Kenapa perasaan Risa jadi tidak enak? Risa tahu kedatangannya ke sini hanyalah berpura-pura menjadi calon istri Haris, tapi ia tidak ingin semua orang tahu tentang aibnya yang pernah terlempar ke ranjang Daffin. Padahal tahu atau tidak tahunya semua orang tidak akan berpengaruh dengan kenyataan bahwa Risa hanyalah calon istri dadakan yang tentunya sementara.
Ah, sepertinya Risa hanya ingin meninggalkan kesan yang baik sekalipun dirinya mustahil menjadi menantu keluarga ini. Ia tidak siap dipermalukan.
“Bisakah kamu jangan menggangguku begini?” potong Risa sebelum Daffin menjawab apa yang sebenarnya pria itu inginkan.
“Ini menarik.” Daffin akhirnya melepaskan Risa, tapi tentu saja sekadar melepaskan, ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi sebelum mereka selesai bicara.
“Menarik?” tanya Risa kemudian.
“Bisa-bisanya kamu datang ke mansion ini sebagai calon kakak iparku. Apa-apaan? Ini bukan hanya nggak masuk akal, tapi sangat menyebalkan!”
“Memangnya aku tahu kalau kamu itu adik Pak Haris? Aku sama sekali nggak tahu.”
“Seandainya tahu, apa kamu tetap akan datang?” tanya Daffin lagi.
Risa terdiam.
“Kamu sungguh punya hubungan dengan kakakku? Bukan pura-pura?”
Sejenak Risa masih terdiam, kenapa Daffin bisa berpikir seperti itu? Apa Daffin memang tahu sesuatu tentang kakaknya? Jika tidak, bagaimana bisa menebak kalau ini adalah pura-pura?
Namun, tentu saja Risa mustahil mengakuinya. Terlepas dari Daffin adalah adik dari Haris, tetap saja … ia merasa tidak sebaiknya pria itu tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya antara dirinya dengan si bos.
“Aku nggak paham dengan ucapanmu,” jawab Risa tegas, berusaha tidak terlihat gugup apalagi mencurigakan.
“Maaf ya, aku harus pergi karena Pak Haris nungguin aku.” Risa baru saja bergerak satu langkah, tapi Daffin kembali menahannya. Kali ini pria itu menghalangi jalan Risa.
“Apa lagi?” Risa terlihat kesal.
“Kita belum selesai bicara.”
“Tapi Pak Haris udah nungguin.” Risa memaksa lewat sehingga Daffin terpaksa minggir. Tentu saja setelah itu, Risa bergegas meninggalkan rooftop sebelum Daffin kembali menahannya.
Risa berhasil masuk kembali ke mansion dan yang langsung ditujunya adalah lift. Ia berharap-harap cemas menunggu lift datang. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan Risa langsung masuk.
Rasa tenang sekaligus lega spontan menghampirinya saat pintu lift perlahan tertutup. Ia bersyukur Daffin masih punya pikiran sehingga tidak sampai mengejarnya yang bisa menimbulkan tanda tanya jika ada yang melihat hal tersebut.
Namun, hanya perlu sedikit lagi pintu lift tertutup sempurna, tiba-tiba sepatu Daffin mencegahnya sehingga pintunya kembali terbuka. Astaga, rupanya perkiraan Risa salah besar. Kenyataannya Daffin mengejarnya.
Bahkan, pria itu bukan sekadar mengejar, melainkan tanpa rasa bersalah meraih tangan Risa dan menggiringnya keluar dari lift.
“Lepasin!” Risa berusaha melepaskan diri.
“Aku bakal lepasin kamu, tapi kita harus bicara dulu.”
“Aku bilang apa sama Pak Haris? Aku mustahil bilang lagi bicara sama Daffin, adiknya.”
Tanpa menjawab, Daffin yang juga tidak mau menerima penolakan langsung membawa Risa menuju tangga, entah ke mana pria itu akan membawanya, yang pasti Risa mustahil berteriak. Risa bahkan tidak sadar ID Card-nya yang diletakkan di saku terjatuh.
“Oke, kalau begitu lima menit.” Risa akhirnya pasrah. “Tapi tolong lepasin, aku bisa jalan sendiri.”
Daffin tersenyum, kemudian melepaskan Risa. “Ikuti aku….”
