Bab 6. Kenalan

853 Kata
Pagi ini Amanda menatap tidak percaya pada pantulan cermin di hadapannya. Di hadapannya, sosok seorang wanita dengan rambut dikepang menjadi dua bagian yang diletakkan di bahu, berdiri di depan cermin mengenakan gamis berwarna putih yang menutupi pergelangan tangan sampai ke mata kaki. Wajahnya dipoles make up sederhana, dengan gincu merah yang membuatnya tampak seperti ibu-ibu komplek tukang gosip. "Iyuhh, Bibi Aminah benar-benar kasih gue lipstik ini?" Amanda segera mencari tisu dan membersihkan bibirnya. Segera wanita cantik itu mengambil tas make up nya dan mengeluarkan satu set lipstik yang dicampur dengan pelembab bibir di dalam sebuah wadah yang menampung lebih dari 100 jenis lipstik. Amanda kemudian mengoles bibirnya dengan gincu berwarna nude agar terlihat agak natural daripada seperti tadi. "Kalau kayak gini 'kan gue lebih sedap dipandang." Amanda menatap pantulan dirinya dengan senyum miring. "Gue cantik, kenapa harus dijodohin segala? Mana sama laki-laki kampung lagi, duda statusnya. Kayak nggak bisa dapetin pengusaha aja gue." Untuk sekarang Amanda terlihat mengalah. Mungkin lihat nanti, ia akan melakukan pemberontakan jika memang benar pernikahan benar-benar akan dilangsungkan. Biarlah untuk sementara waktu ia menyenangkan anggota keluarganya dulu. Maka dari itu, Amanda segera menatap sekali lagi pada pantulan cermin di hadapannya. "Gini perfect." Tak lama kemudian pintu didorong masuk dan muncul Siti yang mengenakan satu set gamis dengan jilbab berwarna biru. "Kecil-kecil udah pakai jilbab lo, Siti. Gue yang udah tua ini aja nggak ada niat buat pakai jilbab," ujar Amanda heran. "Soalnya kata ibu, aku cantik kalau pakai jilbab dan Allah suka." Siti tersenyum sambil melangkahkan kakinya masuk. "Wow! Kak Amanda cantik sekali. Aku suka deh, nanti kalau udah besar, aku mau cantik kayak kak Amanda aja." "Jelas harus cantik. Keturunan kita nggak ada yang jelek. Kalau keturunan kita ada yang jelek, berarti bukan gen kita." "Apa itu gen?" Siti memiringkan kepalanya ke samping tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Amanda. Sementara Amanda sendiri terlihat kebingungan ingin menjelaskan dengan rinci seperti apa gen itu namun ia lebih takut Siti semakin tidak mengerti. "Pokoknya semacam keturunan atau sifat dan watak gitulah. Udah ah lo pasti nggak bakalan ngerti." Amanda mengibaskan tangannya. "Lihat nggak, cantik banget 'kan gue?" Ditanya seperti itu tentu Siti langsung menganggukan kepalanya dengan antusias. Tidak lupa untuk mengacungkan kedua jempolnya di hadapan Amanda. "Kakak memang super duper cantik sekali." "Iya dong. Perawatan mahal ini." "Perawatan? Apa itu perawatan?" "Dih, banyak banget pertanyaan lo. Nggak usah gue jawab, karena ribet." Tak lama kemudian pintu diketuk kembali dan muncul sosok Bu Aminah dengan setelan gamisnya yang sama warnanya dengan milik Siti. "Itu keluarga calon suami kamu udah datang. Ayo, kita keluar." "Aduh, Bi, nggak usah dijemput segala. Aku juga bisa keluar sendiri." Amanda kemudian mengangkat sedikit roknya, dan melangkah keluar bersama Siti dan juga Bu Aminah menuju ruang tamu di mana suara ramai-ramai sudah terdengar. Kakinya membawa menuju ruang tamu yang memang didesain dengan banyak sofa dan luas. Rumah kakeknya di kampung memiliki banyak kamar dengan ukuran yang sedang. Namun, ruangan lain seperti ruang dapur dan makan, harus luas. Begitu juga dengan kamar mandi serta ruang tamu lebih luas lagi. Amanda melangkahkan kakinya menuju depan dan melihat semua orang sudah duduk di sofa masing-masing. Kedatangan Amanda tentu saja menarik perhatian baik anggota keluarganya maupun beberapa orang yang tidak dikenal oleh Amanda sama sekali. Gadis itu mengangkat kedua alisnya menatap mereka tanpa takut. Detik berikutnya ia menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Hei, helo!" Wanita itu melambaikan tangannya pada semua yang berada di dalam ruang tamu, membuat mereka saling menatap dan dengan canggung membalas sapaan Amanda. Sementara kedua orang tuanya menepuk dahi mereka dengan tingkah laku putri mereka ini memang benar-benar membuat malu. Bu Yuni bangkit sambil tersenyum malu lalu menghampiri Amanda. "Amanda, kamu kenalan dulu dengan para tetangga kita di sini. Mungkin waktu kecil kamu pernah ke sini beberapa kali, habis itu kamu sangat jarang ke sini. Makanya, banyak yang nggak terlalu hafal dan kenal sama kamu." Bu Yuni berkata sambil menarik putrinya mendekat dan tidak lupa untuk mencubit lengan wanita itu. "Nah, ini namanya Amanda, anak saya satu-satunya." Amanda tersenyum menatap beberapa pria paruh baya dan juga wanita paruh baya yang duduk saling berhadapan maupun berdampingan. "Salaman dulu sana." Segera wanita itu menuruti perintah ibunya, mencium punggung tangan satu persatu orang dewasa yang ada di dalam ruang tamu tersebut, tentunya selain keluarga karena Amanda masih cukup waras untuk menyalimi keluarganya sendiri. Satu persatu sudah bersalaman dengan Amanda, kemudian tangannya bergerak menuju satu orang terakhir yang belum bersalaman dengannya. Amanda mengulurkan tangannya, dan mengangkat kepalanya, untuk melihat sosok seorang pria yang sepertinya pernah dilihatnya di suatu tempat namun lupa entah di mana. "Wisnu." Wisnu bersalaman dengan Amanda. "Amanda," ujar wanita itu menyebutkan namanya. "Nah, Amanda, ini adalah Nak Wisnu, laki-laki yang kakek jodohkan dengan kamu." Baru saja ia berdiri di sebelah kedua orang tuanya ketika mendengar apa yang diucapkan oleh kakeknya. "Dia?" Amanda menunjuk pada Wisnu. "Not bad lah, buat tampangnya." Segera cubitan dilayangkan oleh Yuni pada putrinya yang langsung mendapat pelototan dari Pak Yadi. Cepat sekali mata Pak Yadi kalau Yuni membuat sakit putrinya. Yuni meringis kemudian kembali mengusap lengan putrinya, membuat Pak Yadi akhirnya mengalahkan tatapan ke arah lain, dan berbincang dengan Riswan serta yang lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN