Indah duduk di tepian ranjang. Disentuhnya kening Enggar. Panas sekali. Namun, Enggar mencengekeram pergelangan tangan sang istri.
Indah tersinggung. "Kenapa? Kamu mau Yanti juga yang merawatmu saat kamu sakit?" sindir Indah dengan nada sinis.
Enggar tidak menjawab. Ia lepaskan cengkraman di tangan wanita yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Iya? Mau, aku panggilkan Yanti?" ulang Indah.
"Jangan memulai! Aku sedang dalam kondisi malas berdebat denganmu."
"Ya, sudah. Tidak usah mengagungkan gengsimu. Sudah sakit, masih saja bersikap begitu padaku. Aku seperti ini pada Mas Enggar, semata-mata hanya ingin membantumu. Kalau sampai kamu sakit parah, siapa yang akan mencari nafkah untuk anak-anak?!"
"Maaf." Untuk pertama kalinya Enggar mengucapkan kata maaf pada Indah.
"Apa yang biasanya Mbak Intan lakukan saat Mas Enggar demam?"
"Memijitku, lalu membuatkanku minuman herbal."
Sama persis. Itu juga yang selalu mama Indah lakukan ketika ada anggota keluarga yang sakit.
"Aku akan buatkan minuman herbal dulu. Jangan khawatir Mas Enggar aku racuni, karena minuman herbal yang Mbak Intan suka buat, aku yakin itu resep turun temurun keluarga kami."
"Ya."
Indah keluar dari kamar. Enggar tersenyum. Ia juga merasa heran, mengapa sekarang ia tidak bisa bersikap baik pada mantan adik iparnya seperti dulu? Dalam hatinya, ia tidak ingin menyakiti wanita itu. Namun, setiap kali melihatnya, seperti ada rasa benci yang tiba-tiba muncul.
***
Indah kembali ke ruang makan.
"Yan ... Mas Enggar sakit. Kamu bisa antar Ayesa ke sekolah, kan?" tanya Indah.
"Bisa, Mbak."
"Pakai taksi saja. Nanti aku pesankan."
"Baik, Mbak."
"Ayah sakit, Tante?" tanya Ayesa.
"Iya, Sayang. Demam. Ini Tante mau buatkan minuman herbal buat Ayah."
"Iya, Tan ... dulu, kalau Ayah atau Ayesa sakit, pasti Bunda buatkan minuman obat buat kami. Nggak enak, sih, Tante. Tapi, setelah itu pasti badan jadi hangat dan langsung sembuh."
Indah tersenyum. "Kamu nggak apa-apa, kan, berangkat sama Mbak Yanti?"
"Nggak apa-apa, Tan."
"Oke."
Indah ke dapur. Ia siapkan semua bahan yang dibutuhkan. Kemudian merebusnya. Abi masih berada dalam gendongan.
Minuman siap. Ayesa juga sudah berangkat sekolah bersama Yanti.
Indah membawa secangkir minuman herbal itu ke kamar Enggar. Ia meletakkan cangkir di nakas samping ranjang. Abi yang tertidur, Indah rebahkan di sofa besar di kamar itu.
"Duduklah. Minum minuman ini, setelah itu, aku akan memijitmu," ucap Indah.
Enggar memandang Indah dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kenapa? Mau Yanti yang mijitin? Kalau iya, berarti harus nunggu. Dia lagi nganter Yesa sekolah."
"Kenapa kamu harus selalu bawa-bawa Yanti."
"Karena Mas Enggar sepertinya lebih suka dilayani olehnya."
Enggar meminum minuman yang masih hangat-hangat kuku itu dengan pelan, hingga habis sepertiganya. Tanpa disuruh dua kali, pria itu membuka baju.
"Tengkurap!" titah Indah.
Dengan minyak tawon, minyak tradisional dengan aroma khas sereh yang sudah biasa digunakan keluarga Indah untuk mengurut badan, Indah mulai memijit punggung Enggar.
Harus Enggar akui, pijitan tangan Indah begitu mirip dengan almarhumah istrinya. Malah, bisa dibilang lebih enak pijitan Indah. Ia memejamkan mata. Menikmati sentuhan-sentuhan sang istri yang nyatanya belum sekali pun ia sentuh. Dua bulan menikah, belum sekali pun mereka tidur bersama.
"Lepas celana panjangnya!" titah Indah lagi.
Pelan-pelan, Enggar bangun untuk duduk. "Tidak perlu."
"Kenapa? Aku hanya ingin memijitmu. Jangan berpikiran jorok! Aku bukan wanita penggoda." Indah kesal karena tanggapan Enggar seperti menaruh kecurigaan pada wanita itu.
Melihat sikap Indah yang semakin hari semakin jutek padanya, membuat Enggar merasa kesal. Namun, ada lucu juga. Meskipun Indah telah menjadi seorang istri, sifat khas remaja yang ambekan, masih begitu melekat pada wanita itu.
"Kamu goda pun, aku tidak akan tergoda," jawab Enggar pada akhirnya.
"Yakin?!"
Merasa tertantang, akhirnya Enggar. membuka celana panjangnya. Indah merasa risi sebenarnya. Untuk pertama kali, ia melihat tubuh seorang pria telanjang di depannya. Meskipun Enggar masih mengenakan celana dalam, benda kecil itu seolah tidak bisa menutupi apa yang berada di dalamnya. Wanita itu berpura-pura biasa saja.
"Kenapa? Jangan bilang, kamu panas dingin melihatnya," ejek Enggar.
"Enak saja! Udah sana, buruan tengkurap lagi!"
"Kalau nanti kamu tidak kuat, kamu keluar saja. Tidak usah memijitku lagi. Karena aku tidak mungkin menyentuhmu untuk mengobati panas dinginmu."
"Pede sekali! Nggak usah banyak bicara. Buruan, mumpung Abi masih tidur!"
Enggar kembali tengkurap di ranjang. Indah mulai kembali menuang minyak tawon di telapak tangan. Lalu ia balurkan di kaki Enggar.
Indah menahan napas setiap kali teringat ucapan-ucapan Enggar tadi. Ia tidak menyangka, menyentuh pria ternyata bisa menghadirkan sensasi yang tidak bisa Indah ungkapkan. Pantas saja, orang pacaran tidak boleh berduaan. Apalagi sampai sentuhan fisik.
Tidak hanya Indah, Enggar pun merasakan napasnya mulai memburu. Digigit bibirnya kuat-kuat. Wajahnya ia tekan ke bantal. Jangan sampai, Indah mendengar deru napasnya. Kalau sampai didengar Indah, mau ditaruh di mana harga dirinya?
Tangan Indah mulai memijit paha Enggar. Tanpa sadar, sebuah erangan keluar dari bibir pria itu.
"Kenapa, Mas? Sakit?"
Enggar gelagapan. Bagaimana kalau Indah sampai tahu, ia menikmati sentuhan Indah, sampai tanpa sadar mengerang karena membayangkan ia sedang menyentuh Indah sebagai seorang suami?
oOo