“Kita mau ke mana? Jangan lupa kalau kita bicaranya hanya lima menit, sebenarnya di sini pun bisa.”
“Tentu saja di sini bisa, kalau kamu mau ketahuan sama Mas Haris kalau kita sedang berduaan.”
“Aku ralat ya, kita bicara. Bukan berduaan,” tegas Risa.
Daffin terkekeh. “Apa bedanya?”
“Ah, lupakan. Sekarang kamu mau bawa aku ke mana?” Meskipun Risa tak setuju mereka harus berjalan sejauh ini menuruni tangga hanya untuk bicara, anehnya kakinya malah terus mengikuti pria itu.
“Mari bicara di tempat yang aman sekaligus nyaman,” jawab Daffin, kali ini dengan nada serius. “Mengingat Mas Haris sedang menunggumu, nggak menutup kemungkinan kalau dia menyusul ke rooftop saat menyadari kamu belum juga tiba. Maka dari itu, mari jauhi rooftop dulu,” jelasnya kemudian.
Sampai pada akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu yang Risa sendiri tidak tahu itu ruangan apa. Mungkinkah kamar? Hanya saja, Daffin pasti gila jika mengajaknya bicara di dalam kamar.
“Ini ruangan apa?” tanya Risa sebelum Daffin membuka pintunya.
“Kamu akan tahu setelah kita masuk.” Setelah mengatakan itu, Daffin membuka pintunya dan mempersilakan Risa masuk.
“Kamu gila? Ini kamar.”
“Memang benar kamar, memangnya kenapa?”
“Aku nggak paham kenapa kita harus bicara di dalam kamar.”
“Stt, sepertinya itu suara langkah kaki. Ayo masuk!” Daffin berkata pelan sambil menempelkan telunjuk di bibirnya, membuat Risa melebarkan matanya penuh waspada.
“Ayo masuk sebelum ada yang mencurigai kita!”
Risa terpaksa ikut masuk ke kamar. Risa akui dirinya pasti kerasukan, karena bisa-bisanya mau-mau saja Daffin mengajaknya ke sini. Namun, mau bagaimana lagi, semuanya sudah telanjur. Pria itu pun sudah menutup pintunya dari dalam.
“Kita hanya bicara, ya. Tolong jangan macam-macam.”
“Tenanglah, aku nggak akan macam-macam,” balas Daffin meyakinkan Risa.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan sampai-sampai harus memaksaku ikut ke sini?”
“Dengar, aku nggak mau nggak mau punya kakak ipar seperti kamu.”
Risa mengernyit. Jadi, Daffin hanya ingin bicara seperti itu?
“Apa kamu bilang?”
“Aku nggak mau kamu menjadi kakak iparku, jadi tolong … pertimbangkan niatmu lagi untuk menjadi istri Mas Haris, sekalipun itu hanya pura-pura.”
Sungguh, Risa sampai tak bisa berkata-kata.
“Aku serius,” tambah Daffin.
“Aku boleh tahu alasannya, kan?” tanya Risa kemudian. “Ah tunggu, pasti karena malam itu, kan? Kamu merasa aku nggak layak menjadi istri Pak Haris. Itu wajar, mengingat apa yang pernah terjadi di antara kita. Tapi, ada satu hal yang harus kamu tahu bahwa aku bersumpah … malam itu nggak seperti yang kamu kira. Aku sungguh nggak tahu apa-apa, aku juga nggak tahu bagaimana caranya bisa ada di kamar itu. Aku dijebak dan….”
“Ya. Aku tahu kamu dijebak,” potong Daffin.
“Lalu? Bisakah kita melupakan malam itu? Biarkan aku melanjutkan hidupku dengan tenang tanpa harus mengingat-ingat malam terkutuk itu,” pinta Risa. “Terlepas dari aku akan menikah dengan Pak Haris atau nggak, aku mohon … bersikaplah seolah-olah kita nggak pernah bertemu sebelumnya. Bukankah kamu barusan bilang tahu kalau aku hanya dijebak?”
“Enggak penting dijebak atau bukan, intinya kita melewati malam panas di ranjang sebuah kamar hotel.”
“Malam panas yang kamu maksud … aku sama sekali nggak menginginkannya dan ini fakta,” balas Risa.
“Awalnya kamu memang kesakita dan tampak kurang nyaman, tapi pada akhirnya kamu mendesah, aku juga sangat yakin kamu menikmatinya. Sangat.”
“Astaga….”
“Intinya, yang aku inginkan adalah … kamu jangan menikah dengan Mas Haris karena seharusnya kamu menjadi pacarku, bukan kakak iparku.”
Apakah Daffin tidak waras?
***
Haris yang sedang berkumpul dengan para om dan tantenya di taman, merasa ada yang aneh karena setelah sepuluh menit berlalu, Risa belum juga tiba. Haris mulai bimbang, haruskah menyusul ke sana?
Sebelum melakukannya, Haris memutuskan menelepon Risa dulu. Namun, panggilannya tidak mendapatkan respons. Bahkan, saat Haris mencobanya sekali lagi, nomor Risa malah tak bisa dihubungi. Kalau sudah begini, Haris tidak ragu lagi untuk menyusul sekretarisnya itu.
Saat Haris beranjak dari duduknya, tiba-tiba Utami memanggilnya.
“Haris!”
Haris tentu saja menghampiri mamanya yang sedang mengobrol dengan temannya.
“Selamat sore, Tante Rosita.” Haris sejenak menyapa teman mamanya dulu.
“Sore juga, Haris. Kamu selalu tampan.”
“Terima kasih, Tante yang juga selalu cantik,” balas Haris. Setelah itu, ia menoleh pada sang mama. “Mama manggil saya, kan?”
“Bisakah kamu menyusul Risa? Mama tadi bilangnya hanya sebentar, malah keterusan ngobrol,” pinta Utami. “Tadi mama meminta dia nunggu di-rooftop.”
“Tadi saya nelepon, Risa memang ada di sana,” balas Haris. “Kalau begitu saya mau jemput dia dulu, Ma.”
Haris sengaja tidak jujur kalau Risa seharusnya sudah tiba di sini. Itu ia lakukan agar mamanya tidak merasa cemas berlebihan.
Lagi pula kenapa harus cemas? Mansion ini sangat aman dan mustahil terjadi hal buruk pada Risa. Untuk sementara, dugaan Haris adalah … Risa nyasar.
“Maaf ya Haris, seharusnya mama ajak dia turun. Sekalian kenalin juga sama Jeng Rosita.”
“Mama tenang aja, saya mau susul Risa sekarang juga.”
“Wah, ayo ajak ke sini calon istrinya. Tante penasaran banget pengen ketemu.”
“Kalau begitu Ma, Tante … saya jemput Risa dulu,” pamit Haris. Setelah itu, ia bergegas masuk ke mansion. Ia langsung menuju lift.
Tidak butuh waktu lama, Haris sudah berada di lantai empat. Ia menaiki anak tangga yang akan langsung menghubungkan dengan rooftop. Namun, begitu tiba di rooftop, Haris hanya mendapati tempat yang kosong. Tak ada Risa di sana.
“Risa?” panggilnya, berharap Risa mendengar. Namun, sungguh tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, Haris sampai memeriksa setiap detail rooftop ini dan hasilnya nihil.
Risa, kamu ke mana?
Haris pun kembali masuk. Ia mencoba menelepon Risa lagi, tapi nomornya masih tidak aktif. Saat hendak menuju lift, Haris menyadari sesuatu … bukankah itu sebuah ID Card? Haris lalu berjalan mendekat untuk memastikan dugaannya. Ternyata benar, itu ID Card milik Risa. Lebih tepatnya ID card yang sebenarnya masih sangat baru karena Risa mencetak ulang sekitar satu bulan yang lalu.
Kamu sudah kehilangan benda ini satu bulan yang lalu, bisa-bisanya kamu menjatuhkannya di sini dan pasti akan kebingungan lagi kalau saya nggak menemukannya….
ID Card Risa yang digantungkan pada lanyard berwarna biru itu kemudian Haris masukkan ke dalam saku jasnya.
Sekarang yang jadi pertanyaannya adalah … kenapa Risa turun lewat tangga?
Tanpa membuang-buang waktu, Haris kemudian berjalan menuruni tangga berharap bisa menemukan jejak Risa.
Risa, misalnya kamu benar-benar nyasar, saya yakin kamu pasti meninggalkan jejak lain….