Bab 5 - Langkah Awal

1210 Kata
Sebagai putra kedua yang dianggap pembuat onar, Daffin tentu saja tidak diizinkan untuk ikut mengelola perusahaan. Ah, jangankan mengelola, Daffin juga tidak pernah diberi kesempatan setidaknya menjadi pegawai magang. Itu sebabnya selama ini aktivitas Daffin hanyalah menghabiskan uang dan hidup sesuka hatinya. Padahal menurut Daffin, jika dirinya diizinkan bekerja di AG, bukankah setidaknya ia bisa jauh lebih baik? Namun, tentu saja orangtuanya takut Daffin membuat kekacauan di perusahaan, makanya sampai detik ini Daffin dibiarkan hidup tanpa tujuan. Ah, ralat. Bukankah Daffin punya tujuan? Tujuannya adalah membuat dirinya senang bagaimanapun caranya. Saat ini Daffin sedang melepaskan kepergian Risa dan Utami yang sudah masuk ke lift dan pintunya tertutup tak lama setelahnya. “Tuan mau ke mana?” tanya Fito saat Daffin beranjak pergi. Daffin menghentikan langkahnya sejenak, “Tentu saja menemui si sulung alias anak emas itu.” “Jangan bilang Tuan ingin memberi tahu Tuan Haris tentang calon istrinya?” Daffin tersenyum. “Memangnya kenapa kalau saya memberi tahu?” “Apa tidak terlalu gegabah?” Daffin pun tertawa. “Tenang, saya hanya ingin mendengar kisah cinta Mas Haris. Sudah pasti dia akan dituntut untuk menceritakan bagaimana semua ini bermula.” Daffin kembali berbicara, “Awasi Risa. Kalau lengah, beri tahu saya. Saya ingin berbicara empat mata dengannya.” “Baik, Tuan.” Setelah itu, Daffin langsung bergegas menuju ruang keluarga. Sambil berjalan, pikiran Daffin terbayang pada sesuatu yang terjadi sebulan lalu. Pada malam saat Daffin melakukan aktivitas panas dengan Risa satu bulan yang lalu, itu adalah malam terakhirnya di Jakarta, sebelum akhirnya ia dipaksa menjalani hukuman di Australia. Ya, selama satu bulan Daffin menjadi pemetik buah-buahan di sana. Itu adalah hukuman karena pria itu telah membuat kekacauan di sebuah tempat hiburan malam yang melibatkan anak dari salah satu petinggi Atmajaya Group. Itu sebabnya Daffin ingin bermalam dengan seorang wanita dulu sebelum menjalani hukuman dari sang papa. Sampai kemudian ia mendapati wanita yang menjadi teman seranjangnya adalah Risa. Wanita yang berhasil membuatnya tertarik karena untuk pertama kalinya … Daffin punya teman tidur yang masih perawan. Sayangnya Daffin harus menerima kabar mengejutkan bahwa Risa adalah calon istri dari Haris. Padahal Daffin sudah bertekad untuk menemui Risa saat dirinya pulang dari Australia. Hanya saja, apa-apaan ini? Bisa-bisanya Risa ada di mansion ini dan memperkenalkan diri sebagai calon istri Haris. Sudah pasti Daffin tidak rela! *** “Haris, kamu yakin menjadikan sekretarismu sendiri sebagai calon istri?” tanya Adhitama, sang papa. “Kalau tidak yakin, mana mungkin saya membawanya ke sini?” balas Haris. “Sejauh yang papa lihat, dia gadis yang baik dan tidak pernah aneh-aneh. Reputasinya di kantor pun bagus.” “Papa benar, Risa tidak seperti sekretaris-sekretaris saya sebelumnya yang sangat kentara berusaha menggoda dan menarik perhatian saya. Sampai-sampai saya frustrasi, ingin mencari sekretaris laki-laki saja.” “Bukankah pada akhirnya dia menggodamu sehingga membuatmu tergoda begini? Buktinya sekarang kamu menjadikannya calon istri dan membawanya ke mansion ini untuk diperkenalkan pada keluarga besar.” “Risa tidak menggoda saya, Pak. Saya-lah yang lebih dulu tergoda padanya.” “Wow, luar biasa.” Adhitama bertepuk tangan. “Haris, kamu serius berkencan dengannya? Maksud papa, kalian tidak terlihat seperti pasangan.” “Kami profesional, Pa. Di kantor, kami bersikap selayaknya bos dan sekretaris, tidak lebih.” Adhitama mengangguk-angguk. “Baiklah, dia gadis baik dan soal latar belakang … itu tidak penting selagi kalian saling mencintai.” “Terima kasih sudah menerima Risa, Pa.” Adhitama tersenyum. “Sepertinya mamamu juga menyukainya.” “Saya sangat bersyukur untuk hari ini, sekalipun sangat mendadak bagi saya dan Risa.” “Haris, kamu memang paling