MKI-3

681 Kata
"Sekalipun kamu menjadi istriku, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Intan di hati, juga hidupku." Indah terdiam mendengarnya. Hatinya begitu sakit. Apa kakak ipar yang kini telah menjadi suaminya begitu membencinya? Indah menarik napas dalam untuk menghilangkan sesak yang ia rasa. "Mas ... tidak pernah sekalipun terpikir dalam otakku untuk menggantikan Mbak Intan. Dan asal Mas Enggar tahu, semua yang aku lakukan hanya karena aku menyayangi anak-anak. Juga karena Tante Maryam dan Om Rudi yang memintanya. Jadi, stop untuk berpikir kalau aku sangat bahagia dengan pernikahan ini." "Kalau begitu, bersikaplah seperti biasa. Tidak usah sok peduli padaku. Tugasmu hanya mengurus anak-anak. Terutama Ayesa. Tidak perlu bersikap seolah kamu adalah istri yang baik. Karena sebaik apa pun kamu, tidak akan pernah bisa mengubah sikap dan perasaanku," ucap Enggar tajam. "Oh ... jadi kamu lebih suka dilayani Yanti daripada aku yang kini sudah resmi menjadi istrimu?!" Indah merasa sangat kesal. Dari ucapan dan sikap Enggar, pria itu menunjukkan lebih suka dilayani Yanti daripada dirinya. "Kalau iya, kenapa?" Zahra tersenyum sinis. "Kalau begitu, kenapa Mas Enggar mau saja menikahiku? Kenapa tidak Yanti saja yang kamu nikahi?!" "Karena Mama dan Papa yang memintanya." "Kalau itu yang menjadi alasan kamu, bukan berarti kamu bisa bebas memperlakukanku. Bisa dengan bebas menyakitiku dengan perkataan dan sikap kamu." "Kamu tidak akan tersakiti kalau kamu nggak memiliki perasaan terhadapku. Jadi, sebelum telanjur, kubur dalam-dalam mimpi kamu untuk bisa menjalani rumah tangga ini dengan harmonis. Kamu bebas untuk melakukan apa pun. Kalau kamu memiliki kekasih pun dan dia siap menikahimu, aku akan menceraikanmu. Jangan khawatir, aku tidak akan pernah menyentuhmu." Usai mengucapkan itu, Enggar berdiri dan kembali ke ruang keluarga. Tinggalah Indah sendiri. Air mata yang selalu ditahannya, akhirnya menetes juga. Salahkah jalan yang telah diambilnya? "Mbak Intan ... salahkah aku yang sudah menerima perjodohan ini? Aku tidak pernah berkeinginan menggantikan Mbak Intan, Mbak. Tuhan, kuatkan aku. Kuatkan aku demi anak-anak," bisik Indah. *** Semenjak Enggar mengucapkan kalimat-kalimat menusuk itu, Indah tidak lagi berusaha mendekati pria beranak dua itu. Waktunya ia gunakan untuk mengurus Ayesa dan Abi. Bahkan, tugas Yanti kini ia ambil alih. Setiap malam Abi tidur bersama di kamar tamu. Yanti tidak enak dibuatnya. Hal itu sudah berjalan dua bulan lebih. "Mbak ... sepertinya saya sudah tidak dibutuhkan di rumah ini," ucap Yanti saat ia sedang melipat baju-baju Abi yang baru saja kering. Indah sedang bermain dengan Abi. Bayi itu kini sudah bisa merespons ketika diajak mengobrol. "Kenapa kamu berpikir begitu?" "Abi sekarang lebih nyaman bersama Mbak Indah sepertinya." Memang, Abi sekarang lebih anteng bila digendong Indah. "Aku tidak ada maksud apa pun. Aku mengambil alih Abi, karena aku nggak mau kamu kelelahan. Kamu tahu sendiri, kan, Mas Enggar lebih suka kamu layani daripada aku yang melayani." Yanti merasa tidak enak mendengar penuturan Indah. Gadis itu juga tidak bermaksud untuk melangkahi Indah mengenai Enggar, tetapi Enggar-lah yang memintanya. "Maafkan saya, ya, Mbak." "Kenapa kamu minta maaf? Nggak ada yang perlu dimaafkan. Toh, kamu yang selama ini menjadi saksi bagaimana hubungan kami. Jadi, ya ... kamu tidak perlu sungkan dan merasa tidak enak." Di depan keluarga, Indah dan Enggar memang bersikap biasa saja. Bersikap bagaimana suami-istri pada umumnya. *** Pagi ini, Enggar merasa tidak enak badan. Suhu tubuhnya tinggi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, tetapi belum juga keluar kamar. Indah yang keluar dari kamar Ayesa setelah mengurus Ayesa sebelum berangkat sekolah sambil menggendong Abi, merasa heran. "Mas Enggar belum keluar dari kamar, Yan?" Biasanya, Enggar memang sudah meminum kopinya di meja makan sambil membaca berita melalui ponsel pintarnya. "Belum, Mbak," jawab Yanti sambil meletakkan semangkuk sup di meja makan. Ia yang memasak sarapan. Masih dengan menggendong Abi, Indah melangkah ke kamar Enggar. Diketuknya pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya wanita itu membukanya. Di ranjang, Indah melihat suaminya masih bergulung di bawah selimut. Ia berjalan mendekat. "Mas Enggar libur?" tanya Indah. "Tidak. Aku tidak enak badan. Demam," jawab Enggar masih dengan memejamkan mata. Indah duduk di tepian ranjang. Disentuhnya kening Enggar. Panas sekali. Namun, Enggar mencengekeram pergelangan tangan sang istri. Indah tersinggung. "Kenapa? Kamu mau Yanti juga yang merawatmu saat kamu sakit?" sindir Indah dengan nada sinis. oOo
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN