Bab 4 - Bertemu Lagi

1359 Kata
Tidak ada angin, tidak ada hujan … Risa diajak nikah oleh bosnya? Mungkin ini akan lebih masuk akal kalau interaksi Risa dengan bosnya itu cenderung akrab. Masalahnya adalah selama dua tahun menjadi sekretaris dari Haris Adhitama, hubungan mereka tidak lebih dari sekadar profesional. Terlebih Haris itu memang terkenal dengan sifat dingin dan cueknya. Bahkan, hari ini adalah pertama kalinya Haris membahas sesuatu yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, yakni pengajuan pinjaman Risa kepada bank yang tidak disetujui. Bukan hanya itu saja, untuk pertama kalinya juga Haris yang mengemudikan mobilnya. Padahal biasanya Risa atau sopir pribadi bosnya itu yang menyetir. Dan yang paling lebih tidak masuk akalnya lagi, sekarang mereka berada di halaman sebuah mansion yang di dalamnya ada keluarga besar Haris sedang menunggu. “Maaf Pak, menurut saya ini nggak masuk akal,” ucap Risa. “Saya hanya sekretaris Bapak, bukan pacar apalagi calon istri.” “Orangtua saya mendadak menghubungi saya sebelum meeting tadi. Mereka bilang sudah berkumpul di sini. Mereka ingin saya datang, tapi jangan sendiri. Ya, mereka menginginkan saya datang dengan calon istri.” “Ta-tapi aku bukan calon istri Pak Haris.” “Bagaimana kalau mulai hari ini kamu menjadi calon istri saya?” Bagaimana mungkin memutuskan seseorang menjadi calon istri seperti sedang memutuskan mau pakai jam tangan yang mana? Ini masih sangat tidak masuk akal bagi Risa. “Kenapa harus saya, Pak?” Risa masih butuh penjelasan. “Dari seluruh wanita yang ada di dunia ini … saya hanya kepikiran nama kamu aja,” jujur Haris. Kok bisa? “Sebenarnya saya ingin sekali membicarakan ini sejak bulan lalu, tapi saya bingung bagaimana cara memulainya. Belakangan pun saya mencoba mencari cara untuk bilang, itu sebabnya saya minta kamu menemani saya akhir pekan ini. Sayangnya, saya yang tadinya udah mantap ingin memberi tahu kamu weekend ini … terpaksa mempercepat waktunya. Saking terdesaknya, hari ini juga saya harus memohon agar kamu bersedia masuk ke rumah ini bersama saya.” “Ini gila, Pak.” “Kamu hanya perlu bersikap selayaknya calon istri saya. Saya mohon, Risa. Saya akan membayar berapa pun yang kamu mau.” Haris melanjutkan, “Setelah ini, mari bicarakan detailnya bagaimana. Untuk sekarang, saya benar-benar sedang terdesak. Saya mohon, kali ini bantu saya.” Bersamaan dengan itu, ponsel Haris bergetar tanda ada panggilan masuk. Pria itu lalu mengecek nama pemanggilnya kemudian mengangkatnya. “Saya udah di depan, Ma. Ini mau masuk.” Setelah mengatakan itu, Haris kemudian meletakkan ponselnya di dasbor. “Risa, jadilah calon istri saya dan ayo, kita masuk sama-sama.” Risa pasti sudah gila! Pikirannya berkata tidak tapi kakinya malah terus berjalan beriringan dengan bosnya. Mereka memasuki kediaman keluarga Adhitama yang pintu utamanya sangat tinggi dan lebar. Apa aku se-frustrasi itu karena sempat butuh uang? Atau aku menemukan harapan karena ini bisa menjadi jalan terwujudnya harapan ibu…. Ya, ibu Risa sudah berkali-kali mengatakan ingin Risa membawa seorang pria untuk diperkenalkan padanya. Dalam kata lain, pacar atau calon suami. Mungkin itu sebabnya Risa tidak kabur saat bosnya tiba-tiba begini, karena Risa juga butuh timbal balik dari bosnya agar menemui sang ibu setidaknya untuk berpura-pura menjadi calon suaminya. Risa terperanjat saat tangannya diraih oleh Haris. Rasanya aneh karena ini pertama kalinya mereka berpegangan tangan seperti ini. Hanya saja, yang membuat Risa tak mengerti adalah genggaman tangan pria dingin di sampingnya ini tak sekadar hangat, tapi juga nyaman. Aneh, bukan? “Selamat sore semuanya,” sapa Haris tenang saat mereka berdua tiba di ruang keluarga di mana keluarga besar Adhitama sudah berkumpul di sana. Jangan ditanya betapa gugupnya Risa. Wanita itu sangat deg-degan, tapi sebisa mungkin ia bersikap tenang seperti yang bosnya lakukan sekarang. “Sebenarnya saya sempat ragu untuk datang bersamanya, tapi pada akhirnya saya memutuskan membawanya ke sini,” ucap Haris. “Saya juga minta maaf karena ini sangat mendadak sehingga kami nggak sempat mempersiapkan apa-apa. Lihatlah, kami bahkan masih pakai setelan kerja,” sambungnya. Utami, mama Haris langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Risa. “Sudah mama duga … karena hidupmu hanya bekerja, bekerja dan bekerja … pasti jodohmu tidak jauh-jauh dari orang kantor,” ucap Utami. “Siapa namamu, Cantik?” Kali ini Utami bertanya sambil menatap Risa. Utami memang sudah beberapa kali melihat Risa, tapi tidak pernah tahu namanya karena yang Utami tahu ... wanita itu adalah sekretaris Haris. “Risa, Nyonya.” “Eits, jangan panggil nyonya. Panggil mama aja, seperti yang Haris lakukan.” Setelah itu, Risa menyalami satu per satu keluarga besar Haris. Rasa gugupnya pun perlahan memudar terlebih keluarga Haris benar-benar welcome padanya. Sejujurnya Risa takjub, ia pikir keluarga konglomerat hanya ingin menantu yang konglomerat juga. Nyatanya, keluarga Adhitama tidak seperti itu. Risa sama sekali tidak dipandang rendah. Risa benar-benar diterima dengan baik di keluarga ini, padahal sebenarnya ia bukan calon istri Haris sungguhan. “Risa, apa kamu belum pernah diajak ke sini sebelumnya?” Utami bertanya sambil merangkul Risa. “Be-belum, Ma. Ini pertama kalinya aku ke sini,” balas Risa. “Wah, bisa-bisanya kamu baru ajak Risa ke sini, Haris.” “Hubungan kami belum lama, jadi perlu waktu untuk membawa Risa ke sini. Ditambah lagi Risa-nya belum siap. Dia takut kalau calon mama mertuanya galak.” “Astaga. Kamu ngatain mama galak?” Haris terkekeh. “Bercanda, Ma.” Jujur, untuk pertama kalinya Risa melihat Haris bercanda. Selama di kantor, pria itu jangankan tertawa, tersenyum saja hampir tidak pernah. “Kalau begitu yuk Risa, ikut mama jalan-jalan berkeliling mansion,” ajak Utami. Risa kemudian menatap Haris. “Kamu ikut mama ya, Sayang. Mama baik, kok.” Sayang? “Mama cuma pengen lebih mengenal kamu sambil keliling biar nggak bosan di sini terus, lagian kalau di sini nggak bisa bicara empat mata dong. Sedangkan mama pengen ngobrol berdua sama kamu.” “Kalau begitu ayo,” balas Risa akhirnya. Setelah pamit pada Haris, kini Risa digandeng tangannya oleh Utami. Bersamaan dengan mereka yang meninggalkan ruang keluarga, terdengar suara salah satu keluarga Adhitama memanggil nama Haris untuk duduk bergabung di sana. Tentu saja Haris langsung bergabung dengan mereka. Sementara itu, Risa masih berjalan berdampingan dengan Utami. Mereka berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai atas. “Mama….” Itu adalah suara seorang pria, yang anehnya Risa merasa familier dengan suara itu. Namun, yang pasti itu jelas bukan suara Haris. Anehnya, kenapa Risa merasa pernah mendengarnya? Apa itu adalah suara salah satu petinggi di kantor? Risa dan Utami refleks memutar tubuh mereka, untuk melihat siapa yang datang. “Daffin?” tanya Utami. "Kamu kapan pulang?” Risa ingat sekarang! Bukankah ini pria yang satu bulan lalu menghabiskan malam dengannya? Sebentar, jadi namanya Daffin? Juga, kenapa memanggil Utami dengan sebutan mama? Jangan bilang pria ini anak Utami selain Haris. Daffin jelas lebih muda, apa ia adalah adik dari Haris? Masalahnya … Daffin ini mengingatnya atau tidak? Itulah yang menjadi pertanyaan Risa sekarang. “Aku sebenarnya baru aja tiba, dari bandara langsung ke sini karena di grup … ramai membicarakan kalau Mas Haris membawa calon istrinya ke sini.” Utami mengernyit. “Sejak kapan kamu tertarik dengan hal-hal seperti ini?” “Aku juga ingin bertemu Mama. Memangnya Mama tidak merindukan anak bungsu yang sebulan ini dihukum oleh papa?” Utami tersenyum. “Itu salahmu sendiri.” “Tunggu, Ma. Apa ini orangnya?” tanya Daffin berpura-pura tidak tahu. Padahal ia sangat mengingat jelas wanita yang bersama mamanya adalah Risa yang pernah tanpa busana di ranjangnya. “Tepat sekali. Cantik, bukan? Kenalin ini calon istri kakakmu, namanya Risa,” ucap Utami, wanita itu kemudian menoleh pada Risa. “Risa, perkenalkan ini Daffin … adiknya Haris.” Daffin lebih dulu mengulurkan tangannya, mengajak Risa berjabat tangan. “Daffin.” Awalnya Risa ragu, tapi ia sadar jika tidak membalas uluran tangan pria di hadapannya … bukankah sangat mencurigakan? Untuk itu Risa kini membalas uluran tangan Daffin. “Ri-Risa,” ucapnya canggung. Ia yang semula menunduk, memberanikan diri menatap wajah pria yang tak kunjung melepaskan jabat tangan mereka. Risa bahkan bisa merasakan betapa Daffin memegangnya dengan erat, seolah tak mau melepaskan tangannya. Tepat saat Risa mendongak untuk melihat wajah Daffin agar melepaskan tangannya, spontan pria itu mengedipkan sebelah matanya, selayaknya pria yang sedang menggoda. Oh tidak, sepertinya dia mengingatku, mengingat malam panas itu….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN