Bab 6 - Oh, Kacau!

1009 Kata
Bukankah tadi Haris bilang akan membicarakan detailnya nanti? Untuk itu, Risa hanya perlu tenang sambil bersabar agar bisa melewati hari ini tanpa kekacauan. Setelahnya, ia akan berbicara pada bosnya itu agar kepura-puraan ini tak perlu diteruskan lagi. Awalnya Risa mungkin bersedia mempertimbangkan tawaran Haris lantaran dirinya juga butuh timbal balik. Ini bukan melulu tentang uang, melainkan ia butuh menjadikan bosnya itu sebagai pacar yang akan dikenalkan pada ibunya. Namun, setelah mengetahui ternyata pria yang merenggut hal berharga bagi Risa adalah adik dari Haris, tentu saja Risa tidak punya alasan untuk meneruskan kepura-puraan ini. Aku akan menyelesaikan hari ini tanpa masalah, bersikap selayaknya calon menantu yang baik. Setelah ini, aku nggak akan mau diajak ke sini lagi…. Saat ini Risa masih bersama Utami, berjalan-jalan mengelilingi mansion yang membuat Risa takjub saking luas dan mewahnya. “Ngomong-ngomong, kamu sudah berapa lama menjadi sekretaris Haris?” tanya Utami. “Dua tahun, Ma,” jawab Risa yang sudah membiasakan diri memanggil Utami dengan sebutan mama. “Wah, dua tahun itu terbilang lama karena Haris pernah punya sekretaris yang hanya bekerja satu hari. Tapi, itu bukan karena sekretarisnya mengundurkan diri, melainkan Haris yang memecatnya. Setahu mama, selagi menjadi direktur, Haris bukanlah bos yang menyebalkan. Sayangnya, dia terkadang mendapati sekretaris yang berusaha menggodanya.” Risa mengangguk-angguk. “Benar, Pak Haris memang bukan bos yang menyebalkan,” jawab Risa. “Tapi bukan juga bos yang ramah,” lanjutnya dalam hati. Maksudnya, siapa pun akan bilang mustahil Risa adalah calon istri bosnya, mengingat betapa cuek dan dinginnya Haris terhadap siapa pun, tak terkecuali Risa. “Kamu tahu, mama sengaja bikin acara keluarga dadakan ini agar Haris mau membawa calon istrinya. Syukurlah berhasil, dia benar-benar datang membawamu.” Risa hanya tersenyum, lagi pula ia harus merespons bagaimana lagi? “Risa, apa yang kamu tahu tentang Haris?” tanya Utami kemudian. Mati aku! Aku bahkan nggak tahu apa-apa! “Sejujurnya kami masih dalam tahap saling mengenal satu sama lain, Ma,” ucap Risa setelah beberapa saat terdiam. “Cuma yang pasti, Pak Haris itu dingin pada para karyawan. Tapi, dia begitu perhatian padaku.” Utami tersenyum. “Itulah namanya cinta. Haris sungguh jatuh cinta padamu.” Perhatian macam apa? Jelas Risa berbohong soal itu. Namun, Risa tak menyangka respons Utami akan begitu. Jeda sejenak. “Aku punya pertanyaan….” “Katakanlah, apa yang ingin kamu tanyakan, Risa?” “Mama yakin merestui kami? Maksudnya, aku bukan siapa-siapa. Aku dari keluarga biasa-biasa saja dan nggak setara dengan Pak Haris.” “Itu membuatmu ragu dan ingin mundur, kan?” Utami balik bertanya. Kalau soal ingin mundur jelas iya. Risa menanyakan hal tersebut lantaran penasaran. Bukankah Haris bisa mendapatkan wanita dari kalangan konglomerat juga? Bisa-bisanya keluarga Adhitama merestuinya yang bukan siapa-siapa. Selain itu, biasanya para konglomerat ini menjodohkan anak-anak mereka, bukan? “Sejak dulu, kami nggak pernah menuntut Haris maupun Daffin untuk menikahi wanita yang berasal dari konglomerat juga. Pokoknya, siapa pun yang mereka cintai dan tentunya gadis itu baik-baik … kami menerimanya, tanpa peduli latar belakang keluarganya.” Utami melanjutkan, “Menjodohkan Haris dengan anak konglomerat juga? Sama sekali tidak ada dalam kamus keluarga Adhitama.” Ini terdengar mustahil, tapi nyata adanya. Jika Risa benar-benar calon istri Haris, mungkin wanita itu akan sangat bersyukur memiliki calon mama mertua se-baik Utami. Hanya saja, Risa bukan calon istri Haris sungguhan. Jadi, untuk apa ia senang dengan perkataan Utami? “Sejak awal, kami memang membebaskan anak-anak kami untuk menemukan pilihannya sendiri, dengan catatan … perempuan baik-baik. Dan mama pikir kamu adalah perempuan baik-baik, Risa.” “Risa, kamu pasti bingung karena tadi di ruang keluarga ramai banget. Meskipun mereka sempat memperkenalkan diri, apa kamu ingat?” tanya Utami kemudian. “Aku berusaha mengingatnya, tapi ingatanku nggak se-luar biasa itu. Maaf ya, Ma … aku hanya ingat kalau mereka semua itu sepupu dari Pak Presdir. Sedangkan nama-namanya, aku lupa.” “Itu wajar, Risa. Karena kita manusia,” balas Utami. “Ya, benar … semua itu sepupu karena papanya Haris. Jangan heran kalau kumpul keluarga begini, selain keluarga inti … sisanya adalah para sepupu dan anak-anak mereka,” lanjutnya. Utami kembali berbicara, “Jadi intinya, presiden direktur Adhitama Group, suami mama, papanya Haris atau calon papa mertua kamu itu anak tunggal. Kamu pasti tahu sejarah perusahaan bahwa Adhitama Group pertama kali dibuat oleh kakeknya Haris, sengaja diberi nama Adhitama karena itu anak tunggalnya.” “Ya, aku tahu inti dari sejarah itu. Dulu AG belum se-besar sekarang, kakeknya Pak Haris berhasil mengantarkan AG ke dalam kesuksesan bahkan berkembang pesat sampai sekarang Pak Adhitama yang mewarisi sekaligus menjadi presdir-nya.” “Itu artinya … kamu tahu, dong, bahwa Haris kemungkinan besar yang menjadi presdir selanjutnya?” “Aku pikir semua orang di kantor tahu, Ma. Bukan aku aja.” “Benar juga, semuanya pasti tahu meskipun kami punya dua anak, tapi hanya Haris yang sekarang menjadi salah satu petinggi AG, sedangkan Daffin yang tadi sempat kita temui … dia punya potensi yang kecil untuk menjadi presdir selanjutnya.” Risa mulai menerka-nerka, apa maksud Utami membicarakan ini? “Dalam kata lain … Haris ini calon presdir selanjutnya menggantikan papanya. Kami memberikan syarat agar dia menikah dulu sebelum mengemban jabatan tersebut. Dan kamulah perempuan yang dia pilih menjadi istrinya. Dari sekian banyak tangan di dunia ini, Haris memilih tanganmu yang ingin digenggamnya,” jelas Utami. “Maksud mama bicara begini adalah untuk minta tolong padamu, Risa. Mama minta tolong jangan lepaskan tangannya. Temani dia sampai impiannya terwujud lalu kalian bahagia bersama selamanya.” Apa boleh seperti itu? Apa Risa layak menjadi istri Haris sedangkan Risa sudah pernah melakukannya dengan Daffin, adik Haris sendiri. Astaga Risa, ada apa denganmu? Setelah ini, semuanya selesai. Untuk apa berharap menjadi istri Haris sungguhan? Apalagi setelah dipikir-pikir, sekalipun Haris itu cenderung dingin, tapi Risa yakin pria itu orang baik. Haris juga tidak punya cela. Kalau kaya raya jelas jangan ditanya, yang pasti Haris juga tampan dan sempurna. Wanita mana yang tidak jatuh cinta? Oh tidak, ini kacau! Jangan-jangan Risa mulai berharap benar-benar menjadi istri Haris. Apalagi orangtua pria itu merestuinya menjadi Nyonya Haris. Aku pasti gila….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN