“Fito, kamu sungguh menguping pembicaraan mama dan Risa?” tanya Daffin yang kini berada di dalam lift menuju rooftop.
“Untuk secara detail, saya tidak bisa dikatakan menguping juga karena saya tidak bisa mendengarkan seluruh pembicaraan mereka apalagi jarak saya memantau tidak terlalu dekat,” jelas Fito. “Cuma yang pasti … Nyonya Utami sepertinya hendak bertemu seseorang di beranda rumah. Beliau sepertinya memesan sesuatu, sejenis bingkisan atau hampers, mungkin untuk diberikan pada Risa,” sambungnya.
“Tapi kenapa mama mengambilnya sendiri? Padahal di mansion ini ada banyak ART.”
“Saya sempat mendengar saat Nyonya Utami berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. Cara Nyonya berbicara tampak sangat akrab. Saya pikir Nyonya sangat mengenal orang yang akan ditemuinya ini.”
“Kamu benar, pasti owner Rose Hamper’s yang langsung mengantarkan pesanan mama, makanya mama turun untuk menemuinya.” Daffin kini mengerti. Terlebih selama ini Rose Hamper’s selalu menjadi andalan keluarga Adhitama.
“Baiklah, justru bagus mama turun dulu. Dengan begitu saya bisa menemui Risa sekarang,” tambah Daffin.
Ting.
Pintu lift terbuka dan Daffin sudah tiba di lantai teratas, hanya perlu naik beberapa anak tangga untuk mencapai pintu yang menghubungkan langsung ke rooftop.
“Kamu yakin Risa ada di sini?”
“Saya yakin, Tuan. Nyona Utami sebelum berpisah dengan Risa, mempersilakan Risa agar ke rooftop lebih dulu.”
“Sekarang, kamu hanya perlu berjaga-jaga. Jangan biarkan ada yang mengetahui kalau saya sedang bicara dengan Risa,” ucap Daffin. “Turunlah lalu pantau keberadaan mama dan Mas Haris, kalau mereka ke sini segera beri tahu saya,” sambungnya.
“Ini, Tuan….” Fito menyerahkan ponselnya. “Sementara pegang ponsel ini dulu, kita bertukar ponsel hanya untuk saling memberi kabar terkait situasi. Saya juga akan mengambil ponsel Tuan yang ketinggalan di mobil.”
Daffin mengangguk-angguk seraya mengambil alih ponsel milik asisten pribadinya. Setelah itu, Fito kembali sedangkan Daffin melanjutkan perjalanannya menuju rooftop.
***
Mimpi apa Risa semalam? Tiba-tiba ia menjadi calon menantu konglomerat seperti ini. Bahkan, sejujurnya Risa masih merasa ini tidak masuk akal. Ini adalah pertama kalinya Risa datang ke mansion ini, terlebih sejauh ini bosnya memang tinggal di apartemen, bukan di sini.
Jika dihitung waktu jarak tempuh, Risa pikir hanya perlu waktu sekitar tiga puluh hingga empat puluh menit jarak dari sini ke rumah yang Risa tinggali bersama ibunya. Namun, dalam jarak yang kurang dari satu jam tersebut … Risa merasa di sini adalah dunia yang berbeda.
Aku pasti gila kalau berharap benar-benar menjadi menantu keluarga ini. Ingat Risa, adiknya Pak Haris adalah pria yang telah merenggut hal berharga dalam hidupmu….
Risa berusaha menyadarkan dirinya sendiri agar jangan sampai terbuai dengan rasa nyaman yang didapatkannya. Memangnya ia Cinderella? Jelas bukan. Jadi, hal terbaik yang bisa ia lakukan sekarang adalah … jangan terlalu percaya diri hanya karena keluarga Adhitama merestuinya.
Seandainya Risa sudah menjalin hubungan dengan Haris sebelumnya, hari ini pasti sangat bersejarah dalam hidupnya. Masalahnya adalah ia dan bosnya itu tak punya hubungan apa pun. Maka dari itu, untuk apa Risa merasa senang? Ia bukan calon menantu sungguhan.
Saat ini Risa berada di rooftop. Sejenak Risa berkeliling tempat tertinggi di mansion ini dan angin sore menerpa rambutnya, membuatnya merasakan kenyamanan. Ya, Risa memutuskan melupakan sejenak pikiran-pikiran yang terus menghantuinya. Risa hanya ingin menikmati hari ini yang belum tentu datang dua kali.
Bisa jadi ini adalah pertama dan terakhirnya Risa berada di sini, jadi Risa akan menikmati setiap detiknya.
Tiba-tiba getaran ponsel membuat Risa segera merogoh ponselnya di saku celana panjang kain yang biasa digunakannya saat ke kantor. Melihat layar ponselnya, ternyata yang meneleponnya adalah Haris.