unggul dalam berbagai hal. Jika dibandingkan dengan Daffin, level adikmu itu berada jauh di bawahmu.” “Papa jangan begitu.” “Tapi dia pembuat onar, sedangkan kamu sangat bisa diandalkan. Kalian sangat berbeda, bagai bumi dan langit.” “Bicara soal Daffin, bukankah dia sudah selesai masa hukumannya?” “Ya, seharusnya dia sudah kembali.” “Benar, aku memang sudah kembali,” timpal Daffin yang memang sejak tadi menguping pembicaraan Haris dan Adhitama. “Dari bandara, aku langsung ke sini,” sambungnya. Sejenak Haris dan Adhitama berpandangan. “Sejak kapan kamu di situ?” tanya Adhitama. “Kenapa? Papa takut aku mendengar pembicaraan kalian berdua?” Daffin balik bertanya. “Siapa yang takut? Bukankah apa yang kami bicarakan adalah fakta. Kenyataannya kamu adalah pembuat onar sedangkan kakakmu … selalu bisa diandalkan.” “Bagaimana aku bisa diandalkan? Papa bahkan tidak memercayaiku bekerja di AG.” “Kamu tahu sendiri alasan papa tidak pernah membiarkanmu bergabung di AG. Kamu jelas akan membuat kekacauan. Selain itu, memangnya kamu tahu apa soal bisnis? Kuliah saja bukannya belajar malah berfoya-foya.” “Bahkan itu sudah bertahun-tahun yang lalu, bisa-bisanya Papa masih mengungkit itu. Aku sudah berubah.” “Berubah apanya? Kamu masih menghabiskan waktu di tempat hiburan malam, menyewa perempuan, bahkan terakhir kali kamu terlibat pertengkaran dengan pewaris Atmajaya. Itu sebabnya papa menghukummu.” “Dan aku sudah selesai menjalani hukuman tersebut. Papa puas sekarang?” Melihat ketegangan antara papa dan adiknya, tentu Haris tak tinggal diam. Pria itu langsung melerai mereka. “Ini hari yang bagus, kenapa kalian malah berdebat?” tanya Haris. “Ah, itu dia masalahnya. Kenapa kamu malah ke sini alih-alih pulang? Seharusnya kamu istirahat di apartemenmu,” ucap Adhitama yang tentu saja bicara pada Daffin. “Pulang? Bukankah ini juga rumahku? Katanya, aku bebas jika kapan saja ingin tinggal di mansion ini lagi.” “Oke, baiklah terserah.” Adhitama sengaja mengakhiri perdebatan ini. “Katanya Mas Haris bawa calon istri. Sekarang mana dia?” tanya Daffin berpura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya sudah berpapasan bahkan berjabat tangan dengan Risa. “Sedang bersama mama,” jawab Haris. “Mansion tour?” “Ya, anggap saja begitu. Mama ingin mengenalnya lebih dekat dan tidak mau ada yang mengganggu.” Daffin kembali beralih menatap sang papa. “Apa lagi?” tanya Adhitama. “Tidak adakah apresiasi setelah aku selesai menjalani hukuman?” “To the point aja, apa ingin kamu katakan? Jika kamu menginginkan yang tidak masuk akal, jangan harap….” “Tidak bisakah aku bekerja di AG, Pa?” Haris mengernyit. Tampak tidak setuju. “Kenapa tiba-tiba?” timpalnya. “Aku sedang berbicara dengan papa, bukan dengan Mas Haris,” balas Daffin. “Bagaimana, Pa?” Adhitama menggeleng. “Tidak. Papa sudah muak dengan tingkahmu yang selalu membuat masalah di mana pun. Apalagi di perusahaan, itu bukan tempat bermain-main.” “Pa, aku justru ingin membuktikan kalau aku tidak akan membuat onar lagi.” “Benarkah? Bisakah papa memercayainya?” “Percayalah, Pa. Dengan aku bergabung di AG, bukankah aku akan sibuk bekerja? Aku seharusnya tidak punya waktu lagi untuk membuat onar seperti yang Papa cemaskan.” Daffin berbicara lagi, “Selama ini aku menurut, dihukum memetik buah-buahan pun aku laksanakan tanpa mengeluh. Setidaknya Papa punya hati nurani untuk memberiku posisi di AG. Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan.” Adhitama masih terdiam. “Aku mohon, Pa,” pinta Daffin. “Kali ini … izinkan aku bergabung di perusahaan.” Ini adalah langkah awal Daffin untuk mendekati Risa. Sekarang pertanyaannya, apakah Haris akan membiarkannya bergabung di perusahaan? Bukannya apa-apa, selama ini Haris-lah yang paling tidak suka jika Daffin bekerja di AG, sekalipun hanya karyawan magang. “Bagaimana, Pa? Tidak perlu lama-lama mempertimbangkannya. Izinkan aku bekerja di AG.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN