Enggar dan Ayesa sudah selesai sarapan. Mereka bersiap untuk segera berangkat.
"Udah siap?" tanya Enggar.
"Udah, Yah," jawab Ayesa. Bocah itu segera menggendong tasnya setelah menghabiskan s**u buatan Indah.
Indah mengantar Enggar dan Ayesa ke depan sambil menggendong Abi.
Bocah itu pamit kepada Indah sambil mencium tangan tante sekaligus mama sambungnya itu. Setelah itu, ia juga mencium pipi sang adik.
Tidak mendapat tanda-tanda Enggar mengucapkan salam perpisahan pada Abi seperti biasanya, Indah menegur.
"Ayah ... Ayah ga mau tiyum Abi?" Indah bertanya mengikuti cara bayi yang belum lancar bicara.
Mendapat pertanyaan demikian, Enggar langsung membalik badan dan mencium pipi Abi.
Saat Enggar sedang mencium pipi sang putra, Indah berbisik, "Kalau tidak mau bersikap baik padaku, setidaknya berpura-puralah di depan keluarga dan anak-anak."
Enggar diam tak menanggapi. Namun, Indah tahu, perkataannya pasti akan Enggar pikirkan seharian ini.
***
Abi sedang tidur. Indah juga sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Wanita itu memilih untuk menonton televisi di ruang keluarga.
Saat Yanti melewati ruangan tersebut, Indah memintanya untuk menemani.
"Yan ... duduk sini, mumpung Abi-nya tidur, kamu istirahat saja dulu," ucap Indah.
"Iya, Mbak." Yanti menurut. Ia duduk di sofa single yang ada di ruangan itu.
Untuk beberapa saat, keduanya sibuk menatap layar datar yang sedang menampilkan acara berita kriminal.
"Miris, ya, zaman sekarang banyak orang tua yang bunuh anak, anak bunuh orang tua hanya karena masalah sepele. Nyawa seperti nggak ada harganya," ujar Indah.
"Iya, Mbak ... sekarang krisis banget yang namanya adab sama moral. Semua hanya memikirkan nafsu sesaat."
"Ehm, Yan!"
"Iya, Mbak?"
"Bagaimana sikap Mas Enggar akhir-akhir ini?"
"Maksud Mbak Indah?"
"Ya ... apa dia memang sikapnya sekarang dingin begitu?"
"Enggak, sih, Mbak. Selama saya di sini, Bapak selalu baik. Nggak pernah marah juga."
"Oh...."
Jawaban Yanti semakin membuat Indah berkecil hati. Apa pada dirinya saja Enggar bersikap dingin? Jika iya, kenapa? Bukankah pernikahan ini juga bukan kemauan Indah? Indah juga mau menikah dengannya semata-mata karena Abi dan Ayesa. Bukan karena hal lain.
"Selama ini, selain mengurus Abi, apa yang kamu lakukan di sini, Yan?" tanya Indah. Meskipun setiap hari Indah datang, ia tidak pernah menanyakan hal itu. Dulu, sebelum menikah dengan Enggar, Indah bukan siapa-siapa. Namun, setelah menikah, wanita itu merasa harus tahu apa saja yang terjadi dan kebiasaan di rumah kakak iparnya itu. Apalagi, saat tadi pagi ia mendengar ucapan Enggar yang menyiratkan kalau Yanti-lah yang selama ini membuatkan kopi untuk pria itu.
"Waktu baru di sini, hanya mengurus Abi, Mbak. Tapi, pas udah satu minggu saya melihat Bapak selalu buat minum sendiri dan menyiapkan sarapan sendiri, saya merasa kasihan. Apalagi kalau pas Bapak bangun kesiangan nggak sempat sarapan. Akhirnya, saya berinisiatif untuk membuatkan kopi dan masak untuk Bapak."
"Oh...." Pantas saja, sang suami terlihat sudah sangat terbiasa dan dekat dengan Yanti, pikir Indah. Hati wanita itu merasa tidak enak. Mungkinkah kakak ipar yang kini telah menjadi suaminya, ada rasa dengan babysitter si mungil Abi?
***
Pukul lima sore Enggar pulang dari kantor. Indah bersama Ayesa dan Abi sudah menyambutnya di teras rumah. Seperti saat akan berangkat ke kantor, Enggar mencium pipi Ayesa. Namun, ketika pria itu ingin mencium Abi, Indah melarangnya.
"Mas masuk, cuci tangan, cuci muka, baru cium Abi, Mas."
Enggar tak menjawab, tetapi ia menurut. Masuk ke rumah, saat melihat Yanti keluar dari kamar Abi, Enggar meminta gadis itu untuk membuatkan kopi.
"Yan, buatkan saya kopi, ya!"
"Iya, Pak."
Ingin melarang, namun Indah mengurungkannya. Ia takut, kopi buatannya tidak akan diminum seperti tadi pagi.
Selesai membersihkan diri, Enggar keluar dari kamar menghampiri istri dan anak-anaknya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ada Yanti juga di sana.
"Yan ... masak apa untuk makan malam?" tanya Enggar.
Seketika Yanti merasa tidak enak. Enggar bukan lagi seorang duda, ia sudah memiliki istri. Namun, mengapa pria itu bersikap seolah belum ada Indah di rumah itu?
"Aku yang masak, Mas. Yanti kan babysitter Abi. Dia bukan pembantu di rumah ini. Kalau apa saja yang aku buat tidak sesuai dengan lidah Mas, Mas bisa mengatakannya padaku." Merasa kesal dengan sikap Enggar, akhirnya Indah mengungkapkannya. Namun, Enggar memang sepertinya telah berubah. Mendengar protes dari adik almarhumah wanita yang sangat dia cintainya itu, ia hanya diam saja.
Dengan malas, Enggar melangkah menuju ruang makan. Indah menyerahkan Abi kepada Yanti.
"Ayesa mau makan sekarang?" tanya Indah.
"Nanti aja, Tan. Yesa belum lapar."
"Oke. Tante nemenin Ayah makan dulu, ya."
"Iya, Tan."
***
Indah menyendokkan nasi dan lauk ke piring Enggar. "Segini?"
Enggar mengangguk.
"Bagaimana rasanya?"
"Tidak seenak masakan Intan."
"Oke ... kurang apa?"
"Banyak."
"Iya ... apa saja?"
Enggar meletakkan garpu dan sendok ke piring. Ia minum setengah gelas air putih yang ada di depannya.
"Sekalipun kamu menjadi istriku, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Intan di hati, juga hidupku."
oOo