Ah, benar juga. Pak Haris pasti mencariku….
Selain itu, bukankah mereka perlu bicara? Haris bilang akan membahas detailnya nanti. Risa pikir sekarang adalah waktunya, mumpung dirinya hanya sendirian karena sampai sekarang Utami belum juga ke sini padahal bilangnya hanya sebentar.
“Selamat sore, Pak,” ucap Risa tepat setelah menempelkan ponselnya ke telinga.
“Risa, sekarang kamu di mana?”
“Saya di rooftop, Pak.”
“Sedang apa?”
“Tadi mama bilang mau turun sebentar karena ada perlu, setelah itu bakalan menyusul ke sini,” jelas Risa. “Tapi saya nggak tahu juga kenapa sampai sekarang mama belum juga datang,” lanjutnya.
“Saya memang meneleponmu karena melihat mama sedang berbicara dengan tamu yang datang. Jadi, mama bilang hanya sebentar?”
“Iya, Pak.”
“Saya pikir mama akan lama karena sampai sekarang … mereka masih mengobrol di depan rumah.”
“Memangnya Pak Haris lagi di mana?”
“Saya mau ke taman samping mansion, tapi melihat mama menerima tamu … saya memutuskan meneleponmu dulu.”
“Menurut Bapak, apa yang harus saya lakukan? Tetap menunggu di sini atau turun?”
“Kamu turun aja. Ayo berkumpul di taman samping mansion.”
“Baik, Pak. Aku turun ke sana sekarang.”
“Kamu perlu saya menjemput ke sana?”
“Eng-nggak usah, Pak.”
“Kamu hanya perlu naik lift dan turun ke lantai satu. Mudah, bukan?”
“Iya, Pak.”
“Kamu nggak mungkin nyasar, kan, Risa?”
“Tempat ini memang luas banget, tapi saya yakin nggak akan nyasar.”
“Kalau begitu saya tunggu, ya.”
“Iya, Pak.”
“Saya juga sekalian mau bilang ke mama kalau kamu nggak mungkin nunggu lama di rooftop apalagi sendirian.”
Setelah sambungan telepon mereka terputus karena Risa dan bosnya sudah selesai bicara, tak lama kemudian Risa meletakkan kembali ponselnya ke saku celana. Ia memutar tubuhnya sambil melangkah, bergegas meninggalkan tempat ini.
Saat hendak membuka pintu, Risa spontan mundur lagi karena pintu sudah lebih dulu terbuka. Ternyata ada yang membukanya dari arah dalam. Tentu saja Risa terkejut.
Rasa terkejutnya menjadi dua kali lipat saat menyadari rupanya seseorang yang membuka pintu adalah Daffin dan mereka hampir saja bertabrakan. Daffin yang saat ini menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Namun yang pasti Daffin tersenyum.
“Wah, aku nggak tahu ada kamu di sini,” ucap Daffin yang tentu saja berbohong. “Kebetulan yang menyenangkan, bisa bertemu denganmu lagi terlebih di tempat sepi begini.”
Risa tersenyum kikuk dan tentunya ia juga berusaha waspada. “Ya, kita bertemu lagi. Mau ke rooftop, kan? Kebetulan aku juga mau pergi. Permisi….”
Setelah mengatakan itu, Risa buru-buru melangkah pergi. Namun, saat melewati tempat Daffin berdiri, tanpa diduga pria itu meraih tangan Risa dan menahannya agar jangan pergi.
“Tolong lepaskan,” pinta Risa, masih pelan dan bicara baik-baik.
“Kalau aku nggak mau melepaskanmu, gimana?”
“Tolong, Pak Haris udah menunggu….” Risa tak bisa melanjutkan kalimatnya karena saat ini tubuhnya sudah ditarik sehingga dirinya bukan sekadar berhadapan, melainkan sekaligus merapat pada tubuh Daffin.
Deg. Tak bisa dimungkiri Risa deg-degan. Namun, ia segera melepaskan diri, tapi jelas gagal karena Daffin mengunci tubuhnya sangat kuat.
“Kamu ingin aku berteriak?” ancam Risa.
“Teriaklah sesukamu, toh nggak akan ada yang mendengar,” balas Daffin. “Kalaupun ada yang mendengar, bukankah kamu yang seharusnya panik? Orang-orang di sini akan tahu tentang hubungan kita.”
“Hubungan apa? Kita nggak ada hubungan apa-apa.”
“Haruskah aku menceritakan pada Mas Haris tentang malam yang pernah kita lalui?”
Risa terdiam.
“Kamu bahkan nggak bisa menjawab,” kekeh Daffin.
“Se-sebenarnya apa yang kamu inginkan?!”
Daffin tersenyum nakal. “Yang aku inginkan adalah….”