkan untuknya. Sejak awal, Risa memang sudah menyambut dengan baik lamaran Haris sekalipun sangat mendadak dan otaknya perlu mencerna selama beberapa saat saking tidak masuk akal baginya. Sekarang setelah melihat ibunya mengobrol dengan Haris, tentu Risa semakin yakin bahwa dirinya tak punya alasan untuk menolak pria itu. Ya, Risa kini sudah memutuskan akan menerima ajakan menikah dari Haris. Memangnya apa yang membuatku ragu sampai harus mempertimbangkannya dulu? Jelas nggak ada. Aku udah yakin sepenuhnya sekarang…. “Aku nggak tahu kalau Mas Haris udah bertemu ibu sebelumnya,” ucap Risa sambil mengantarkan Haris keluar dari rumahnya, setelah pembicaraan tak terduga dengan Kumala. Sejujurnya Risa masih membiasakan diri dengan panggilan baru ini. Risa juga sempat salah saking terbiasanya penggunaan saya dan Pak Haris, bukan aku dan Mas Haris. Hanya saja, Risa yakin lama-lama dirinya akan mulai terbiasa. Haris yang saat ini sedang berjalan beriringan dengan Risa menuju ke mobilnya, sejenak menghentikan langkahnya padahal hanya perlu beberapa langkah lagi ia tiba di mobilnya. “Saya udah tahu hari ini akan terjadi. Ya, orangtua saya pasti meminta saya membawa perempuan ke rumah untuk saya perkenalkan sebagai calon istri. Saya yang sejak awal yakin kamulah orangnya … sengaja diam-diam bertemu Bu Kumala untuk mengutarakan maksud baik saya,” jelas Haris. “Dan saya bersyukur Bu Kumala sangat menyambut baik saya.” Haris melanjutkan, “Bu Kumala tidak pernah cerita, karena saya yang memintanya. Saya memohon padanya agar membiarkan saya yang berbicara sendiri padamu soal ini.” “Bahkan sampai detik ini … aku masih antara percaya dan nggak percaya, ini mimpi atau nyata. Mas Haris yang selama ini aku kenal cuek, bisa-bisanya melamarku.” “Cuek bukan berarti tidak peduli ya, Risa. Saya memperhatikanmu dalam diam.” “Bukankah aku seperti Cinderella? Diajak nikah sama pangeran.” “Saya tidak peduli dengan latar belakangmu, saya hanya ingin kamu menjadi istri saya.” “Termasuk masa laluku? Maksudku, aku bukan orang suci….” “Kamu pikir saya suci dan tidak punya dosa? Saya juga manusia biasa, Risa,” jawab Haris. “Begini saja, bagaimana kalau kita sama-sama sepakat hanya akan fokus pada masa depan? Mari kita lupakan masa lalu yang pernah kita alami.” Terlepas dari ucapan Haris yang mengajak bersepakat untuk melupakan masa lalu, tetap saja Risa yakin jika Haris tahu kejadian malam itu … saat Risa dijebak hingga berakhir di ranjang Daffin, hal itu pasti membuat Haris syok. Sayangnya, Risa tidak bisa mengatakannya. Sulit sekali untuk jujur tentang ini. “Kalau begitu, sepertinya aku udah bisa mengambil keputusan, Mas.” Persetan dengan Daffin. Bukankah Risa hanya perlu merahasiakannya saja? Terlebih mengingat cara Daffin membicarakan itu dengannya, Risa ragu jika pria itu akan membocorkannya. Ya, Risa yakin Daffin pun sama sepertinya yang akan merahasiakan kisah mereka pada malam itu. “Sungguh? Kamu sudah memutuskannya? Saya pikir kamu akan mempertimbangkannya setidaknya beberapa hari.” “Setelah dipikir-pikir, aku nggak perlu membuang waktu lagi karena aku nggak meragukan keputusanku ini.” “Bolehkah saya mendengar keputusanmu sekarang, Risa?” “Keputusanku adalah … ya, aku bersedia menikah dengan Mas Haris.” “Kamu serius?” Jangan ditanya betapa semringahnya Haris. Pria itu benar-benar terlihat bahagia. Sangat. “Ya, aku serius, Mas.” “Apa yang membuatmu memutuskan menikah dengan saya?” “Semua yang terjadi hari ini … membuatku nggak punya alasan buat menolak Mas Haris. Aku serius.” Haris tersenyum. Diraihnya kedua tangan Risa. “Kalau begitu, bolehkah saya memasangkan ini?” Pria itu mengeluarkan sebuah kotak cincin yang tentu saja membuat Risa terkejut. Bagaimana mungkin Haris membawa cincin lamaran? “Sejujurnya, saya membeli ini sebulan yang lalu. Saya selalu membawanya ke mana-mana siapa tahu saja ada momen seperti ini dan ternyata benar … akhirnya saya bisa mengikatmu dengan benda yang akan melingkar di jari manismu ini.” Mata Risa berkaca-kaca. Ini semakin sulit dipercaya, tapi jelas-jelas yang dialaminya sekarang bukanlah mimpi. Ya, semuanya sangat nyata. Bosnya yang dingin … kini sedang berlutut dan memakaikan cincin indah itu di jari manisnya. Bagaimana mungkin perasaan Risa tidak membuncah? Di dalam hatinya, seperti ada sesuatu yang hendak meluap. “Syukurlah sangat pas,” ucap Haris yang kini kembali berdiri. “Bukan hanya pas, tapi juga sangat cantik, melebihi ekspektasi saya.” “Mas Haris….” Risa bahkan tak bisa berkata-kata lagi. “Risa, kamu resmi menjadi calon istri saya mulai detik ini.” Risa mengangguk-angguk. “Cincin yang sudah melingkar di jari manismu … serupa borgol yang mengikatmu. Kamu tidak boleh berhubungan dengan pria lain karena tidak lama lagi … jenjang hubungan kita akan naik ke arah yang lebih serius. Kita akan menikah.” Haris kembali berbicara, “Risa, bolehkah saya memelukmu sekali lagi? Sebelum saya pulang.” Tanpa menjawab, Risa-lah yang lebih dulu memeluk Haris. Mereka pun berpelukan cukup erat. Sambil memeluk Risa, Haris berkata, “Saya janji, kamu tidak akan menyesal dengan keputusan ini.” *** Daffin bukan hanya kesal, tapi juga sangat marah dan tidak terima dengan apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Bagaimana tidak, ia melihat pemandangan memuakkan saat Risa berbicara dengan Haris. Jika pembicaraan biasa, mungkin Daffin tak akan se-emosi ini. Masalahnya adalah … bagaimana bisa Risa langsung menerima lamaran Haris? Risa, kamu sungguh menyukai kakakku atau memang sedang mengincar hartanya? Tahukah apa yang lebih konyol? Bisa-bisanya Daffin menjadi penonton aktivitas romantis Risa dan Haris. Padahal seharusnya Daffin muncul dan memisahkan mereka, bukan malah menguping diam-diam. Ya, seharusnya Daffin bilang pada Haris kalau Risa pernah menjadi teman seranjangnya. Anehnya, Daffin tak bisa melakukan itu. Makanya Daffin memutuskan kembali ke mobil. Dan di sinilah ia berada sekarang, dalam perjalanan pulang menjauh dari perumahan tempat Risa tinggal. Fito mengemudikan mobilnya dengan tenang, sengaja tanpa banyak bicara karena ia tahu bosnya sedang marah besar. Daripada kena sasaran, kan? Itu sebabnya Fito lebih baik diam. Belum sampai setengah perjalanan, Daffin meminta Fito menepikan mobilnya. “Kenapa, Tuan?” tanya Fito setelah menepikan mobil yang dikemudikannya. “Turun,” perintah Daffin. “Tuan mau menyetir sendiri? Sepertinya itu bukan keputusan yang bagus, terlebih emosi Tuan sedang berapi-api. Biarkan saya saja yang menyetir, Tuan. Saya akan memastikan Tuan tiba dengan selamat….” Alih-alih menjawab, Daffin yang duduk di bangku belakang pun turun lalu meminta Fito membuka pintu mobil bagian depan. “Apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Fito saat pintu sudah dibuka. “Jangan banyak bacot, turun sekarang juga!” “Tapi Tuan mau ke mana?” “TURUN!” bentak Daffin. “Ba-baik, Tuan.” Fitu lalu turun, bersamaan dengan itu Daffin langsung bergegas masuk dan duduk di kursi kemudi. Tak lama kemudian, Daffin meninggalkan Fito sendirian di pinggir jalan. Sambil menatap mobil Daffin yang sedang putar balik, Fito menduga kalau Daffin hendak kembali ke rumah Risa. Sayangnya kali ini pun Fito tak tahu apa yang akan bosnya lakukan. *** Daffin sempat berpapasan dengan mobil Haris. Itu bagus karena ia hanya ingin bicara dengan Risa, bukan dengan Haris. Tiba di depan rumah Risa, kini mobil yang Daffin kemudikan diparkirkan di tempat Haris memarkir sebelumnya. Setelah itu, Daffin turun dan langsung mengetuk pintu rumah Risa. “Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?” tanya Risa yang terkejut saat baru saja membuka pintu. Bagaimana tidak, ia tidak pernah menduga kalau Daffin akan datang bahkan belum genap sepuluh menit Haris meninggalkan tempat ini. “Jangan menikah dengan Mas Haris,” ucap Daffin. Risa mengernyit. “Apa?” “Ini perintah, jadi suka nggak suka … kamu harus menurut.” “Akulah yang berhak memutuskan, bukan kamu. Perintah? Jangan konyol, please.” “Kamu sungguh mencintainya? Sampai-sampai bersedia menjadi istrinya?” “Ya,” jawab Risa tanpa keraguan sedikit pun. “Oke baiklah, silakan menikah dengan kakakku, tapi ingat ... jangan salahkan aku kalau nggak bisa berhenti. Aku nggak peduli seandainya kamu udah resmi menjadi istri kakakku. Aku akan tetap berusaha mendapatkanmu. Aku akan terus menggodamu!” “Kamu gila?” tanya Risa. “Aku akan terus menggodamu sampai kamu terbuai dan mau khilaf bersamaku.” Tuhan, pria gila macam apa yang sedang aku hadapi sekarang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN